Profile
Joshua Oppenheimer, Pria Yang Membuka Sejarah Indonesia di Panggung Dunia

20 Jun 2016


Foto: Daniel Bergeron

Ketika tahun lalu  film Jagal (The Act of Killing) masuk dalam nominasi Academy Awards dalam kategori Film Dokumenter Terbaik, nama Indonesia langsung menjadi pembicaraan. Di tanah air, publik pun bertanya-tanya, siapakah gerangan sutradara yang telah begitu berani memfilmkan fakta peristiwa 1965, dari sisi pelaku? Belum habis pembicaraan dan kontroversi tentang Jagal, sutradara yang sama kembali menghadirkan filmnya yang lain tentang Indonesia, berjudul Senyap (The Look of Silence). Kali ini, cerita dari sudut pandang keluarga korban pembunuhan tragedi 1965. Pria itu adalah Joshua Oppenheimer (41).
 
Keluarga Aktivis
Di film Jagal, Joshua mengangkat kisah tentang Anwar Congo, preman asal Medan yang membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Anwar bercerita bagaimana ia membunuh ratusan orang dengan tangannya.

Di film terbarunya, Senyap, Joshua bercerita dari sudut pandang keluarga korban. Tokohnya, Adi Rukun, seorang penjual kacamata keliling di Deli Serdang, Sumatra Utara. Ia adalah putra pasangan Rukun dan Rohani, keluarga yang pernah menjadi korban  pembunuhan di tahun 1965, yang tak lain adalah kakak kandung Adi yang bernama Ramli. Semasa hidupnya, kedua orang tuanya mengalami trauma, luka mendalam, dan ketakutan berkepanjangan. Ayahnya yang buta dan tuli, meninggal pada  tahun 2013, menanggung trauma.  

Adi bersama ibunya yang telah renta, tinggal satu desa dengan orang yang menjadi pelaku pembunuhan Ramli, yang tak pernah diproses secara hukum. Bahkan, ungkapan permohonan maaf pun tak pernah terlontar dari pelaku.  

Kegetiran hidup keluarga Adi, dan digambarkan pula situasi saat ia berhadapan langsung dengan pelaku, yang dengan santai mengakui perbuatannya dulu, ditangkap kamera Joshua dengan tajam. Film ini telah ditayangkan di banyak festival film internasional, dan berhasil menyabet 23 penghargaan kemenangan. Di antaranya, memenangkan FIPRESCI Award dan FEDEORA Prize (penghargaan kritik film Eropa) di Venice International Film Festival 2014, dan Peace Film Prize di Berlin Film Festival 2015.

Bagi publik Indonesia, nama Joshua memang asing karena dia bukan WNI. Bahkan tak sedikit yang heran, ada orang asing yang bisa menangkap sejarah Indonesia dengan begitu blakblakan, lewat angle yang tak terpikirkan selama ini. Pendekatan yang tidak biasa, tanpa rekayasa, jalan cerita yang sederhana, tapi kontennya sungguh amat tidak sederhana.

Joshua lahir di Texas, AS, pada tahun 1974. Dibesarkan di Washington DC dan Santa Fe, New Mexico, jiwa aktivis dan kesadaran politiknya terbentuk dari orang tuanya: ayahnya seorang profesor ilmu politik dan ibunya aktivis serikat buruh, pengacara buruh dan pengacara lingkungan hidup.

Orang tua ayahnya adalah pelarian dari tragedi holocaust. Kedekatan Joshua dengan kakek dan neneknya juga sedikit banyak telah memengaruhinya. “Kakek dan nenek saya melarikan diri dari Jerman pada saat yang tepat sehingga lolos dari holocaust. Saya mendengar mengenai holocaust jauh sebelum saya mendengar cerita dongeng Cinderella atau menonton Peter Pan. Saya tumbuh dan dibesarkan dengan sebuah pesan bahwa tujuan politik, seni, dan moralitas adalah untuk mencegah kekejian seperti holocaust, ataupun seperti pembantaian massal 1965 di Indonesia, berulang lagi di mana pun, kapan pun, kepada pada siapa pun,” cerita Joshua, yang kini tinggal di Denmark dan London. Denmark, tempat kantor Production House, Final Cut, yang menaunginya, dan London, sebagai Artistic Director di Centre for Documentary and Experimental Film di University of Westminster, London.  

Pria yang lulus dengan gelar summa cum laude di jurusan Filmmaking,  Harvard University, AS, dan peraih gelar Ph.D. dari Central Saint Martins College of Art and Design, University of the Arts, London, ini mengatakan, dua filmnya, Jagal dan Senyap, sebetulnya tak hanya cerita tentang sebuah masa lalu yang terjadi di Indonesia, tapi lebih merupakan film mengenai dunia dan manusia saat ini.

“Film Jagal menunjukkan bagaimana para pelaku pembantaian massal membual kepada dunia, lewat kamera, justru untuk meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang mereka perbuat bukanlah sebuah kejahatan, melainkan sebuah aksi heroik. Sedangkan film Senyap menunjukkan bagaimana rasanya menjadi keluarga korban yang dipaksa membisu, tak bersuara, dan tak bisa berduka, di tengah bualan, propaganda, dan kebohongan yang datang dari tetangga di sekitar di kampung yang sama. Keduanya adalah cerita manusia hari ini, dan keduanya bermula dari suatu peristiwa di masa lalu Indonesia, tetapi masa lalu belumlah menjadi masa lalu sampai kita memaknainya secara terbuka tanpa rasa takut,” tutur pria yang mendapatkan penghargaan MacArthur "Genius" Award ini. 

Lewat Senyap, Joshua juga ingin menyampaikan bahwa masa lalu belum menjadi masa lalu sampai kita memaknainya secara terbuka tanpa rasa takut. “Selama keluarga Adi Rukun dan keluarga Amir Hasan masih hidup di satu kampung yang sama sebagai keluarga pelaku dan keluarga korban  --bukannya sebagai tetangga-- mereka, dan rakyat Indonesia, pada dasarnya masih hidup di masa lalu,” katanya.
 
Menghayati Indonesia
Perkenalan pria yang hobi memasak ini pada Indonesia dimulai sejak dari bangku kuliah, ketika ia menemukan buku antropolog Clifford Geertz, berjudul Religion of Java. Ia lalu mempelajari lebih banyak lagi tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia tahun 1965, ketika ia mendapatkan undangan dari serikat buruh pangan internasional untuk membuat film mengenai gerakan serikat buruh perkebunan di Indonesia pada tahun 2001, The Globalisation Tapes.

Saat riset di lapangan, ia kemudian mendengar banyak sekali cerita mengenai pembantaian massal tersebut dalam proses pembuatan film dari keluarga korban dan para survivor. “Saya kemudian memahami bagaimana cerita tersebut masih menghantui kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan budaya Indonesia sampai hari ini. Ada sebuah ketakutan yang terus-menerus menghantui mereka. Saya pun mulai menelusuri trauma tersebut dengan mewawancarai dan merekam keluarga korban serta survivor genosida 1965,” ujar Joshua, yang membuat film Jagal dan Senyap dalam kurun waktu tahun 2003-2012.
  
Joshua bercerita, di sebuah perkebunan dengan modal asing, para buruhnya ditekan agar tidak membangun kekuatannya lewat serikat, sehingga mereka tak bisa bersuara atau memprotes buruknya situasi dan kondisi pekerjaan mereka. “Banyak buruh wanita yang terpaksa menyemprot pestisida tanpa peralatan pelindung yang memadai sehingga mereka terpapar racun, sakit parah, dan meninggal muda di usia 40-an. Tiap kali para buruh ini berusaha menyuarakan protesnya, perusahaan menyewa preman untuk menekan, mengancam, dan meneror mereka,” tuturnya, sedih.

Joshua mengatakan, ada kaitan erat antara masalah perburuhan itu dengan kasus kemanusiaan yang terjadi di tahun 1965. Teror dari preman perusahaan tersebut menjadi efektif mengingat orang tua dan kakek-nenek para buruh perkebunan ini pada tahun 1965 adalah anggota serikat buruh yang sebagian dipenjarakan tanpa pengadilan, dijadikan pekerja paksa, dan sebagian lagi dibunuh.  Dengan ketiadaan hukuman bagi para pelaku pembantaian massal 1965, menurut Joshua, teror dari preman perusahaan menjelma menjadi bayangan yang menghantui para buruh, bahwa pembantaian tersebut bisa terjadi lagi pada mereka sekarang atau di masa depan.

“Dari proses pembuatan The Globalisation Tapes itu saya kemudian mempelajari berbagai cerita yang telah saya rekam dari para survivor, keluarga korban, dan para pelaku yang membualkan bagaimana mereka membunuh banyak orang di kampungnya,” kata pria yang jika kangen Indonesia, ia akan memasak nasi goreng atau opor ayam.

Dari riset tersebut pula muncul dorongan untuk membuat film yang terkait dengan sejarah pembantaian massal di Indonesia, karena, kata Joshua, hal tersebut adalah bagian penting dari sejarah dunia, dan sejarah tersebut punya dampak yang kuat sampai hari ini.

Joshua menyayangkan, sejarah Indonesia, sebagaimana dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sendiri, masih merupakan sebuah sejarah propaganda yang dibuat rezim militer Orde Baru. Sejarah itu ditulis dengan pembungkaman para korbannya, menghapus peristiwa pembantaian massal, dan penggelapan serta kebohongan.

“Pemikiran dan gerakan kelompok kiri digambarkan sebagai bahaya yang mengancam, padahal pemikiran itu jugalah yang mendorong gerakan anti-kolonialisme di seluruh negara terjajah dunia setelah Perang Dunia II. Pemikiran dari kelompok kiri ini pula yang di negara-negara Barat justru melindungi hak-hak buruh yang diperjuangkan lewat serikat yang kuat dan juga menghasilkan program kesehatan dan kesejahteraan yang baik.”

Ia menambahkan, hal yang sama terjadi pada gerakan wanita di bidang kebudayaan, ekonomi, dan politik yang dibangun oleh   Gerwani, misalnya, dihancurkan lewat propaganda hitam sedemikian rupa. “Sehingga, sepanjang masa Orde Baru, dengan sedikit perkecualian, peran wanita kembali dikerdilkan dan dikembalikan ke urusan rumah tangga,” kata Joshua, yang lebih menyukai destinasi liburan ke pelosok-pelosok yang sepi untuk mendaki gunung, berski lintas alam, atau berkendara melintasi padang es di daerah Arktika.

Lewat filmnya, Joshua ingin menunjukkan bahwa monster dalam sejarah Indonesia  bukanlah para pelaku pembantaian massal itu sendiri. Jikalah ada yang bisa disebut sebagai monster, kata Joshua, maka monster tersebut adalah tirai gelap propaganda, kebohongan, dan kesenyapan yang menyebabkan orang tidak bisa lagi mengenali wajah sejarahnya sendiri.

“Bagaimana Indonesia menghadapi masa lalunya adalah sebuah bagian yang sangat penting dalam sejarah dunia. Keengganan kita mengakui kesalahan, kecenderungan kita untuk memilih menipu diri sendiri daripada mengakui rasa bersalah kita, barangkali adalah tragedi terbesar bagi umat manusia,” ucap Joshua, yang mengatakan, hal ini adalah masalah yang terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan di negerinya, Amerika Serikat.  

Namun demikian, Joshua melihat, Indonesia kini sedang dalam proses memulai pembenahan sejarah. “Dua faktor akan membuat proses ini luar biasa sulit. Pertama, tidak seperti di Jerman setelah Perang Dunia II, di Indonesia para pelaku pembantaian massal dan kroni-kroninya tidak disingkirkan dari kekuasaannya. Kedua, kuatnya impunitas bagi para pelaku sampai hari ini, dan itu menciptakan kesenyapan yang menakutkan di antara para korban dan keluarganya,” ujar Joshua.

Dalam pembuatan filmnya, Joshua mengaku menemui banyak hambatan, mulai dari gangguan atau penghentian dari pengelola perkebunan, polisi, intel, dan pejabat setempat. “Para pengganggu ini juga mengintimidasi keluarga korban agar tidak berbicara kepada saya, atau dilarang berbicara dengan saya tanpa kehadiran mereka. Keluarga korban akhirnya menyarankan saya agar saya mewawancarai para pelaku. Mereka juga ingin mendengar dari para pelaku, apa yang terjadi pada anak, ayah, ibu, paman, dan keluarga mereka yang dibunuh. Mereka sadar, mereka tidak bisa melakukannya sendiri tanpa menghadapi intimidasi dari para pelaku, atau anak buahnya, dan untuk itu mereka seperti mengutus saya,” kenangnya.

Ia menambahkan, pernah juga suatu kali, perusahaan perkebunan mengirim polisi untuk menghentikan syuting yang mereka lakukan dan tiba-tiba menahan semua awak film di kantor polisi dan menginterogasi mereka selama beberapa jam. “Nyatanya, mereka tidak punya alasan untuk menahan kami lebih lama, karena bahkan mereka sebetulnya tidak punya alasan apa pun untuk menghentikan kegiatan kami,” kata Joshua, yang bertindak cukup hati-hati, terutama dalam memikirkan keselamatan para narasumbernya.

Adi Rukun, kata Joshua, adalah perwakilan generasi yang lahir sesudah peristiwa pembantaian massal itu berlangsung. Pada generasinya, harapan akan terjadi rekonsiliasi ditumpukan. Adi, keluarga korban yang tidak mendendam, ingin meluruskan sejarah bagi anak-anaknya, dan ia ingin memaafkan para pelakunya.
Joshua yang bertekad akan terus membuat film yang menyuarakan tentang kemanusiaan, berharap  agar proses rekonsiliasi sejarah yang berlangsung di Indonesia patut menjadi perhatian seluruh umat manusia, di mana pun.

“Pesan utama kedua film saya, kalau bisa sangat diringkas adalah  ‘never again!’ Jangan pernah terjadi lagi kekerasan massal di mana pun atau pada siapa pun. Jangan sampai ada lagi impunitas (bebas hukum) yang dirayakan oleh para pelakunya. Dan bahwa tugas untuk mencegah terjadinya kekerasan massal di masa depan adalah tugas kita semua sebagai umat manusia,” pesannya.

Apakah  ia akan kembali ke Indonesia untuk menggenapkan dua filmnya menjadi trilogi? “Tentu akan sukar sekali bagi saya untuk membuat film lagi di Indonesia. Bukan alasan teknis yang lebih saya pertimbangkan. Saya melihat bahwa film Jagal membuka sebuah ruang pembicaraan di Indonesia, dan Senyap menyusul mengisi kesenyapan setelah kebohongan diungkap dalam film Jagal. Sebagai seorang pencerita, saya sudah menyampaikan segala yang sudah saya dapatkan dalam 10 tahun lebih. Harus ada cerita baru --perubahan yang menciptakan situasi dan cerita baru-- untuk disampaikan lagi sebagai pelengkap trilogi. Saya merasa, dan ini adalah harapan saya, bagian ketiga ini adalah milik orang Indonesia.”

Di mata Joshua, Indonesia adalah negeri cantik yang penuh luka menganga yang belum disembuhkan, bahkan belum sepenuhnya disadari bahwa luka itu masih menyakitkan sampai hari ini. Indonesia juga adalah negeri yang sejarahnya penuh dengan perjuangan rakyatnya melawan penindasan, sampai sekarang.  
“Yang perlu diingat, tidak ada perubahan progresif dalam sejarah sosial dunia --mulai dari warisan gerakan buruh yang memberikan kita delapan jam kerja, sampai gerakan yang memperkenalkan jaminan kesehatan universal-- yang hadir tiba-tiba dan semata-mata karena kebaikan hati para politikus. Perubahan sosial di mana pun, dan tentunya juga di Indonesia, memerlukan gerakan sosial. Kita memerlukan tuntutan yang disuarakan masyarakat akar rumput untuk memungkinkan penyembuhan luka itu, agar rekonsiliasi dapat bekerja dengan tuntas. Indonesia sangat memerlukan gerakan akar rumput ini,” tuturnya, optimistis.  (f)
 


 


https://www.helpforassessment.com/blog/style/ https://www.baconcollision.com/css/ https://seomush.com/ https://radglbl.com/ https://stmatthewscommunityhall.co.uk/vendor/ https://www.bgquiklube.com/style/ https://proton.co.ke/css/ https://www.888removalist.com.au/vendor/ https://quill.co.id/js/ https://aniworld.com.de/css/ https://gmitklasiskupangbarat.or.id/js/ slot gacor สล็อตออนไลน์" เว็บตรงสล็อต MAX33 คาสิโนออนไลน์ MAX33 สล็อตเว็บตรง