Profile
Nissa Wargadipura, Mendekatkan Spiritualitas dan Pertanian

22 Apr 2016


 Foto: dok.pribadi

Saat femina menemuinya, Nisya Saadah Wargadipura (43), salah satu penggagas Pesantren Ekologi At-Thariq, Garut, baru saja kembali dari kursus singkat selama sebulan di The Navdanya Biodeversity Conservation Farm, Earth University, Dehradun, Uttarakhan,  India. Ia terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa belajar A-Z Agroecology and Organic Food System Course dari Dr. Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan India. Dalam kesempatan yang sama, Nissa juga mengikuti Bhoomi Festival di New Delhi dan The Soil Yatra di Indore dan Nagpur, India.

Ditemani sang suami, Ibang Lukman Nurdin (43), antusiasme Nissa, demikian ia dipanggil, masih tampak di wajahnya. Dengan ceria, ia menceritakan pengalamannya menimba ilmu membuatnya merasa makin menyatu dengan alam. “Di India, saya banyak belajar tentang tanah dan kehidupan di dalamnya yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan bahan kimia, seperti pestisida dan herbisida.”
 
Peran Lembaga Otokritik
Kegelisahan Nissa yang lahir dari lingkungan pesantren ini muncul saat melihat bentuk pesantren yang mulai ditinggalkan oleh arus modernisasi. Berkebun, memelihara ikan, dan bertani yang dulu menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pesantren mulai dianggap ketinggalan zaman. Pesantren mulai bergerak ke arah bentuk pesantren modern. Namun, santrinya jadi tidak mandiri dan cenderung pasif karena semuanya dilayani dengan fasilitas lengkap.

Anak-anak butuh ilmu yang luas dan kualitas yang hebat, selain bisa berpidato dan berdakwah. “Daya kreativitas anak sangat tinggi, pendidik yang harus mengeksplorasi mereka. Ini kritik kami pada lembaga pendidikan yang sudah tidak memanusiakan manusia,” tegas Nissa.

“Ekologi jadi bagian pengabdian penting pada Sang Pencipta. Sederhananya, bagaimana orang bisa melaksanakan salat, jika airnya kotor? Pengabdian kepada Tuhan harus ada perwujudan konkretnya,” Ibang mengisahkan ide awal mereka mengawinkan konsep ekologi dan pesantren.

Jiwa aktivis Nissa dan suaminya membawa mereka bertemu dan menjadi salah satu perintis Serikat Petani Pasundan. Saat menjadi aktivis advokasi agraria, Nissa sempat menjadi buron dan dianggap berbahaya oleh pihak berwajib. Dalam pelarian, akhirnya mereka memutuskan menikah.

Setelah reformasi, pelarian mereka pun berakhir. Namun, konsistensi perjuangan mereka membela rakyat petani tidak meredup, meski banyak tawaran untuk ‘tutup mulut.’ Bahkan, Nissa sempat ditawari menjadi anggota dewan. Dengan semua yang telah mereka lewati, Nissa  makin yakin bahwa memulihkan ekologi adalah pilihan yang tepat.

Selama nyaris 15 tahun bergelut dengan kehidupan para petani di daerah yang sarat konflik agraria, membawa mereka pada suatu pemahaman. Ada kesalahan fatal pada sistem pertanian, petani sangat tergantung pada biaya produksi untuk benih, pupuk, dan obat-obatan seperti pestisida dan herbisida dari seorang pemilik modal.

Sistem pertanian monokultur nyatanya tidak hanya merusak lahan, tapi juga menjerat petani dari segala sisi. “Harga sayuran dari pertanian monokultur sangat fluktuatif, seperti kasus anjloknya harga tomat beberapa waktu lalu. Kejadian seperti ini bisa mengancam petani sampai menjual tanahnya untuk menutup utang biaya produksi,” papar Nissa, prihatin.

Melihat fenomena ini, keduanya memutuskan untuk melepaskan diri dari dunia advokasi pertanian dan fokus di dunia pendidikan dengan mendirikan pesantren ekologi
sebagai pendidikan alternatif untuk mencetak kader baru petani muda dan menjalankan peran sebagai lembaga otokritik terhadap lembaga pendidikan yang sudah ada.

“Pesantren kini sudah mematikan kreativitas dan kemandirian santri, menghilangkan pengetahuan lokal. Dulu di pesantren, menu harian berbasis pada makanan lokal, seperti ubi bakar untuk sarapan, atau jagung untuk makan siang, dan tidak tergantung pada nasi, sehingga ada diversifikasi pangan,” cerita Nissa.
           
Di Pesantren At-Thariq, santri diajak menanam tanaman lokal sebagai sumber pangan, seperti daun kelor, ganyong, bayam hutan, garut, dan daun jotang. Mereka juga diperkenalkan pada pengobatan tradisional dari herba, seperti memanfaatkan pegagan, kunyit putih, jahe merah, daun sirsak. Bahkan, kini santri mereka sudah memiliki 15 jenis budi daya teh herba.
 
Bertani sebagai Ideologi
Gambaran negeri yang ‘gawat’ di buku Panggilan Tanah Air (Noer Fauzi Rachman, Ph.D.)  juga membuatnya menegaskan dan melabuhkan diri untuk menjadi petani. “Saya ingin memperbaiki situasi semampu saya dalam berkontribusi terhadap negara, sebagai pandu tanah air. Kami menentang sistem pertanian monokultur. Indonesia adalah negara agraris, namun karena sistem kebijakannya tidak berpihak dan tidak berorientasi pada agrarian, kondisinya justru sangat buruk. Tanah kita subur sekali, batang kayu dilempar saja tumbuh!” jelas Nissa, yang lebih suka menyebut dirinya sebagai penyimpan benih.

Oleh karena itu, di Pesantren At-Thariq, bertani diusung menjadi ideologi. Hasil bertani yang utama digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan bukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Yang kini terjadi sering kali orang salah dalam bertani. Hasil panen yang bagus justru dijual ke pasar, sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga hanya diberi sayuran sisa. Ia percaya, dalam jangka panjang, bertani secara ideologi akan memulihkan kembali  kondisi bumi yang makin rusak ini secara bertahap.  
                 
Yang lebih ironis lagi, petani monokultur di level terbawah justru tidak bisa menikmati hasil panennya sendiri. Uang yang mereka dapatkan dari penjualan hasil panen justru dibelikan mi instan, cabai, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Utang mereka pun hanya  karena pendapatan dari hasil bertani tidak menutupi. Padahal, kondisi ini jauh berbeda dengan pertanian polikultur.
                 
“Dengan beragam tanaman di dalam sebidang kebun, keluarga tidak akan kekurangan nutrisi yang dibutuhkan dan tidak tergantung pada biaya produksi pada satu pemilik modal,” tegas Nissa.

Di sisi lain, belum banyak masyarakat yang menyadari efek revolusi hijau pada kehidupan sehari-hari, termasuk  efek konsumsi dari makanan yang berasal dari hasil panen benih hibrida dan transgenik. Menurut Nissa, banyak penyakit baru muncul setelah merebaknya makanan transgenik. Jumlah pasien diabetes, kanker, autisme, bahkan penderita vertigo meningkat cukup tinggi setelah kehadiran makanan transgenik. “Yang paling mengerikan, kita bahkan tidak menyadari bahwa bahan makanan kita saat ini sudah didominasi makanan transgenik, termasuk jagung dan kedelai,” jelas Nissa.

Salah satu tantangan buat Nissa adalah mengampanyekan bahaya obat-obatan kimia kepada masyarakat. “Sekarang saya kewalahan harus bisa menerangkan kepada petani tentang asal muasal pestisida sebagai senjata pembunuh di kamp-kamp pengungsian di era Perang Dunia II, atau bagaimana bahayanya makanan transgenik pada pertumbuhan anak. Saya juga masih terus belajar.”
 
Membangun Generasi Mandiri
Di Pesantren At-Thariq atau yang sering disebut Nissa sebagai Sekolah Kebun Sawah,  tiap santri mengatur sendiri makanan mereka, dari mengambil bahan baku di kebun hingga memasak. Selain belajar formal, kegiatan berkebun berbasis primakultur menjadi bagian dari rutinitas santri. Mereka belajar memanfaatkan lahan, menjaga nutrisinya, memproses sisa makanan jadi pupuk untuk memperbaiki lahan, memproses benih, hingga mengelola perpustakaan benih. Bentuk-bentuk keterampilan ini tidak hanya mengasah kreativitas santri, tapi juga menyibukkan mereka dan membuat mereka lebih sehat karena selalu aktif.

Pendidikan serupa diterapkan Nissa kepada ketiga buah hatinya, Salwaa Khanzaa Al Salsabil (15), Akhfaa Nazhat Al Wafa  (12), dan Qaisa Qaramitha Mulya Shadra (4).  “Sejak kecil mereka harus melayani diri sendiri dengan cara yang sehat dan etis, serta menghargai proses panjang pada apa pun, termasuk urusan rumah tangga di rumah. Ini bagian dari perjuangan saya mendidik mereka agar bisa melanjutkan pesantren ini nantinya,” tegas Nissa.

Tidak heran, si sulung Salwa sudah ikut terjun menjadi mentor untuk santri yang lebih muda darinya. Yang membanggakan, dua anaknya berhasil menunjukkan prestasi sebagai juara karya ilmiah dari keseharian mereka yang dekat dengan pertanian.

Pesantren At-Thariq membuka lebar pintunya kepada siapa saja yang ingin belajar bertani. Biayanya? Gratis! Terbuka untuk mereka yang tidak mampu, juga mereka yang mampu namun benar-benar ingin belajar. Inilah salah satu bentuk kemandirian pesantren yang dibuktikan lewat kegiatan pertanian sebagai salah satu sumber pendapatan. Keseriusan Nissa mengelola pesantren ini menuju bentuk laboratorium ekologi terdengar hingga ke mancanegara. Beberapa kali ilmuwan dari India, Swedia, dan staf Kementerian Prancis menumpang belajar bertani di sini.

Memasuki hampir satu dekade, pesantren ini telah melahirkan 1.400 alumni. Tidak sedikit di antaranya yang sudah membuka pesantren sendiri. Ternyata ini menjadi salah satu syarat bagi mereka yang ingin belajar di sini agar pengetahuan yang didapatkan bisa ditularkan tidak hanya kepada orang tua, tapi juga kepada generasi berikutnya dan menularkan ‘virus’ bertani ini agar bisa melekat jadi kebiasaan di masyarakat.

Ekologi adalah rumah kita. Banyak yang datang dan pergi dari rumah, jadi harus ada yang menjaga agar tidak rusak. Kalau bukan kita, siapa lagi?
 


Topic

#WanitaHebat