Profile
Sukses Dagadu Djogja 24 Tahun Menjadi Ikon Yogyakarta

18 May 2018


Foto-foto: Gayuh Prakoso

Setiap destinasi wisata, selalu memiliki suvenir khas yang dicari wisatawan sebagai oleh-oleh atau penanda bahwa mereka sudah pernah berkunjung ke sana. Demikian pula Yogyakarta, yang memiliki Dagadu, kaos berdesain khas, yang sudah menjadi merchandise ikonik.
 
Dagadu Djogdja berawal pada tahun 1994, ketika 25 mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sebagian besar adalah mahasiswa arsitektur berkolaborasi untuk membuat kaos berdesain khas. Maklum, ke-25 mahasiswa tersebut memang penyuka desain.
 
“Lahirnya Dagadu saat itu sebetulnya tanpa konsep bisnis, hanya karena suka desain dan tata kota, sekaligus melihat potensi pariwisata Kota Yogyakarta,” ujar  Khristopha Muhammad, Marketing Manager PT Dagadu Djogdja, awal Mei lalu.
 
Mereka memilih kaos dengan pemikiran, sebagai merchandise, kaos adalah produk yang paling pas. Lalu, dibuatkan gambar-gambar dan kata-kata yang lucu yang dijiwai 3 hal yaitu Smile, Smart, Jogja.
 
Nama Dagadu pun merupakan plesetan gaya Yogya, yaitu bacaan terbalik (walikan) dari huruf Jawa hanacaraka, yang berarti ‘Matamu’.  Matamu, dalam konteks orang Yogya, adalah umpatan yang menyiratkan keakraban di antara pemakainya. Gambar mata pun digunakan sebagai logo.
 
“Pada awalnya kami menjual kaos di kalangan mahasiswa, lingkaran teman-teman kami saja. Di setiap kegiatan mahasiswa kami membuka ‘lapak’. Ternyata penerimaannya bagus dan kaos kami laris,” ujar Gigih Budi Abadi, desainer grafis, konsultan branding yang  juga salah satu pendiri Dagadu Djogdja.
 
Laris di kalangan mahasiswa, kesempatan penetrasi pasar yang lebih luas datang ketika salah satu dosen mereka menawari Dagadu masuk ke Malioboro Mal. Setelah itu, nama Dagadu pun kian terangkat menjadi oleh-oleh wajib bagi wisatawan yang datang ke Yogya, bersaing dengan bakpia pathuk atau batik.
 
 

 
Dagadu pun bertransformasi dari ‘tanda mata’ khas Jogja, kemudian menjadi ‘tanda baca’ dari Yogya. Lewat desain maupun karya-karya kreatif yang lain, mereka mengembangkan visinya untuk menyebarkan spirit kreativitas di Jogjakarta.
 
Ketika para mahasiswa itu sudah mulai lulus kuliah, mereka mulai mikir, akah dijadikan apa Dagadu Djogdja. “Sempat ingin dibubarkan saja, tapi kemudian mereka sepakat untuk meneruskan bisnis dan menjadikannya bisnis yang formal dengan mendirikan PT Aseli Dagadu Djogdja pada tahun 1997. “Mereka pun mulai benar-benar belajar bisnis,” ujar Fafa, panggilan Kristopha.
 
Tapi, seperti halnya yang alamiah dalam bisnis yang sedang meroket, pemalsuan pun marak. Dagadu pun mengalami hal yang sama ketika kaos dan produk-produk Dagadu lainnya dengan desain dan nama Dagadu dijual di emperan Jalan Malioboro maupun tempat-tempat wisata lain dengan harga yang jauh lebih rendah.
 
“Awalnya, para pemilik Dagadu tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Prinsip mereka, “Ah, biarlah, sama-sama mencari sego (nasi-red),” kata Fafa. Tapi, belakangan pembiaran itu membuat pemalsuan kian menjadi-jadi. Ketika ditelusuri, para pemalsu bisa memproduksi beribu-ribu kaos. Sehingga sejak tahun 2011, Dagadu pun melakukan langkah hukum untuk produsen pemalsu dalam skala besar lewat pasal pemalsuan merek.
 

Khristopha Muhammad, Marketing Manager Dagadu Djogdja.
 
Era telah berganti, diakui Fafa, Dagadu mencapai kejayaan pada dekade 2000-an, dengan puncaknya pad atahun 2004-2005. Perkembangan bisnis sangat pesat, kini PT Aseli Dagadu Djodja membawahi Dagadu Djodja, Dagadu Bocah, Hiruk Pikuk (untuk pasar low end), DGD (apparel untuk pasar premium), Kolega Café dan Creative Space yang terletak di Gedong Kuning, satu kawasan dengan toko flagship Dagadu.
 
Diferensiasi bisnis ini juga menjadi salah satu cara agar terus relevan terhadap perubahan. Untuk brand DGD misalnya. “Kami mengadakan FGD, anak-anak muda itu kurang menyukai desain yang penuh warna seperti halnya Dagadu ‘lama’, maka kami membuat DGD yang berdesain clean dengan warna-warna monokrom,” jelas Fafa.
 
 
 
Meski kini juga bisa diperoleh dengan pembelian online di www.dagadu.co.id, namun pasar terbesar Dagadu masih tetap pembeli yang datang langsung ke toko. Sebagian karena ‘nostalgia’, namun sebagai cendera mata ikonik, tentu banyak konsumen baru yang datang. Oleh karena itu, Dagadu Djogja tidak pernah membuka cabang di kota lain.
 
“Karena itu, penjualan memang bisa sangat fluktuatif, ada musim-musim ketika penjualan melonjak, namun juga ada masa-masa sepi. Karena itu, kami harus memiliki semacam ‘jaring’ pengaman dalam bentuk diferensiasi bisnis seperti DGD, kafe dan art space yang bisa memberikan pemasukan yang stabil,” kata Fafa. (f)

Baca Juga:
Gairah Oleh-Oleh Lokal
Wise Women Yogyakarta, Perlunya Membuat Laporan Keuangan Bisnis Sejak Sekarang & Pentingnya Desain Kemasan Yang Menjual
Wise Women Surabaya: Pentingnya Pengelolaan Keuangan & Strategi Pricing untuk UKM


Temukan artikel seputar bisnis dan kisah sukses pengusaha Indonesia di www.wanitawirausaha.com 
 

 


Topic

#dagadu, #bisnis, #kisahsukses