Foto: Pixabay
Dewasa ini, mendapatkan pasangan yang sesuai dengan kriteria tidak semudah membalikkan telapak tangan. Adanya pandemi yang menyebabkan berkurangnya acara sosial, komunitas dan korporasi, semakin mempersempit kemungkinan para singles untuk bisa mendapatkan kenalan baru.
Namun, tekanan untuk segera berkeluarga seakan tak berkurang. “Kapan menikah?” bisa jadi pertanyaan yang hampir sering kita dengar di kehidupan sehari-hari, apalagi bagi mereka yang berusia 20 - 30an dan masih berstatus 'belum kawin'. Pertanyaan tersebut biasanya datang tidak hanya dari orang tua, tapi juga lingkungan. Pertanyaan yang cukup melelahkan, terutama bagi wanita yang katanya lebih sering menerima pertanyaan ini dibanding pria.
Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Lunch Actually, dating agency pertama dan terbesar di Asia, terhadap 640 singles di Indonesia. Sekitar 31% responden mengaku mendapatkan tekanan untuk segera menikah dari masyarakat sekitar serta 29% tekanan yang sama berasal dari keluarga. Artinya, singles atau para jomblo mendapatkan tekanan lebih besar dari masyarakat sekitar dibandingkan dari keluarga sendiri.
Menikah seakan menjadi hal yang wajib dilakukan ketika kita menginjak usia tertentu. Urusan pernikahan pun kerap dianggap sebagai urusan bersama. Menurut Peneliti Sosial Vokasi Universitas Indonesia, Devie Rachmawati, seperti dikutip dari kumparan.com, fenomena pertanyaan 'Kapan Menikah’ di Indonesia sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah.
Menurutnya, berdasarkan ilmu tipologi, masyarakat Indonesia termasuk ke dalam masyarakat komunal. Dimana ranah domestik menjadi ranah sosial, begitu juga sebaliknya. Tingkat ketergantungan individu terhadap masyarakat sosial sangat tinggi sehingga menimbulkan ekspresi dalam bentuk pertanyaan seputar kehidupan personal.
Devi menjelaskan lebih lanjut, bahwa dalam hal ini, masyakarat komunal tidak bermaksud untuk 'menekan' individu dengan pertanyaan tersebut. Tetapi, pertanyaan tersebut memiliki dua maksud tertentu. Pertama untuk memastikan bahwa norma sosial yang dianut di kelompok masyarakat komunal dapat berjalan. Kedua, mendorong terciptanya bantuan sosial, seperti mengenalkan atau menjodohkan.
Namun tak dipungkiri, pertanyaan ‘Kapan Menikah’ terdengar lebih banyak ditanyakan pada kaum wanita daripada pria. Menurut psikolog Alvieni Angelica, M.Psi, seperti dikutip dari kumparan.com, hal ini terkait dengan faktor reproduksi. Dimana perempuan memiliki keistimewaan melahirkan anak dan usia produktif perempuan berada pada rentang usia 21 hingga 35 tahun. “Sehingga tidak heran jika, pada usia tersebut perempuan paling gencar mendapat tekanan untuk menikah,” jelas Alvieni.
Foto: unsplash
Cintai Diri Sendiri
Survei Love Actually menunjukkan bahwa 98% singles menginginkan hubungan yang serius. Ini artinya, ada keinginan yang besar untuk menikah. Namun, memang berbagai kondisi membuat wanita sulit untuk menjalin hubungan dan menemukan pasangan hidup. Faktanya ini sekaligus menjadi bukti bahwa pertanyaan ‘kapan menikah’ bisa berubah menjadi tekanan yang besar bagi wanita.
Hesti (40), bekerja sebagai dosen, mengaku kerap terusik oleh pertanyaan kapan menikah yang ditanyakan sesama koleganya. “Sebenarnya lumayan tertekan kalau dapat pertanyaan seperti itu. Tapi memang belum ada pria yang cocok, dan saya juga tidak ingin gegabah memilih,” ungkap Hesti.
Lain lagi dengan Nova (38) yang sudah memiliki keputusan sendiri untuk membangun bisnisnya. Bukan tidak ingin menikah, tapi memang saat ini ia ingin fokus dulu dengan usahanya. Sehingga pertanyaan tentang kapan menikah, tidak terlalu mengusiknya. Dan lucunya menurut, Nova, orang-orang di luar keluarganya lah yang lebih banyak bertanya soal kapan menikah dibandingkan dengan ibunya sendiri.
Menyikapi tekanan untuk menikah, Alvieni, yang juga founder dari perusahaan consulting psychology Enlightmind mengajak wanita untuk mencintai diri sendiri dan merasa nyaman dengan diri sendiri.
"Bila kita sendiri tidak suka dengan situasi kita saat ini, maka komentar society akan terasa seperti tekanan. Dalam hal ini, menemui psikolog bisa membantu untuk menguraikan rasa dan pemikiran yang kita rasakan sehingga kita bisa menjadi lebih objektif melihat situasi kita," tutur Alvieni, seperti dikutip dari kumparan.com.
Selain itu, menurut Alvieni, kita juga perlu menata pikiran dengan keyakinan bahwa semua orang ingin bahagia, namun bahagia tidak harus diletakkan dalam status ‘menikah’.
Foto: unsplash
Tip Menemukan Pasangan
Bagi singles yang ingin mencari pasangan yang sesuai kriteria, berikut saran dari Violet Lim, CEO dan Co-Founder Lunch Actually, untuk melalui tantangan bertemu orang baru karena ini adalah langkah pertama untuk menemukan pasangan hidup:
1/ Memanfaatkan platform kencan
Dating apps merupakan salah satu solusi untuk bisa mendapatkan pasangan tanpa harus pergi berkencan di suatu tempat. Jika hanya untuk saling mengenal, semuanya bisa dilakukan dengan melalui ponsel pintar saja. Namun tentu saja sebagai pengguna platform daring, berkencan dengan seseorang melalui dating apps harus tetap waspada dengan segala resikonya. Survei yang sama menyebutkan 42% singles mengaku mereka malah bertemu dengan penipu.
Cara lain, yang terbilang cukup aman adalah bergabung menjadi member dating agency, seperti Lunch Actually. Berbeda dengan dating apps, Lunch Actually melakukan screening data pada setiap member, untuk meminimalisir kasus penipuan seperti berpura-pura lajang padahal sudah menikah, penipuan material seperti mengaku CEO padahal aslinya hanya seorang pengangguran, dll.
2/ Berkencan secara virtual, kenapa tidak?
Berkencan secara virtual bisa diterapkan demi menjaga diri dari serangan virus COVID-19 yang mungkin saja tersebar dari pertemuan dengan orang baru. Dengan kencan online atau virtual, para jomblo juga bisa lebih menghemat tenaga dan budget untuk pergi ke tempat kencan. Tentu saja akan sedikit lebih sulit untuk bisa sampai ke tahap ini. Pasalnya, langkah pertama yaitu menemukan kontak orang yang dirasa cocok, akan sedikit sulit jika kita tidak memiliki aktivitas yang melibatkan banyak orang.
3/ Aktif berkegiatan sosial
Banyak sekali kegiatan sosial yang masih tetap berlangsung baik secara virtual maupun secara offline dengan aturan yang cukup ketat. Dengan mengikuti kegiatan sosial, para jomblo berpeluang untuk bisa mendapatkan kenalan baru. Hal tersebut bisa menjadi momentum untuk para jomblo menunjukan kelebihan diri dan menarik perhatian calon pasangan yang juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. (f)
Baca Juga:
Pernah Jadi Korban Ghosting? Simak 5 Alasan Kenapa Dia Melakukannya
Ingin Keluar dari Toxic Relationship? Lakukan 7 Langkah Ini
3 Masalah Yang Kerap Muncul Saat Rencanakan Liburan Bersama Pasangan
Faunda Liswijayanti
Topic
#pernikahan, #singel