
Foto: AFP
Sejak pertama kali mencemplungkan diri dalam dunia politik, Najat Vallaud-Belkam langsung jadi sorotan. Wanita berambut pendek kelahiran 4 Oktober 1977 ini dipercaya oleh Perdana Menteri Prancis Jean-Marc Ayrault untuk mengemban tugas rangkap sebagai Menteri Hak-Hak Wanita, Menteri Urusan Kota, Menteri Urusan Pemuda dan Olahraga, serta juru bicara pemerintah, di usia 34 tahun (2012-2014).
Berbagai media dunia kemudian menyebutnya sebagai wajah perubahan Prancis. Saat Ayrault digantikan oleh Perdana Menteri (PM) Manuel Valls dan terjadi perombakan besar dalam kabinet, wanita muslim pertama yang diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pendidikan Tinggi, dan Riset Perancis periode 2014-2017.
Soal Burka dan Jilbab
Saat ia diangkat menjadi menteri, kaum muslim Prancis menaruh harapan besar untuk memperjuangkan hak mereka. Salah satunya soal burka (busana wanita yang menutupi seluruh tubuh kecuali mata) yang dilarang dikenakan di area umum sejak tahun 2011, masa kepemimpinan Presiden Nicolas Sarkozy. Ternyata Najat bergeming soal larangan itu, sehingga banyak muslim Prancis menyuarakan kekecewaan.
Namun saat PM Manuel Valls menyerukan wacana larangan jilbab di lingkungan universitas, baru-baru ini, Najat menyatakan sikapnya. ''Tak perlu ada aturan hukum yang melarang jilbab di universitas,'' katanya. Ia berargumen, mahasiswa sudah dewasa dan mereka berhak mengenakan jilbab. Ia ingin kebebasan dan hak beragama para mahasiswa tetap terjaga.
''Universitas kita juga memiliki mahasiswa asing. Apakah kita akan melarang pula, padahal dalam kultur mereka terdapat pakaian tertentu yang biasa mereka kenakan?'' tukas ibu dari dua anak kembar Louis-Adel Vallaud dan Nour-Chloé Vallaud, yang kini berusia 7 tahun ini.
Identitas kemuslimannya pun sempat membuat dirinya mendapat sorotan tajam. Pasalnya kejadian tembakan yang menyerang kantor majalah komik Charlie Hebdo, 7 Januari 2015 lalu jelas mencoreng Islam. "Saya geram mendengar para teroris itu bilang, kami membalaskan dendam atas nama Nabi Muhammad. Jangan bawa-bawa nama Islam, jangan bawa-bawa agama saya,” komentarnya tegas.
Tak hanya oleh masyarakat, ia juga kerap diserang oleh lawan politiknya. Salah satunya soal dua kewarganegaraan, yakni Maroko dan Prancis, yang ia miliki. “Saya sudah bekerja di politik selama lebih dari 10 tahun, dan mengabdikan hidup saya untuk pekerjaan layanan publik. Saya merasa sangat Prancis. Bukan separuh Prancis," tutur wanita yang mendapatkan kewarganegaraan Prancis sesaat sebelum mulai kuliah ini.
Menurutnya memiliki kewarganegaraan ganda adalah sebuah keuntungan. “Memiliki kesempatan tumbuh dalam dua budaya, tak hanya memberi kesempatan mengenal kedua budaya, tapi juga membuat kita berpikiran terbuka,” ujarnya.
Gerus Diskriminasi
Sebagai Menteri Pendidikan, Najat melakukan langkah perubahan untuk mengantisipasi agar peristiwa Charlie Hebdo tak lagi terulang. Sesuai dengan wilayah kekuasaannya, yaitu dari sekolah, ia ingin membuktikan bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk mengurai kebencian dan kekerasan yang seringkali mengatasnamakan agama.
Ia mengajukan anggaran 250 juta Euro (Rp3,8 triliun) untuk membangkitkan nasionalitas pelajar, salah satunya dengan mengajarkan lagu kebangsaan La Marseillaise di sekolah-sekolah. Sejak akhir tahun 2015, pelajar dan guru diharuskan menandatangani perjanjian untuk tidak menanggalkan segala atribut keagamaan di luar sekolah. Sebuah keputusan berani yang langsung diapresiasi oleh banyak pihak untuk menegaskan identitas Prancis yang sekuler.
Di balik senyum manisnya, Najat tak diragukan sebagai politikus hebat. Dia sering dibandingkan dengan Rachida Dati, Menteri Kehakiman Prancis di masa pemerintahan Nicholas Sarkozy tahun 2007, yang dianggap sebagai simbol keragaman. Rachida adalah wanita keturunan Maroko dan Aljazair pertama yang menjabat di pemerintahan.
Namun, Najat menolak untuk dibandingkan dengan Rachida yang sekarang menjabat sebagai parlemen di Uni Eropa. “Dulu, Sarkozy tidak memilih orang berdasarkan kompetensi. Dia hanya mengangkat orang terdekatnya, bukan karena mereka memang layak,” tukas istri dari Boris Vallaud, politikus yang kini menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Presiden Hollande.
Sementara posisinya kini adalah hasil dari sebuah perjuangan panjang. Saat baru hijrah ke Amiens, Prancis, dari desa kecil di Maroko, Najat yang saat itu masih berusia 5 tahun mengaku sempat mengalami gegar budaya. Najat yang cerdas bertekad untuk masuk Institut d'études politiques de Paris (Institut Studi-Studi Politik Paris). Meski guru sekolahnya sempat mengatakan, bahwa Najat tak mungkin bisa diterima sebagai imigran dari negara muslim. Namun ia pantang mundur. Hasilnya, ia diterima dan lulus dari perguruan terpandang itu.
Meski tertarik soal politik, tapi Najat tak pernah terpikir untuk terjun langsung ke dunia politik apalagi sampai menjadi wakil yang dipilih rakyat. Dalam wawancara dengan sebuah media bercerita titik balik hidupnya terjadi tahun 2002 saat ia sedang berlibur ke Spanyol dan membaca berita kalau kandidat Jean-Marie Le Pen yang mencalonkan diri jadi presiden, sepertinya mendapat kesempatan bagus untuk memenangkan suara.
Berita itu mengusik Najat. Ia ingat kedua orang tuanya, yang tidak pernah tertarik politik, selalu menunjukkan kekesalan tiap kali melihat politikus yang sangat menentang imigran dan terkenal rasis itu muncul di televisi. Segera setelah kembali ke Prancis, ia memutuskan bergabung dengan Partai Sosialis. Idealismenya adalah untuk menjalankan demokrasi lokal, melawan diskriminasi, mempromosikan hak-hak warga sipil, akan akses setara terhadap pekerjaan dan perumahan.
Hanya butuh dua tahun bagi Najat untuk menancapkan kukunya di percaturan politik Prancis. Berhasil terpilih dalam Dewan Wilayah Rhone-Alpes pada 2004, ia mengetuai Komisi Budaya. Karier politiknya pun kian melesat. Setahun kemudian, ia dipercaya menjadi penasihat Partai Sosialis. Dan selang tahun berikutnya, ia menjadi kolumnis program kebudayaan C'est tout vu di Télé Lyon Municipale.
Pada Februari 2007 ia bergabung dalam tim kampanye Ségolène Royal sebagai juru bicara pada pemilihan Presiden 2007. Ségolène adalah tokoh Partai Sosialis, dan kini partner François Hollande, Presiden Prancis. Sejak 2008, Najat menjadi konselor kota Lyon, untuk mengurusi acara-acara kota, pemuda, dan kehidupan masyarakat.
Tahun 2012, Najat dilantik pada kabinet Presiden Prancis François Hollande sebagai Menteri Hak-Hak Wanita dan jurubicara pemerintahan. Pada tanggal 26 Agustus 2014, ia ditunjuk oleh Presiden Hollande dan PM Valls sebagai Menteri Pendidikan, Pendidikan Tinggi, dan Riset. Posisi ini diyakininya sangat pas bagi dirinya.
“Saya rasa mereka sangat tahu betapa penting arti pendidikan dan sekolah bagi saya. Saya tahu saya berutang banyak pada guru dan sistem pendidikan Prancis dan saya yakin sekolah adalah kunci untuk membangun masyarakat dan kemajuan generasi muda,”ujar pengagum Marie Curie, wanita pertama peraih Nobel fisika asal Polandia yang pindah ke Paris ini. (f)
Topic
#wanitahebat