Profile
Asma Nadia: Manusia Itu Abu-Abu

13 Jun 2016


Foto: Lufti Hamdi

Di suatu sore, keriuhan terdengar dari ruang auditorium di sebuah universitas di Jakarta. Meski kapasitas ruangan itu 600 orang, masih ada yang tidak kebagian kursi sehingga memilih duduk di lantai dan sesak memadati tepi ruangan. Semua peserta acara yang didominasi wanita muda berebut ingin berinteraksi dengan Asma Nadia (44).

Penulis yang sudah menghasilkan 50 buku, enam film layar lebar, dan tiga serial televisi itu memiliki tempat spesial di hati penikmat karya-karyanya. Ia konsisten ‘merekam’ dan menyuarakan ketidakadilan terhadap wanita. Di sisi lain, tidak sedikit pula yang mencemooh karena karya-karyanya juga kerap menampilkan kehidupan wanita muslim yang penuh rintangan. Lewat perbincangan santai dengan femina, ia berbagi tentang betapa luka dan duka justru bisa menjadi bara untuk memberdayakan. 
 
Luka Sebagai Sumber Kekuatan
Jika Anda rajin menyimak layar kaca, Anda  pasti familiar dengan karya-karya wanita yang bernama lengkap Asmarani Rosalba ini. Dua novel karyanya yang diangkat ke medium film dan drama televisi menampilkan sosok wanita yang submisif, Surga yang Tidak Dirindukan dan Catatan Hati Seorang Istri, yang cukup menyedot perhatian publik.

Bagaimana tidak? Tokoh Mei Rose (Raline Shah) dalam film Surga yang Tak Dirindukan mencoba bunuh diri dalam keadaan hamil karena ditipu oleh pria yang berjanji menikahinya. Seorang pria lembut hati bernama Pras (Fedi Nuril) menyelamatkan Mei Rose. Namun, niat baik Pras untuk membantu berujung dengan menikahi Mei Rose, yang ia rahasiakan dari istrinya, Arini (Laudya Cynthia Bella).

Dalam serial drama televisi Catatan Hati Seorang Istri, sosok istri teraniaya tampil dalam berbagai wajah, seperti diselingkuhi suami, tidak dinafkahi, dipukuli, bahkan mencucikan pakaian dalam pasangan selingkuh suami. Aduh!

Tentu banyak pertanyaan yang muncul, benarkah ini sekadar rekaan atau memang inikah cerminan realitas yang terjadi dalam kehidupan banyak rumah tangga di Indonesia?  Asma mengakui, sumber inspirasinya memang berasal dari  curahan hati mengenai pengalaman pahit teman atau kenalan yang ia terima melalui e-mail dan forum. Tidak mengherankan, dari sebagian karyanya yang populer, sebagian publik melekatkan label ‘bukan sastrawan’, ‘penulis kisah sedih’, atau ‘penulis populer’  pada dirinya. Kendati demikian, ia berteguh untuk tidak menutup-nutupi wajah-wajah luka wanita.

Bagi Asma, menampilkan luka dan duka itu perlu, tentu saja dalam porsi tertentu. “Tidak sedikit wanita yang belum sadar bahwa mereka mengalami penganiayaan domestik,” ujar Asma. Di sisi lain, fakta di lapangan menguatkan alasan Asma. Catatan Tahun 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, menunjukkan angka tertinggi kekerasan terhadap wanita di Indonesia adalah kekerasan yang terjadi di ranah personal, terutama dalam rumah tangga.

Meski tetap harus mempertimbangkan kepentingan komersial dari produser, Asma menampik bahwa ia menampilkan kisah-kisah kekerasan terhadap wanita itu demi rating di layar kaca maupun layar lebar. Mau tak mau, meski kurang menyenangkan, kisah-kisah itu justru tetap harus ditampilkan untuk publik dalam kemasan yang tepat untuk memicu kesadaran mereka. Ini cukup beralasan, bagaimana wanita bisa menghindari kekerasan, jika mereka sendiri tidak menyadarinya?

Ia juga meyakini, sejatinya manusia tidak terlalu butuh kesiapan untuk berbahagia. Berbeda dengan kebahagiaan dan kesuksesan, tidak ada sekolah yang bisa menyiapkan manusia untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang disiapkan oleh takdir. “Dari luka dan duka, manusia bisa belajar mencari solusi untuk masalahnya. Proses panjang melalui duka itu akan mengubah seseorang menjadi individu yang lebih bersyukur dan kuat,” ujar peraih Anugerah Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dalam bidang Pengarang Fiksi Remaja Terbaik tahun 2001, 2002, dan 2005 ini.

Dalam membangun kisah dan penokohan, Asma sangat jarang menampilkan   tokoh secara hitam dan putih. Menurutnya, tidak pernah ada manusia yang benar-benar sempurna, baik protagonis maupun antagonis. “Manusia itu abu-abu. Sering kali, ada sosok yang terlihat jahat, padahal sebenarnya mereka baik, tapi terpaksa berbuat hal-hal yang tidak baik --menurut norma-norma masyarakat-- karena terimpit keadaan, seperti tokoh Mei Rose dan Pras,” ungkap Asma.

Ajaran agama Islam juga menjadi prinsip utama bagi Asma dalam membangun cerita. Namun, ia menekankan, terlepas dari latar belakang agama yang mereka anut, pada dasarnya  tiap wanita di dunia menghadapi tantangan dan isu-isu yang sama. Oleh sebab itu, ia bersedia menyertakan nilai-nilai universal, seperti persamaan hak di berbagai bidang, kemerdekaan umat manusia, serta persaudaraan dan toleransi di dalam karya-karyanya. Renungan dari perjalanannya ke 60 negara dan 316 kota di dunia ikut memperkaya pemikirannya.  
 
Menulis untuk Mencerahkan
Sejak belia, Asma mendekap erat salah satu ajaran Islam yang mengatakan: Al-ummu madrasatul ‘ula (ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anak) dalam berkarya. Bahkan, ajakan ‘pejuang mimpi’ yang digaungkan Asma ternyata juga berangkat dari kenangan masa kecilnya bersama sang ibu, Maria Erry Susianti, seorang mualaf keturunan Tionghoa-Medan. “Ibu tidak pernah menangis dan suka membantu orang yang membutuhkan. Sesulit apa pun keadaan keluarga kami dulu, ia mengajak kami untuk tidak putus asa,” ungkap putri kedua dari tiga bersaudara ini.

Sebelum sang ayah, Amin Usman, mencapai puncak karier sebagai pencipta lagu, Asma sekeluarga harus hidup berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah sewa lainnya di Jakarta. Menahan rasa lapar akibat kondisi finansial yang kurang baik juga pernah mereka alami. Meski cuma makan nasi pakai garam, Asma dan saudara-saudaranya tetap menikmati makanannya karena disuapi oleh sang ibu.

Di tengah keterbatasan itu, Asma memperhatikan kebiasaan ibunya dalam memuliakan buku. Tiap malam, sang ibu menulis buku harian. Ia juga mencontohkan kepada anak-anaknya untuk menyampul buku-buku mereka dengan sampul plastik atau kertas minyak. Buku juga jadi pelipur lara saat Asma kecil harus bolak-balik ke rumah sakit untuk perawatan kesehatan. “Sejak kelas 1 SD, saya didera gegar otak, gangguan paru-paru dan jantung, serta tumor. Ibu sering membelikan buku cerita legenda rakyat agar saya tidak bosan di rumah sakit,” ungkapnya. Rupanya, dari kebiasaan sang ibu itulah, kecintaan Asma pada buku mulai tumbuh hingga dewasa.

Sang kakak yang juga penulis, Helvy Tiana Rosa (46), ikut meyakinkan pilihan jalan hidup Asma. “Berapa banyak wanita penulis di Indonesia yang konsisten menulis tentang ketidakadilan terhadap wanita dan untuk mencerahkan kaumnya?” ujar Asma, mengulang ucapan Helvy saat itu. Pertanyaan itulah yang menjadi pemecut semangat Asma untuk terus berkarya hingga saat ini. Ia ingin menjadi salah satu dari sosok wanita penulis yang disebut kakaknya.

Selain berkarya lewat tulisan dan film, istri dari Isa Alamsyah (45) serta ibu dari Putri Salsa (19) dan Adam Putra Firdaus (15) ini juga mendirikan perpustakaan gratis untuk kaum duafa bernama Rumah Baca Asma Nadia. Hingga saat ini, sudah berdiri 184 perpustakaan yang tersebar di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Irian Jaya, dan Hong Kong.

Bersamaan dengan itu, Asma juga mendirikan penerbit Asma Nadia Publishing dan menggagas Komunitas Bisa Menulis yang saat ini sudah memiliki 120.000 anggota. Melalui perpustakaan dan pelatihan menulis, Asma mendorong wanita untuk memiliki wawasan luas dan keahlian. Selain untuk sarana mencurahkan perasaan, menulis bisa menjadi profesi yang menghasilkan. Anggota komunitasnya yang aktif menulis sudah ada yang dilirik penerbit dan menjadi penulis lepas resensi buku.

“Wanita harus cerdas, punya keahlian dan pekerjaan. Lakukan sesuatu yang bisa membuat dirinya dan keluarganya bangga,” ujar Asma, yang tekun mencari kesempatan untuk mengasah kemampuannya menulis. Ia pernah mengikuti program penulis residensi di Korean Literature Translation Institute dan terpilih sebagai peserta International Writing Program 2013 di University of Iowa, Amerika Serikat.

Menurut penggemar karya-karya Putu Wijaya, Taufik Ismail, dan penulis Rusia, Anton Chekhov, ini, ia hanya ingin berkontribusi dalam pembangunan karakter masyarakat lewat karya-karyanya. Terlepas dari semua kritik yang singgah, ia merasa selalu perlu mengawal proses pengadaptasian novel menjadi film dari awal sampai akhir. Ia berhati-hati memperhatikan pemilihan kata hingga gaya berhijab tokoh-tokohnya. Bukan apa-apa, dalam dunia visual, penampilan dan citra pengguna hijab menjadi perhatian masyarakat, terutama di era kebangkitan masyarakat muslim kelas menengah. “Ini bukan beban, tetapi sebuah tanggung jawab moral. Tulisan dan film itu bukan hanya mewakili kontribusi diri saya, tetapi juga Indonesia dan umat muslim,” tutur Asma.

Apa pun, kehidupan tidak selalu soal menang atau kalah, bertahan atau menyerang. Bagi Asma, kehidupan adalah sebuah perjalanan. Tiap orang selalu punya pilihan untuk menentukan cara menjalani hidup, termasuk para wanita. “Tantangan kehidupan bangsa ini terlalu banyak, tidak cukup jika hanya diletakkan pada pundak laki-laki. Wanita harus berkarya, tidak selalu harus kerja di kantor, tapi bisa juga dengan melakukan hobi yang bermanfaat, seperti menulis, mengajar, bahkan membuat kerajinan yang berpotensi menjadi peluang bisnis,” ujarnya, menutup perbincangan. Persis seperti ajaran yang selalu ia junjung: sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi umatnya. (f)


Topic

#wanitahebat