
Foto: Denny Herliyanso
Populasi dan ekonomi Asia yang melonjak menciptakan bias pembangunan yang fokusnya hanya di kawasan perkotaan. Sementara, di perkotaan, ketimpangan pembangunan terjadi karena kelas atas makin menggusur kelas bawah. Kondisi itu mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dalam perebutan ruang kota. Bergerak di bidang arsitektur dan sosiologi selama lebih dari 15 tahun, Dr. Rita Padawangi (37) melihatnya sebagai paradigma pembangunan yang sudah ketinggalan zaman. Sebagai solusi, ia mengusung konsep pembangunan alternatif yang menekankan pentingnya unsur manusia sebagai bagian dari lingkungan.
Menyuarakan Kaum Miskin
“Halo, apa kabar?” ujar Rita, saat mendatangi kantor femina untuk melakukan pemotretan. Saat itu, wanita ramah ini baru saja menghadiri konferensi Pacific Cities Sustainability bersama Rachel Cooper dari Asia Society dan Hilmar Farid dari Direktorat Jenderal Kebudayaan RI. Konferensi tersebut berlangsung di Balai Kota Jakarta. “Senang rasanya bisa hadir di konferensi ini. Di situ, kami membahas pentingnya peran serta masyarakat untuk mencapai tata kota yang lebih baik di masa depan,” ujar Rita, antusias.
Rita lalu mencontohkan publikasi yang ia kerjakan: Water, Water Everywhere: Toward Participatory Solutions to Chronic Urban Flooding in Jakarta. Dalam publikasi yang ditulis bersama rekan sesama peneliti, Mike Douglass, Rita menekankan potensi keterlibatan masyarakat dalam membentuk sungai sebagai ruang alam, sosial, dan budaya yang terpadu.
Menurut wanita yang saat ini menjabat sebagai Senior Research Fellow dari Asia Research Institute, National University of Singapore, masyarakat selama ini memang cukup berperan aktif menjaga sungai. “Namun, yang lebih terdengar justru soal kebiasaan warga yang suka membuang sampah di sungai,” sesal wanita pemegang gelar S-2 dan S-3 bidang sosiologi dari Loyola University, Chicago, Amerika Serikat (AS), tahun 2005 dan 2008 ini.
Rita percaya, kerusakan sungai tidak hanya disebabkan oleh warga yang tinggal di bantaran, tapi juga warga di luar kawasan tersebut. Menurutnya, banyak warga di luar area bantaran yang juga berulah membuang sampah di sungai hingga menyebabkan sungai itu tersumbat. “Rasanya tidak tepat bila warga miskin dijadikan tumbal demi kecantikan kota. Mereka justru harus diberdayakan untuk menjaga sungai, karena merekalah yang hidupnya paling dekat dengan sungai,” ujar lulusan S-1 Arsitektur dari Universitas Parahyangan, Bandung, dengan predikat cum laude, ini.
Agaknya, keinginan untuk mengaktifkan peran serta masyarakat itulah yang membuat artikel Water, Water Everywhere berhasil mendapatkan penghargaan bergengsi: Holland Prize 2015. Penghargaan tersebut diberikan oleh Pacific Affairs, sebuah jurnal yang berfokus pada interaksi masyarakat Asia dan Pasifik di ruang publik, yang tiap tahunnya memberikan awards kepada penulis dengan karya terbaik. “Saya bangga karena artikel tersebut dapat memadukan informasi ilmiah dan pengetahuan sehari-hari dengan pemikiran kritis,” ungkapnya.
Di matanya, dunia arsitektur dan sosiologi memang tidak bisa dipisahkan. Rita ingat, ketika memperoleh gelar sarjana arsitektur, ia merasa masih ada sesuatu yang kurang. “Sebagai arsitek yunior, saya merasa hanya melayani orang-orang kaya. Lalu, bagaimana dengan orang yang kurang beruntung? Ruang-ruang kota itu kan, juga milik bersama. Makanya, saya memutuskan mempelajari sosiologi dan mendalami interaksi manusia dengan tempat tinggalnya,” kata Rita.
Ketika kuliah di Chicago, AS, Rita menggunakan waktu luangnya untuk kegiatan sukarela. Ia membantu sebuah organisasi non-profit bernama Metropolitan Planning Council selama dua tahun untuk bagian permukiman. Di sana, ia mengamati kesenjangan ekonomi dan diskriminasi ras yang masih terjadi. Setelah itu, Rita melanjutkan ke program doktoral. Karena program beasiswanya sudah selesai, maka Rita harus bekerja di lembaga riset bernama Center for Urban Research and Learning (CURL) untuk membiayai program doktoral.
“Di sana saya belajar menerapkan action research, terutama bagi orang-orang miskin Kota Chicago. Beberapa riset yang saya bantu adalah pemetaan gentrifikasi atau perubahan sosial budaya akibat pergeseran kaum kelas bawah oleh kaum kelas menengah ke atas. Riset tersebut menggunakan Geographical Information System (GIS) dan juga pemberdayaan lembaga-lembaga penitipan anak bagi orang miskin,” paparnya.
Setelah menjalani semua pengalaman itu, tibalah saatnya Rita menyusun disertasi yang memadukan arsitektur dengan sosiologi, pada tahun 2007. Subjek yang ia pilih adalah tempat-tempat demonstrasi di Jakarta, dengan fokus lokasi di Bundaran HI, Taman Medan Merdeka, dan sedikit di Tugu Proklamasi. “Saya ingin mengetahui mengapa tempat-tempat tersebut signifikan, dan apa hubungannya dengan struktur dan sejarah kota secara keseluruhan. Penelitian ini membawa saya untuk menemui berbagai aktivis dan penggiat sosial yang banyak menginspirasi saya,” tutur Rita. (f)
Topic
#wanitahebat