Sex & Relationship
Berbeda Prinsip, Tapi Tetap Akur dan Bahagia dengan Pasangan? Simak Kiat Mereka!

12 Apr 2017


Foto: 123RF

 
Tiap pasangan pasti ingin jalinan cintanya berakhir bahagia. Dalam perjalanan mencapai kebahagiaan tersebut, diperlukan perjuangan. Tiga pasangan berikut ini ‘berjuang’ dengan kompromi dan strategi demi meleburkan berbagai perbedaan. Dengan cara itu, mereka pun melangkah mantap menuju jenjang perkawinan.  

Ibrahim (38) dan Shinta Soebijandono (32)
Rela Pindah ke Luar Kota
Saya bertemu istri saya lewat perjodohan teman. Bisa dibilang, saya melakukan semacam ta’aruf karena memang sudah niat menikah. Saya menikahi Shinta dalam usia yang relatif tak lagi muda: 35 tahun. Pekerjaan sebagai project manager di sebuah perusahaan event organizer di Jakarta membuat saya jadi asyik sendiri, hingga melupakan urusan menikah. Orang tua saya sampai lelah mengingatkan karena saya tak kunjung menikah juga.

Saat itu, September 2012, saya sedang mengadakan acara di Surabaya, dan kerja bareng dengan Runi, host yang bekerja di sebuah radio di Surabaya. Di radio tersebut, Shinta bekerja sebagai general operational manager. Melihat saya yang kerap bepergian tanpa membawa pasangan, Runi pun tergerak mengenalkan saya kepada Shinta. “Aku kenalin, deh, ke temanku. Siapa tahu kalian cocok,” ujar Runi saat itu.

Ia lalu menunjukkan foto Shinta kepada saya. Entah mengapa, saat pertama kali melihat foto Shinta, saya langsung merasa ada yang spesial. Naluri saya mengatakan bahwa saya pasti klik dengan Shinta. Segera saya meminta nomor telepon Shinta dan meminta Runi mengaturkan jadwal agar kami bisa bertemu. Saya pun memberanikan diri untuk SMS Shinta lebih dulu, untuk berkenalan. Jarak yang berjauhan antara Jakarta-Surabaya membuat komunikasi kami terjalin lewat telepon.

Gayung bersambut, Shinta merespons SMS saya dengan positif. Setelah sekitar seminggu berkomunikasi intens lewat telepon, saya mengajaknya bertemu. Kebetulan, saat itu Shinta berencana ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan saudaranya. Momen ini tentu tidak saya sia-siakan untuk mengajaknya bertemu. Bertepatan dengan  Idul Adha, saya memberanikan diri untuk langsung mengajak Shinta ke rumah saya di Bekasi, dan langsung saya kenalkan kepada keluarga.

Di rumah saya tengah berkumpul sanak saudara, termasuk para keponakan yang masih kecil. Saat sedang asyik bercanda, dua keponakan tiba-tiba saling berebut iPad. Shinta tiba-tiba menghampiri mereka lalu mengeluarkan iPad dari tasnya. “Sudah, jangan bertengkar, ya. Ini pakai saja iPad aku,” katanya.
Melihat hal itu, hati saya meleleh. Meski terkesan sepele, saya melihat Shinta memiliki ketulusan dan kebaikan hati. Saya pun  makin yakin untuk menjalin hubungan lebih serius dengan Shinta. Tanpa menunggu lebih lama, saya segera mengutarakan niat tersebut. Niat saya sudah bulat, ingin segera mengakhiri masa lajang.

“Kalau memang kamu serius, silakan temui orang tua saya di Mojokerto. Sebab, dalam budaya Jawa, orang tua kamu yang harus datang,” ujar Shinta. Saya langsung mengiyakan dan tak keberatan harus datang ke Mojokerto, Jawa Timur. Ia juga meminta saya membotaki rambut, karena tak suka dengan rambut saya yang gondrong. Saya langsung mengiyakannya. Padahal, sebelum bertemu Shinta, saya paling anti diatur soal penampilan. Namun, karena saat itu sudah mantap ingin menikah, saya tak mempermasalahkannya.

November 2012, saya bertandang ke rumah orang tua Shinta di Mojokerto. Saya utarakan kepada orang tua Shinta niat menikahi anaknya. Syukurlah, niat itu langsung disambut baik. Ayah Shinta meminta untuk bertemu dengan  orang tua saya di Bekasi. Tanpa mengulur waktu lebih lama, sebulan kemudian  orang tua kami masing-masing akhirnya bertemu  dan langsung merancang tanggal lamaran. Di saat yang sama, Shinta mengajukan satu syarat: tak mau pindah ke Jakarta kalau sudah menikah nanti. Ini artinya, saya yang harus mengalah untuk pindah ke Surabaya.

Dengan jabatan dan posisi yang sudah aman dalam pekerjaan, saya seharusnya berpikir panjang untuk resign dari kantor. Atasan saya juga sempat menertawakan keputusan saya untuk resign. Menurutnya, kalau mau menikah, justru harus tetap bekerja agar penghasilan stabil. Tapi, tekad saya sudah bulat: memilih resign dan pindah ke Surabaya mendekati calon istri. Di Surabaya, saya bela-belain kos dan mencari pekerjaan baru.

Saya pun memulai kehidupan dari nol, sembari menyiapkan urusan pernikahan. Saya rela mengalah demi bisa menikahi wanita pilihan saya. Sebagai pria berdarah Minang, saya sempat dicibir oleh beberapa teman, karena dianggap terlalu tunduk kepada pasangan, yang bukan berasal dari suku yang sama. Namun, saya tak memedulikannya dan tetap pada tujuan awal: menikah. Dengan persiapan yang terbilang cepat, saya dan Shinta akhirnya resmi menikah pada 7 April 2013. Saya merasa sangat lega bisa melihat senyum kebahagiaan di wajah Shinta, wanita yang saya pilih menjadi pendamping hidup selamanya.(f)
 


Topic

#pernikahan