
Dok. Priyo Salim
Kotagede yang tak jauh dari pusat Kota Yogyakarta terkenal dengan kerajinan peraknya. Dahulu, ada ratusan perajin yang memproduksi kerajinan perak di Kotagede. Sayangnya, sejak krisis moneter tahun 1998 industri perak di kawasan ini mengalami kemunduran. Kini, jumlah perajin perak yang tersisa bisa dihitung dengan jari.
Tak ada bukti sejarah yang menunjukkan sejak kapan masyarakat setempat menekuni kerajinan perak. Konon, industri kerajinan perak Kotagede dimulai sejak Kesultanan Yogyakarta memesan kerajinan perak di sini.
“Namun, saya belum menemukan catatan sejarah yang valid tentang hal itu,” ucap Priyo Salim, salah satu perajin perak asli Kotagede yang meneruskan usaha sang nenek yang dirintis tahun 1940.
Saat femina mengunjungi workshop Priyo yang terletak di Kebohan, para pegawai tengah sibuk mengolah perak menjadi perhiasan-perhiasan yang indah. Menurut Priyo, di masa lalu profesi perajin perak Kotagede memang hanya digeluti oleh laki-laki. Jadi, meski sang nenek yang menggagas bisnis ini, ia bukanlah seorang perajin, justru ayah Priyo-lah yang menjadi perajin perak. Sebagai generasi ketiga, Priyo baru mulai menekuni industri perak sejak tahun 1980-an.
Sambil berbincang santai, Priyo menunjukkan sebuah buku karya Pienke W.H. Kal berjudul Yogya Silver: Renewal of a Javanese Handicraft. Menurut Priyo, buku yang ia dapat dari kurator museum di Amsterdam tersebut sedikit banyak menceritakan tentang perkembangan Kotagede sebagai pusat perajin perak di Yogyakarta.
Menurut buku tersebut, berkembangnya kerajinan perak Kotagede tak lepas dari peran Mary Agnes van Gesseler Verschuir-Pownall, istri dari P.R.W. van Gesseler Verschuir, Gubernur Belanda untuk Yogyakarta yang memerintah mulai tahun 1929. Saat itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis, di mana pemerintah kolonial harus turut mempromosikan perkembangan ekonomi dan budaya daerah yang dikuasainya.
Mary Agnes menilai hasil kerajinan perak Kotagede belum mempunyai pasar yang signifikan. Kebiasaan orang Belanda yang saat itu gemar menggunakan peralatan rumah tangga dari perak memunculkan ide brilian di benaknya. Ia mendorong para perajin perak Kotagede membuat peralatan rumah tangga ala Barat. Mulai dari peralatan makan, peralatan kantor, sampai bingkai foto.
Uniknya, Mary Agnes meminta barang-barang tersebut dihias dengan ornamen yang diadaptasi dari relief Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Masjid Mantingan yang ada di Jepara, Jawa Tengah. Benda-benda ini kemudian dijual untuk pasar orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda. Langkah Mary Agnes sukses membuat kerajinan perak Kotagede mencapai masa kejayaan pada tahun 1930-an.