
Foto: Denny Herliyanso
Di usia 25 tahun, Riki Perdana Raya Waruwu (28) berhasil menambahkan titel doktor di depan namanya. Pencapaian ini sekaligus mencatatkan namanya sebagai doktor ilmu hukum termuda di Indonesia. Namun, memecahkan rekor nasional jelas bukan menjadi tujuan utamanya mengejar ilmu setinggi mungkin. Kini, sebagai hakim yustisial termuda di Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, misinya adalah menegakkan hukum absolut yang tak kenal kelas dan kompromi.
TANPA KOMPROMI
“Hakim sebagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia sesuai dengan ikrar dan janji, saya harus kuat menahan diri dari godaan pemberian upeti dalam bentuk apa pun,” tegas Riki, mengulang sumpah jabatan yang menjadi landasan hakiki kariernya sebagai seorang hakim. Sayangnya, kewibawaan hakim kerap dinodai oleh orang-orang yang menggunakan penyuapan untuk intervensi hukum.
Riki mengatakan bahwa intervensi atau campur tangan pihak lain dalam sebuah perkara merupakan masalah klasik yang kerap timbul di kalangan para hakim. Intervensi yang paling sering terjadi adalah iming-iming sejumlah uang dengan jumlah yang cukup fantastis, hingga ratusan juta, yang dijanjikan kepada hakim.
“Untuk menjaga profesionalisme dan netralitas saya sebagai hakim, saya membatasi pergaulan dengan orang-orang yang punya potensi permasalahan hukum, misalnya pengusaha atau pejabat-pejabat yang memiliki posisi dan tanggung jawab strategis,” lanjutnya. Pria ramah ini tidak keberatan jika karena prinsipnya ini, ia jadi punya banyak musuh.
“Negara telah memberikan mandat kepada hakim untuk menyelesaikan masalah hukum dengan baik dan seadil-adilnya. Negara juga sudah memberikan sebagian hak dan fasilitas,” tambahnya, tenang. Sebelum menjadi hakim MA, selama tiga tahun di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpandan, Kepulauan Bangka Belitung, Riki dipercaya menangani puluhan perkara, mulai dari sengketa tanah hingga kasus pencabulan anak, yang menjadi fokus perhatiannya.
Ia tak segan memberikan hukuman pidana maksimal 15 tahun penjara kepada pelaku pencabulan anak. “Mereka ini telah menghancurkan masa depan dan perkembangan psikologi seorang anak. Kasus pencabulan, dosanya sama seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain,” ujarnya, berharap Undang-Undang Perlindungan Anak akan segera direvisi dengan memberikan hukuman yang lebih berat dari 15 tahun penjara.
Merevisi undang-undang memang bukan bagian dari tugasnya. Tetapi, sebagai pemutus perkara, ia dapat mengusulkan gagasannya ini dalam beragam forum diskusi dengan pakar hukum, aktivis, akademisi, maupun lembaga kementerian terkait. Di tengah rekan-rekannya sesama hakim, Riki memang dikenal suka membuka ruang diskusi. Bahkan, para seniornya kerap datang ke ruangannya untuk mendiskusikan banyak hal. “Hingga kini, kami masih suka berdiskusi lewat telepon. Mereka kadang-kadang meminta pendapat saya tentang perkara yang ditangani,” ungkap Riki, yang sejak September 2016 lalu telah bertugas di MA Jakarta.
Prihatin dengan masa depan generasi muda, selama di Tanjungpandan Riki juga giat terjun ke tengah masyarakat untuk melakukan penyuluhan hukum. Salah satunya, berkeliling dari sekolah ke sekolah untuk membeberkan bahaya narkoba dan pelanggaran lalu lintas, dua pintu pelanggaran paling potensial yang dilakukan orang muda. “Di usia ketika mereka masih mencari jati diri inilah, anak-anak remaja sangat rentan mendapat pengaruh buruk hingga terjerumus ke tindak kriminal,” tuturnya.
Kini, sebagai hakim yustisial di Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, Riki memang tidak mengadili perkara secara langsung. Bukan berarti tanggung jawabnya menjadi makin ringan. Sebaliknya, ia dituntut untuk selalu berpikir jauh ke depan. Salah satunya mendukung MA melahirkan peraturan atau kebijakan yang menjawab kebutuhan zaman. Ia ikut menyusun draf peraturan atau kebijakan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, menghadiri serta melakukan pembahasan dengan kementerian atau lembaga kajian ilmiah mengenai penyusunan peraturan perundang-undangan maupun kajian hukum lainnya.
Baru-baru ini, ia dipercaya oleh MA untuk menjadi anggota Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Peraturan MA tentang proses tilang kendaraan bermotor. Poin penting dalam peraturan itu, orang yang terkena tilang tidak perlu menunggu proses sidang yang cukup panjang. Biayanya pun menjadi lebih murah. “Peraturan ini sangat penting karena akan memengaruhi kepercayaan publik terhadap MA,” katanya.
TERINSPIRASI AYAH
Menjadi seorang hakim merupakan impian Riki sejak kecil. Ayahnya, H. Aroziduhu Waruwu, S.H., M.H. (54), yang sejak tahun 1989 sudah menjadi hakim, ikut menjadi motivatornya. Begitu lekat dalam ingatannya, sewaktu kecil ia sering menyaksikan ayahnya yang sedang bertugas mengadili perkara dari luar ruangan persidangan.
“Beliau memiliki wibawa, berpikir sistematis dalam menghadapi masalah, baik di dunia pekerjaan maupun dalam lingkungan keluarga,” ujarnya, mengagumi sang ayah yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Bekasi.
Begitu lulus dari SMA Negeri 1 Gunungsitoli, Nias, Riki merintis mimpinya dengan mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Katolik Medan, dan setelah dua semester memutuskan pindah ke Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Gelar sarjana berhasil diraihnya dalam waktu 3,5 tahun.
Masih merasa haus akan ilmu, Riki melanjutkan ke jenjang S-2 di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, yang berhasil ia selesaikan dalam waktu 1,5 tahun. Saat itu, ia telah bekerja sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bekasi. Dengan pendapatan sebagai pegawai negeri sipil golongan 3A, ia kesulitan mewujudkan keinginan untuk mengejar gelar S-3 di bidang ilmu hukum. “Dengan modal nekat dan uang sebesar Rp500.000, saya memberanikan diri mendaftar di Universitas Jayabaya, Jakarta,” ungkapnya.
Tantangan demi tantangan dijalaninya dengan hati tabah dan tetap fokus. Pernah ia menerjang hujan badai dengan mengendarai motor dari Bekasi–Jakarta untuk mengonsultasikan disertasinya dengan dosen promotor. Semua perjuangannya ini terbayar manis pada 17 Oktober 2013, saat ia dinyatakan lulus dari ujian terbuka untuk gelar doktornya.
Perjalanannya menjadi seorang hakim juga tidak mudah. Pada tahun 2010, setelah lulus dengan gelar sarjana hukum, Riki mengikuti seleksi terbuka dan lulus. Selama 3 tahun 6 bulan selanjutnya, ia mengikuti rangkaian pendidikan serta pelatihan calon hakim dengan status calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tak berhenti di sini, untuk menjadi hakim secara sah yang berhak memutuskan perkara, pada tahun 2013 ia kembali menjalani seleksi. Ia berhasil lulus, bahkan masuk dalam lulusan 3 terbaik hakim Indonesia dan ditugaskan di Pengadilan Negeri Tanjungpandan, Kepulauan Bangka Belitung (2013-2016).
Kesuksesan yang diraih oleh Riki saat ini tentu tidak terlepas dari dukungan ayah dan ibunya, Hj. Warny Zebua, B.Sc. (53). Ayahnya yang memang ahli di bidang hukum banyak membantunya, salah satunya mengajari Riki tentang teknik menangani dan menyelesaikan perkara. “Jangan menjadi seperti kebanyakan orang. Jadilah mutiara di padang pasir dan jadilah bunga di padang rumput,” demikian nasihat sang ayah kepadanya. Dalam seleksi hakim yustisial di MA, ia salah saru dari 3 lulusan terbaik.
Nasihat itu selalu terngiang-ngiang di telinga Riki. Di tengah sentimen negatif praktik suap yang banyak menimpa para hakim di tanah air, ia terus mengejar mimpi untuk mengembalikan hukum absolut yang tidak pandang bulu. “Saya belajar dari Ayah tentang ketegasan dan keberanian serta tak boleh ragu memutus suatu perkara apabila keadilan dan kebenaran sebagai tujuannya,” tutur sulung dari dua bersaudara ini.
Tidak sedikit yang memandang minor pencapaiannya sebagai bentuk nepotisme atau campur tangan ayahnya yang masih aktif menjabat. “Saya melalui semua proses, belajar dengan sungguh-sungguh, dan mengikuti seleksi hakim tanpa campur tangan orang tua,” ungkap penggemar klub sepak bola Real Madrid ini.
Ia paham, mengemban tugas sebagai penegak keadilan amatlah berat. Namun, ia belajar untuk tetap memberikan keseimbangan dalam kehidupannya. Terutama memberikan perhatian bagi keluarganya. “Sejak masih bertugas di PN Tanjungpandan hingga saat ini bertugas di MA, saya selalu mengupayakan agar segala tugas kantor tidak dibawa ke rumah,” ungkap pria yang selalu menjaga pola makan agar tetap fit ini.
Di akhir pekan, ia benar-benar mencurahkan perhatian bagi orang-orang yang dikasihinya: istrinya, Safitri Sekar Ningrum, S.I.Kom (28), serta kedua anak mereka, Syakira Arraya Waruwu (3) dan Jacky Alvaro Augusta Waruwu (1,5). (f)
Topic
#millennialmanual