
Foto: DoK. DOCTORS GO WILD KOMPAS TV
Sosok dokter yang menunggu pasien di rumah sakit bukanlah impian dr. Ratih Citra Sari (37). Setelah gelar dokter di tangan, ia mulai merajut mimpinya menjalankan satu demi satu misi kemanusiaan. Ia siap datang ke daerah bencana, mendaki gunung, menembus hutan, bahkan mengarungi sungai hingga ke pedalaman, demi bertemu pasiennya.
“Maaf, saya sedang di Bandung. Saya sedang bersiap bakti sosial untuk mengobati masyarakat di Gunung Papandayan, Garut. Kita wawancara melalui telepon saja. Tapi, hari ini, ya, sebab besok saya sudah berada di lokasi. Sinyal akan hilang,” katanya, dalam pesan singkat lewat SMS, pertengahan Mei lalu.
Saat itu, Kabupaten Garut baru saja dilanda gempa berkekuatan 5 Skala Richter dan banyak korban cedera akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Tidak seperti dokter kebanyakan yang stand by menanti pasien di klinik dan rumah sakit, Ratih justru beredar mendatangi pasien-pasiennya dari satu wilayah bencana ke wilayah bencana lainnya.
Sudah 10 tahun lebih ia menjalani profesi tersebut, hingga kerap disebut sebagai ‘Dokter Spesialis Bencana’ oleh orang-orang dan rekan sejawat yang mengenal dirinya. Gempa Pariaman tahun 2009, yang mengusik nurani wanita kelahiran Banjarmasin, 20 Maret 1980, ini untuk menjalankan misi kemanusiaan.
“Entah mengapa, ketika mendengar ada gempa di Pariaman, tiba-tiba saja saya merasa ingin ke sana untuk membantu, seperti panggilan jiwa,” ceritanya. Saat itu ia bahkan belum sempat mencicipi praktik di rumah sakit, karena baru saja merampungkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saat menyampaikan keinginan tersebut, orang tuanya sempat melarang karena khawatir akan keamanan dirinya. “Tapi saya tak bisa hanya duduk diam di sini, sementara tahu di sana ada banyak orang merintih butuh pertolongan medis,” kata Ratih, yang sempat gundah. Hasratnya untuk membantu sesama tak terbendung lagi.
Keseriusannya berhasil meluluhkan hati orang tuanya sehingga mereka mengizinkan Ratih berangkat ke Pariaman.
Atas inisiatif dan biaya pribadi, Ratih membeli tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Padang. Tiba di Pariaman, ia langsung bekerja sebagai volunteer medis bersama tim pencinta alam Bandung, Wanadri, yang telah bergerak lebih dulu menjangkau wilayah yang belum tersentuh bantuan.
Tidak memiliki pengalaman sama sekali di daerah bencana, Ratih melengkapi dirinya dengan barang-barang kebutuhannya dan peralatan standar kedokteran. “Saya tidak ingin kehadiran saya justru merepotkan. Jadi, sebisa mungkin semuanya sudah saya persiapkan,” ungkap Ratih, yang mengaku sempat shock melihat kondisi setelah bencana.
Selama dua minggu ia bekerja tanpa henti, menguras pikiran dan tenaga untuk menangani pasien korban bencana. “Dalam sehari, kami bisa menangani 50 pasien. Pernah mencapai 80 pasien. Umumnya kami mengobati pasien yang terluka agar tidak terjadi infeksi. Kami juga harus menempuh area terisolasi yang porak-poranda akibat gempa,” kenang Ratih, yang saat itu menjadi satu-satunya wanita bersama dua dokter pria lainnya. Pengalaman perdana menjadi volunteer di Pariaman begitu membekas di hati Ratih.
Siapa sangka, membantu korban bencana akhirnya seperti ‘candu’ baginya. Setelah gempa Pariaman, Ratih terjun membantu bencana lainnya, seperti letusan Gunung Kelud, gempa Tasikmalaya, longsor di Bandung Selatan, dan beberapa bencana lainnya.
Wilayah geografis Indonesia yang rawan bencana, tak dipungkiri Ratih, menjadi perhatian besarnya untuk mengedukasi masyarakat bagaimana melindungi diri saat terjadi bencana. Berlompatan dari satu bencana ke bencana lainnya telah memberi ia banyak pengalaman.
Ketika di lokasi bencana, Ratih melihat obatobatan pereda nyeri, demam dan sakit kepala, serta perlengkapan P3K untuk mengatasi luka ringan sangat dibutuhkan. “Bantuan biasanya banyak yang datang, tapi sayangnya pendistribusian yang masih kacau dan lokasi bencana yang sulit dijangkau membuat bantuan tersebut tidak merata,” kata Ratih prihatin. Untuk melancarkan tugasnya, Ratih selalu bekerja sama dengan tim SAR dan pecinta alam seperti Wanadri untuk ‘membelah’ lokasi bencana dan membawa masuk tim dokter.
Selanjutnya: Doctors Go Wild membawa Ratih menjelajahi 54 daerah terpencil.
“Maaf, saya sedang di Bandung. Saya sedang bersiap bakti sosial untuk mengobati masyarakat di Gunung Papandayan, Garut. Kita wawancara melalui telepon saja. Tapi, hari ini, ya, sebab besok saya sudah berada di lokasi. Sinyal akan hilang,” katanya, dalam pesan singkat lewat SMS, pertengahan Mei lalu.
Saat itu, Kabupaten Garut baru saja dilanda gempa berkekuatan 5 Skala Richter dan banyak korban cedera akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Tidak seperti dokter kebanyakan yang stand by menanti pasien di klinik dan rumah sakit, Ratih justru beredar mendatangi pasien-pasiennya dari satu wilayah bencana ke wilayah bencana lainnya.
Sudah 10 tahun lebih ia menjalani profesi tersebut, hingga kerap disebut sebagai ‘Dokter Spesialis Bencana’ oleh orang-orang dan rekan sejawat yang mengenal dirinya. Gempa Pariaman tahun 2009, yang mengusik nurani wanita kelahiran Banjarmasin, 20 Maret 1980, ini untuk menjalankan misi kemanusiaan.
“Entah mengapa, ketika mendengar ada gempa di Pariaman, tiba-tiba saja saya merasa ingin ke sana untuk membantu, seperti panggilan jiwa,” ceritanya. Saat itu ia bahkan belum sempat mencicipi praktik di rumah sakit, karena baru saja merampungkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saat menyampaikan keinginan tersebut, orang tuanya sempat melarang karena khawatir akan keamanan dirinya. “Tapi saya tak bisa hanya duduk diam di sini, sementara tahu di sana ada banyak orang merintih butuh pertolongan medis,” kata Ratih, yang sempat gundah. Hasratnya untuk membantu sesama tak terbendung lagi.
Keseriusannya berhasil meluluhkan hati orang tuanya sehingga mereka mengizinkan Ratih berangkat ke Pariaman.
Atas inisiatif dan biaya pribadi, Ratih membeli tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Padang. Tiba di Pariaman, ia langsung bekerja sebagai volunteer medis bersama tim pencinta alam Bandung, Wanadri, yang telah bergerak lebih dulu menjangkau wilayah yang belum tersentuh bantuan.
Tidak memiliki pengalaman sama sekali di daerah bencana, Ratih melengkapi dirinya dengan barang-barang kebutuhannya dan peralatan standar kedokteran. “Saya tidak ingin kehadiran saya justru merepotkan. Jadi, sebisa mungkin semuanya sudah saya persiapkan,” ungkap Ratih, yang mengaku sempat shock melihat kondisi setelah bencana.
Selama dua minggu ia bekerja tanpa henti, menguras pikiran dan tenaga untuk menangani pasien korban bencana. “Dalam sehari, kami bisa menangani 50 pasien. Pernah mencapai 80 pasien. Umumnya kami mengobati pasien yang terluka agar tidak terjadi infeksi. Kami juga harus menempuh area terisolasi yang porak-poranda akibat gempa,” kenang Ratih, yang saat itu menjadi satu-satunya wanita bersama dua dokter pria lainnya. Pengalaman perdana menjadi volunteer di Pariaman begitu membekas di hati Ratih.
Siapa sangka, membantu korban bencana akhirnya seperti ‘candu’ baginya. Setelah gempa Pariaman, Ratih terjun membantu bencana lainnya, seperti letusan Gunung Kelud, gempa Tasikmalaya, longsor di Bandung Selatan, dan beberapa bencana lainnya.
Wilayah geografis Indonesia yang rawan bencana, tak dipungkiri Ratih, menjadi perhatian besarnya untuk mengedukasi masyarakat bagaimana melindungi diri saat terjadi bencana. Berlompatan dari satu bencana ke bencana lainnya telah memberi ia banyak pengalaman.
Ketika di lokasi bencana, Ratih melihat obatobatan pereda nyeri, demam dan sakit kepala, serta perlengkapan P3K untuk mengatasi luka ringan sangat dibutuhkan. “Bantuan biasanya banyak yang datang, tapi sayangnya pendistribusian yang masih kacau dan lokasi bencana yang sulit dijangkau membuat bantuan tersebut tidak merata,” kata Ratih prihatin. Untuk melancarkan tugasnya, Ratih selalu bekerja sama dengan tim SAR dan pecinta alam seperti Wanadri untuk ‘membelah’ lokasi bencana dan membawa masuk tim dokter.
Selanjutnya: Doctors Go Wild membawa Ratih menjelajahi 54 daerah terpencil.
Topic
#RatihCitraSari, #Profil, #WanitaHebat