Travel
Kerusuhan Saat Roadtrip bareng Pasangan

28 May 2016


Foto: 123RF, Dok. Pribadi

Banyak yang mengatakan, melakukan liburan berdua pasangan membuat kita lebih mengenal satu sama lain. Meski perjalanan tak selalu tenang dan damai, nyatanya 'huru hara' sepanjang jalan saat roadtrip berdampak manis bagi hubungan.


Rosi Maria Adha (30), Jurnalis lepas
Mengubah Plan Perjalanan
Sejak pindah domisili dari Jakarta ke Cepu, Blora, Jawa Tengah, saya dan suami, Endiandika (30) sering roadtrip ke berbagai kota. Kegiatan untuk mengeksplorasi sekitar Pulau Jawa jadi lebih mudah karena jarak menjadi lebih dekat. Hampir setiap tiga bulan sekali kami merencanakan perjalanan meski hanya di akhir pekan.

Suatu kali kami roadtrip dari Cepu menuju Surabaya, Malang, Probolinggo, lanjut ke Banyuwangi. Sebelum berangkat kami sudah persiapkan dengan matang rencana di setiap tujuan yang akan kami singgahi. Biasanya kami diskusikan bersama dengan memperkirakan jarak tempuh, stamina, dan kondisi hari. Saat itu saya menyarankan agar kami bermalam di Malang sebelum melanjutkan perjalananan ke Banyuwangi. Saya pikir stamina tubuh akan terkuras setelah mampir di beberapa tujuan wisata. Namun, Endi bersikeras langsung melanjutkan perjalanan. Berhubung dia yang menyetir dan pede menyanggupi, saya tidak bisa melarangnya. Rencana pun kami buat sesuai dengan keinginanannya.

Akhirnya yang saya khawatirkan terjadi. Setiba di Malang dan melakukan serangkaian kegiatan di sana, malam harinya kami langsung menuju Banyuwangi. Baru jalan sekitar dua jam, suami mulai rewel dengan alasan ngantuk dan lelah. Jelas saja saya jengkel. Selama perjalanan kami cekcok saling menyalahkan. Saya menyalahkan dia karena terlalu memaksakan keinginannya, sedangkan dia menyalahkan saya karena terlalu lama menghabiskan waktu di Malang. Perjalanan yang seharusnya bisa dilalui sambil menikmati segarnya angin malam malah berlangsung tegang.

Sesaat kemudian kami terdiam sepanjang perjalanan hingga tiba di Pasuruan. Parahnya jalan yang kami lalui banyak yang rusak, semakin sukses menambah emosi. Untungnya kami sudah saling mengerti watak satu sama lain. Ini bukan pertama kalinya kami bermasalah saat roadtrip. Kami tahu bahwa untuk menyelesaikannya kami butuh suasana tenang agar bisa berdiskusi dengan kepala dingin.

Tiba di Pasuruan Endi menghentikan mobil di sebuah rumah makan yang buka 24 jam karena sering menjadi persinggahan bus-bus antarkota. Di sana dia menenangkan saya yang terlanjur bete dengan memesankan secangkir kopi susu hangat. Saat itu sudah tengah malam, ditemani udara malam yang dingin, secangkir kopi susu, dan mi rebus hangat kami membuat plan baru yang disesuaikan dengan situasi saat itu. Diskusi selalu menjadi cara kami dalam menyelesaikan setiap masalah. Alhasil kami terpaksa mengeliminasi dua kota tujuan singgah agar tidak merusak estimasi waktu.

Setelah selesai, kami terpaksa bermalam di motel yang tak jauh dari rumah makan. Sebal rasanya karena motel yang kami singgahi kondisinya kurang baik. Dalam hati masih bersungut, seandainya tidak memaksa tentu kami bisa tidur di hotel yang nyaman di Malang. Pagi harinya sebelum melanjutkan perjalanan dia memesankan secangkir kopi. Pada tatakan cangkirnya terselip sebuah kertas. Ketika saya buka isinya sebuah kalimat permintaan maaf dia ke saya. Sederhana, tapi bisa melunturkan segala kesal saya saat itu. Kami pun melanjutkan perjalanan.


Fatya P. Anbiya (29), Editor
Gara-Gara Bergantung Map
Ini merupakan roadtrip pertama saya bersama pasangan sejak menikah dengan Teguh Fihaiman (27). Maklum sebelumnya kami sama-sama sibuk bekerja, dan bukan tipe pasangan yang gemar bertualang. Saat itu kami iseng ingin mengunjungi kampung nenek di Garut. Karena ingin merasakan perjalanan yang berbeda, akhirnya kami memutuskan melakukan roadtrip dari Jakarta menuju Garut dilanjutkan ke Tasik, Purwokerto, dan Wonosobo.

Kami memang belum berpengalaman dalam roadtrip, tapi perjalanan tersebut kami siapkan dengan matang. Berhubung kami sangat awam dengan jalanan luar kota, kami harus jeli melihat papan petunjuk arah di jalan. Sementara Teguh sangat mengandalkan Google Map selama perjalanan. Permasalahannya, tidak di setiap kota gadget kami bisa menangkap sinyal kuat dan tidak di sepanjang jalan atau persimpangan kami menemukan petunjuk arah. Masalah mulai timbul ketika Teguh terlewat untuk berbelok ke arah yang sesuai petunjuk jalan. Bukannya berhenti dan langsung putar balik menuju belokan yang dimaksud, dia malah tetap memacu mobil sambil mengadalkan rerouting map. Ini jelas bikin saya kesal karena akan buang-buang waktu perjalanan. Dia terus menyetir sampai kami memasuki jalan yang berbatu dan berdebu. Jalanan yang berbatu dan banyak lobang sering kali membuat mobil kami gasruk ke jalan. Sejauh mata memandang hanya sawah di kanan dan kiri jalan yang kami lihat. Parahnya, hanya mobil kami yang melewati jalan itu.

Saya yakin kami sudah nyasar, sedangkan Teguh dengan santainya tidak menghiraukan kekhawatiran saya. Dia memang orang yang cenderung santai, beda dengan saya yang memikirkan apapun, misalnya bagaimana jika ban bocor, mobil mogok, bensin habis, sementara jalanan sangat sepi. Apalagi ketika mesin Google Map menyerukan ‘signal lost’,  membuat saya semakin kesal.

Kami terpaksa harus sering turun mobil setiap melihat petani di sawah untuk menanyakan arah menuju jalan besar. Sepanjang jalan saya bete dan menyalahkan dia. Suasana jadi tegang. Kami melalui sisa perjalanan menuju Garut tanpa bicara. Semakin mengesalkan karena Teguh sering kali menganggap sepele setiap masalah. Meski pada akhirnya bisa menemukan kembali jalan utama, tetap saja perjalanan itu memakan waktu lebih lama. Seharusnya kami bisa sampai di Garut sekitar pukul 15.00, terpaksa molor dua jam.

Setelah bermalam sehari di Garut, keesokan harinya kami kembali memulai perjalanan. Masih kesal, sepanjang jalan kami diam. Tambah mengesalkan ketika kejadian yang sama kembali terulang. Kami salah mengambil arah jalan, dan Teguh tetap mengandalkan map. Saat suasana sedang hening tiba-tiba mesin Google Map menyerukan ‘signal lost’. Kontan kami langsung berpandangan dan entah kenapa langsung tertawa. Akhirnya sebagai permintaan maaf, Teguh mentraktir saya menikmati segelas kelapa muda di pinggir jalan. Nikmatnya…


Kirana Wulandari (30), Marketing Manager
Beda Hobi, Beda Tujuan
Saya dan suami, Yusuf Ferdiansyah (34) cukup sering roadtrip. Namun ada satu perjalanan yang saya ingat sampai sekarang. Waktu itu kami melakukan perjalanan yang tidak terbilang jauh dibanding roadtrip kami lainnya. Hanya dari Jakarta menuju Anyer, Banten. Waktunya pun saat akhir pekan, dua hari satu malam. Rencana sudah kami buat dengan matang.

Keributan mulai muncul ketika di perjalanan kami membahas aktivitas yang akan dilakukan saat nanti tiba di tempat tujuan. Dari sekian banyak kegiatan, Yusuf semangat sekali mengajak saya untuk berenang dan melakukan kegiatan outdoor lain. Yusuf memang gemar melakukan kegiatan outdoor, sedangkan saya hanya ingin leyeh-leyeh di hotel.
Selama perjalanan dia terus memaksa saya agar mau berenang. Karena dia terus memaksa, saya jadi marah dan kesal. Entah karena udara sedang panas dan macet, kami berdua sempat emosi sepanjang jalan hanya untuk membahas masalah sepele tersebut. Padahal biasanya kami tidak pernah bertengkar sehebat itu. Saya ingat kami bukan sekadar marah biasa, tapi sampai saling berteriak.

Saya berpendapat bahwa roadtrip hari itu sekadar untuk merelaksasikan tubuh dari rutinitas kantor sehingga yang ingin saya lakukan hanya beristirahat. Yusuf setuju, tapi dia juga ingin selama di tempat tujuan kami tetap melakukan kegiatan berdua. “Percuma liburan berdua, tapi enggak barengan!” katanya saat itu.      

Kemudian kami saling diam sepanjang jalan sampai tiba di Anyer. Berada di situasi ini benar-benar tidak pernah terpikirkan di awal keberangkatan. Menurut saya ini roadtrip paling tidak asyik yang pernah saya alami. Tak berhenti sampai di situ, saat tiba di hotel tujuan pertengkaran terus berlanjut. Bahkan, di kamar hotel kami juga saling berteriak. Kami benar-benar tidak ngobrol sepatah kata pun setelah pertengkaran di kamar hotel. Selama di tempat tujuan kami melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Yusuf memilih ke luar kamar, saya sendiri hanya leyeh-leyeh di kamar hotel.

Keadaan baru membaik saat makan malam. Lewat whatsapp, ia pun memanggil saya dinner. Begitu sampai di restoran, saya terkejut karena Yusuf sudah menyiapkan candle ligt dinner yang romantis. Rupanya selama dia pergi, dia menyiapkan rencana dinner ini. Karena terenyuh dengan kebaikannya, saat makan malam saya pun minta maaf lebih dulu ke dia. Kami pun menyadari keegoisan masing-masing. Usai makan malam tak ada lagi pertengkaran. Roadtrip ke Jakarta keesokan harinya jauh lebih menyenangkan sambil membahas pertengkaran tidak penting yang pernah kami alami. Sejak itu pun kami merasa lebih mengenal satu sama lain. (f)
 


Topic

#tipliburan