Sex & Relationship
Tidak Semua Pertanyaan Harus Dijawab oleh Pasangan

1 Sep 2016


Foto: 123RF

Masyarakat Indonesia punya kebiasaan melontarkan pertanyaan basa-basi yang sayangnya tanpa disadari membuat orang tak nyaman. Dijawab, capek, tidak dijawab, takut dianggap tidak sopan. Pertanyaan yang paling tidak nyaman di antaranya yang menyangkut kehidupan keluarga. Kalau sudah begitu, apa kiat menjawabnya?
 
Meminimalkan Reuni Tak Perlu
Dessy & Erwin, menikah 11 tahun

Saat reuni akbar di kampus bulan lalu, saya tidak bisa memaksa Erwin untuk datang.  Tahu kan  pertanyaan paling standar saat reuni? Ya, seputar pekerjaan. Sejak menemani saya sekolah lalu ditugaskan di luar negeri, Erwin memang rela melepas semua kesempatan merintis karier. Ia sadar inilah salah satu konsekuensi yang harus diterima, jika menikah dengan staf Kementerian Luar Negeri (Kemlu), yang harus siap ditempatkan di negara mana saja.

Ini bukan keputusan yang diambil dalam semalam. Kami bahkan pernah putus saat saya diterima di Kemlu. Ia tidak bisa melarang saya menjadi PNS, saya juga tidak bisa memaksanya untuk mengikuti saya nantinya. Tapi kemudian kami sadar, memang tidak bisa berpisah, kami pun menikah tahun 2005. Beberapa tahun setelah menikah, saya dikirim untuk belajar ke Australia. Erwin pun mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja. Keyakinan kami inilah yang membuat kami lebih siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan, ”Apa Erwin tidak sayang meninggalkan karier?”

Memang kami sulit menghindari pertanyaan, ”Sekarang kerja di mana?” atau ”Tidak ingin bekerja atau buka usaha?” yang biasanya datang dari teman yang sudah lama tidak bertemu. Kami maklum karena mereka tidak tahu situasi kami. Berbeda dengan orang-orang terdekat kami seperti orang tua dan sahabat. Mereka tahu dan menghormati keputusan kami. Sehingga, pertanyaan-pertanyaan semacam itu kini tak ada lagi. Toh, jawaban kami dari dulu sama, karena risiko pekerjaan saya yang harus siap berpindah-pindah negara-negara  tiap beberapa tahun.

Pertanyaan seperti ini lebih mudah dihindari saat kami tinggal di luar negeri, karena suami sebetulnya cukup sibuk dengan berbagai kegiatan di kedutaan selain juga mengurus dua putra kami. Namun, harus diakui, saat kami berada di Jakarta untuk beberapa lama, kondisinya akan terasa sedikit tidak nyaman. Mau tidak mau kami sering bertemu saudara jauh atau teman lama, yang seperti kebanyakan orang Indonesia yang entah basa-basi atau tidak, mempertanyakan keputusan kami.

Namun kami sadar, kami adalah tim yang harus kompak. Mungkin ini terasa lebih berat bagi suami, tapi kalau saya bisa tetap menghargainya sebagai kepala rumah tangga, segala pertanyaan-pertanyaan dari pihak luar tidak akan mengguncang kami.
Kini saya sudah menerima penempatan baru, yaitu di Malaysia. Jadi, sejujurnya kami sudah nyaman dengan pembagian pekerjaan sekarang. Anak-anak terurus baik, sementara saya bisa bekerja dengan tenang karena tahu ada suami yang menjaga anak-anak dan rumah kami.

Jawab dengan Sikap
Vina & Immam, menikah 1 tahun
Saat memutuskan mempertahankan pekerjaan masing-masing setelah menikah, saya dan suami sudah siap menghadapi pertanyaan seperti, ”Kok, kamu enggak ikut suami ke Bandung?” atau ”Sampai kapan kalian akan hidup terpisah?” Pasalnya, sejak berkenalan dan ngobrol via chat room selama hampir tiga tahun dan pacaran selama kurang lebih dua tahun, Immam tinggal dan bekerja di Bandung, sementara saya di Jakarta. Tak hanya siap dengan segala pertanyaan dari orang sekitar, kami juga siap dengan segala konsekuensi tinggal beda kota.

Orang tua saya memang sempat mempertanyakan keputusan kami untuk menjalani long distance relationship (LDR). Tapi, cukup sekali saya jelaskan bahwa kondisi ini hanya sementara sambil menunggu kondisi keuangan kami stabil, mereka langsung mengerti dan enggak bertanya-tanya lagi. Mertua, meski berharap saya cepat tinggal bareng suami,  tidak menuntut dan ikut campur.

Melihat saya yang tetap bekerja di Jakarta, teman-teman sempat bertanya, ”Nanti kamu gimana, ikut ke Bandung atau Immam yang ke Jakarta?” Begitu juga dari teman-teman suami. Saya cuma menjawab, ”Iya, nanti saya ikut ke Bandung.” Lalu saat saya hamil dan melahirkan, pertanyaannya, kapan saya resign dan ikut suami? Selebihnya tidak ada yang usil untuk bertanya-tanya lebih jauh, apalagi sampai menyudutkan pilihan saya.

Saya dan Immam yakin dengan jawaban kami karena saat pacaran pun saya sudah memutuskan, kalau kami jadi menikah, saya akan ikut di mana pun suami saya tinggal. Tapi, saya juga minta waktu untuk mempersiapkan diri dan kondisi kami.

Menurut saya, orang-orang jadi tidak usil bertanya karena melihat kami, terutama saya, yang menunjukkan sikap baik-baik saja. Terkadang ada rasa sedih karena begitu inginnya kami tinggal bersama. Tapi, saya tidak menunjukkannya pada orang lain. Kami juga berusaha bersikap wajar menjalani kehidupan rumah tangga kami, misalnya memilih waktu periksa ke dokter di akhir pekan, sehingga suami bisa selalu menemani.

Dengan menunjukkan bahwa tidak ada masalah kami tinggal berjauhan, otomatis orang-orang pun tidak melihat celah untuk mengkritisi keputusan kami. Bagi kami, yang terpenting adalah  menjaga komunikasi tetap lancar dengan chat, telepon, atau video call tiap hari sambil berusaha untuk hidup mapan  sehingga bisa mewujudkan keinginan untuk tinggal bersama.
 
Senjata Pamungkas: Senyum Saja
Nunu & Rizal, menikah 10 tahun

Pengalaman menjadi zombie beberapa bulan pertama setelah melahirkan putri kami, Matcha,  membuat saya trauma. Saat itu  tiap dua jam saya harus menyusui, membuat saya nyaris tak bisa tidur nyenyak. Kembali bekerja (lengkap dengan lembur-lembur), setelah selesai cuti melahirkan, tidur jadi  makin terasa mewah. Kelelahan fisik dan mental membuat saya stres. Karena tidak memiliki asisten rumah tangga, suami pun mengalami dan mengerti kelelahan yang saya rasakan, sehingga ia setuju saja saat saya mengatakan cukup punya satu anak.

Awalnya,   tiap ditanya, “Kapan akan nambah anak lagi?” saya masih menjawab dengan memberikan berbagai alasan, seperti susah cari si mbak, dan lain-lain. Tapi, orang selalu punya jawaban atas semua alasan saya. Nanti anaknya manja, kasihan enggak punya teman, dan lain-lain. Paling kesal kalau ada yang mengatakan, punya anak lebih dari satu, supaya kalau ada apa-apa dengan anak itu, ada cadangannya. Ya, ampun… memangnya anak kita ban mobil? Lama-kelamaan capek juga meladeni pertanyaan-pertanyaan itu, akhirnya belakangan saya cukup bilang, “Enggak mau saja.”

Saya selalu menjawab pertanyaan dengan berapi-api, sementara suami lebih santai. Ia hanya membalas pertanyaan soal tambah anak dengan senyuman. Untungnya, anak saya kompak. Kalau dikompori nenek atau saudara, “Mau punya adek enggak, minta Mama, dong,” ia akan tegas menjawab, “Enggak mau!” Hahaha….

Setelah sepuluh tahun dan jawaban kami  lempeng-lempeng saja, akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu pun mereda. Kebahagiaan saya tidak bisa diukur dengan seberapa banyak anak yang saya punya. Mungkin ada orang yang bahagia dengan punya banyak anak, tapi saya bahagia dengan satu anak. Lagi pula, saya pikir, dunia sudah terlalu penuh, sementara sumber daya alam sudah  makin menipis. Rasanya, kok, tidak bertanggung jawab kalau saya ingin menambah anak terus. Dengan pemikiran ini, kalaupun suatu saat saya ingin punya anak lagi, saya akan mengadopsi anak. Setidaknya saya tidak menambah padat dunia. (f)
 


Topic

#tipcinta