Profile
Aimee Dawis dan Pencarian Identitas Etnis

16 May 2016


Foto: dok.pribadi  
    
Tahun 1985, ketika masih berusia 10 tahun, Aimee Dawis dikirim orang tuanya untuk bersekolah di Singapura. Dengan kulit putih porselen, mata sipit, dan rambut hitam, identitasnya sebagai gadis Tionghoa sangat kentara. Namun, keraguan atas identitas dirinya muncul ketika seorang sopir taksi di sana bertanya kepadanya, “Kamu kan orang Tionghoa, tapi kenapa kamu tidak bisa berbahasa Mandarin?”
        
“Saya kembali bertanya kepada diri saya sendiri, ‘Saya ini sebenarnya orang apa, sih?’” kenang Aimee.
Kegamangan itu 30 tahun kemudian telah berbuah dua buku mengenai etnis Tionghoa di Indonesia. Bahkan, peneliti budaya Tionghoa-Indonesia dan dosen komunikasi ini tengah menyelesaikan buku ketiganya yang menyoroti kaum muda Tionghoa-Indonesia yang terjun ke politik. Ia juga punya mimpi besar: diskriminasi terhadap etnisnya akan hilang, dan seseorang tak akan lagi dinilai dari latar belakang etnisnya, namun dari kontribusinya terhadap bangsa ini.   
 
Tionghoa yang Buta Aksara Mandarin
Kegetiran jelas terlihat di wajah Aimee ketika menceritakan tentang peristiwa mengenaskan Batavia Massacre yang terjadi pada tahun 1740 di Indonesia, oleh pemerintahan kolonial yang tengah berkuasa di Indonesia saat itu. Selama dua minggu, dari tanggal 9 hingga 22 Oktober 1740, sebanyak 10.000 warga Tionghoa dibunuh. Penyebabnya, apa lagi kalau bukan pergesekan politik dan ekonomi kaum Tionghoa dengan pemerintah Hindia Belanda saat itu.
           
“Pembantaian itu merupakan represi politik dan ekonomi pemerintah Hindia Belanda terhadap kaum Tionghoa. Peristiwa itu terjadi di daerah yang sekarang bernama Angke. Itulah asal muasal nama Angke, ang berarti merah dan ke berarti bangkai. Bangkai merah. Kali tempat mayat-mayat korban pembantaian tersebut pun akhirnya dinamakan dengan Kali Angke,” tutur Aimee.
           
Hal tersebut diketahuinya ketika menulis skripsi berjudul The Economic and Historical Significance of the Chinese in Indonesia untuk menyelesaikan pendidikan sarjana dalam bidang communication arts di Loyola Marymount University, Los Angeles, Amerika Serikat. Memahami sejarah membantu Aimee memahami posisi kelompok Tionghoa-Indonesia di ibu pertiwi ini.

Ia pun akhirnya paham, mengapa ia dan orang-orang Tionghoa-Indonesia di generasinya tak bisa berbahasa Mandarin dan tak memiliki nama Mandarin. Ia kemudian mengerti, mengapa ketika ia masih kecil, Imlek hanya dirayakan seadanya di rumah masing-masing. Sedangkan ketika ia bersekolah di Singapura, aksi barongsai dan atribut Imlek yang meriah menghiasi jalanan negara persekutuan Inggris tersebut. Bahasa Mandarin pun menjadi bahasa kedua setelah bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga Singapura.
           
Bahkan di Amerika, ketika ia menyelesaikan pendidikan sarjana hingga doktoralnya, pecinan-nya begitu hidup dan kental akan identitas Tionghoa. Ia melihat, apa yang dialami oleh orang Tionghoa-Indonesia ini sangat unik dan tidak dialami orang Tionghoa yang tinggal di negara lain. Lunturnya identitas budaya Tionghoa pada warga Tionghoa-Indonesia yang lahir di antara tahun 1966 hingga 1998 ini erat kaitannya dengan politik. Terutama ketika kelompok Tionghoa-Indonesia dikaitkan sebagai kelompok komunis pendukung PKI.

Akhirnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya Tionghoa dilarang oleh Soeharto, Presiden RI kala itu. “Upaya pemerintah mengasimilasi warga Tionghoa-Indonesia ke dalam budaya Indonesia dengan melarang penggunaan dan pengajaran bahasa Mandarin serta perayaan Imlek secara besar-besaran telah membuat orang Tionghoa-Indonesia yang lahir setelah tahun 1965 hingga 1998 ‘buta’ akan budayanya sendiri dan asing terhadap bahasa nenek moyangnya,” ungkapnya. Ia menyebut generasi tersebut sebagai ‘generasi Tionghoa-Indonesia yang kejepit’, atau in-between generation.
 
Hasrat Mendorong Toleransi
Kenyataan inilah yang mendorong Aimee menggali lebih dalam lagi mengenai pencarian identitas ini ketika menulis disertasi untuk menyelesaikan pendidikan doktoral Media Ecology di New York University. Disertasi berjudul The Chinese of Indonesia and Their Search for Identity: The Relationship between Collective Memory and the Media itu membahas kelompok Tionghoa-Indonesia sebagai kelompok yang termarginalkan dalam struktur masyarakat dan pemerintahan yang hegemoni.
           
“Buku ini mengungkap bagaimana orang-orang Tionghoa-Indonesia yang lahir setelah tahun 1966 menegosiasikan makna-makna terkait budaya dan identitas Tionghoa mereka sebagai kaum Tionghoa-Indonesia yang tumbuh dalam kehidupan media yang penuh kekangan,” tutur wanita yang pernah menjadi dosen di New York University ini. Salah satu mata kuliah yang ia ajarkan adalah communication, thoughts and culture.
           
Disertasi tersebut kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Cambria Press, New York, pada tahun 2009. Versi Indonesia-nya diterbitkan dua tahun kemudian oleh Gramedia Pustaka Utama. Aimee kemudian menerbitkan buku keduanya, Portraits of Inspiring Chinese-Indonesian Women pada tahun 2012. Buku tersebut juga sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 2014.

Dengan latar belakang ilmu dan kompetensinya, mudah bagi Aimee untuk meniti karier di bidang pendidikan di luar negeri. Namun, setelah 16 tahun bersekolah dan berkarya di Singapura dan Amerika Serikat, pemegang gelar Master of Professional Studies in Communication dari Cornell University ini memilih untuk kembali ke Indonesia. “Alasan pertama adalah keluarga. Alasan kedua, saya ingin membagi ilmu saya untuk generasi muda di Indonesia,” cetus ibu dua putri, Putri (11) dan Hillary (4), ini.
           
Era reformasi yang menggulingkan pemerintahan Orde Baru telah membuka ruang berekspresi tanpa batas bagi warga Tionghoa-Indonesia. Menjabatnya salah satu kaum muda Tionghoa-Indonesia, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai Gubernur Jakarta, menimbulkan The Ahok Effect. “Banyak kaum muda Tionghoa-Indonesia yang tadinya tidak peduli terhadap kondisi politik Indonesia, kini menjadi peduli  dan bahkan mau terlibat di dalam dunia politik dan pemerintahan,” paparnya.
           
Kepedulian ini ia harapkan juga dibarengi oleh pemahaman mereka akan sejarah etnisnya di Indonesia. Apa yang menyebabkan kaum Tionghoa-Indonesia mengalami represi dan diskriminasi, yang berujung pada pembunuhan di tahun 1740, 1965, dan juga 1998. “Pemahaman tersebut diharapkan tidak menimbulkan kebencian, tapi panduan dalam bersikap dan bermasyarakat. Sehingga, kehidupan yang penuh tenggang rasa dan toleran terhadap keragaman pun dapat tercipta,” jelasnya.  
           
Aktif juga sebagai Ketua Dewan Pakar Bidang Komunikasi di organisasi masyarakat Tionghoa-Indonesia terbesar di Indonesia, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, Aimee ingin agar masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia tidak dilihat sebagai kelompok yang eksklusif. Meski secara fisik mereka terlihat sebagai orang Tionghoa, di dalam hati mereka merasa sebagai orang Indonesia. Sama seperti orang Indonesia dari suku lainnya.
           
Hal tersebut tercermin dalam profil-profil wanita Tionghoa-Indonesia di buku keduanya. “Yang menyamakan kesembilan wanita hebat, baik itu Mari Elka Pangestu, Susi Susanti, maupun Josephine Komara (Obin), di buku saya itu adalah bahwa mereka merasa sebagai orang Indonesia yang beretnis Tionghoa. Bukan kebalikannya, orang Tionghoa yang kebetulan lahir dan tinggal di Indonesia. Mereka juga sama-sama memiliki hasrat besar untuk memajukan Indonesia,” tuturnya.
           
Pesan itu selalu ia sampaikan lewat artikel tulisannya di media-media massa dan juga mata kuliah komunikasi dan budaya yang ia ajarkan di program studi S-2 dan S-3 Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. “Saya ingin anak-anak muda Indonesia memahami bahwa komunikasi sangat erat kaitannya dengan budaya. Dengan memahami konteks budaya dari suatu proses komunikasi, kita dapat meminimalkan kesalahpahaman yang dapat berujung pada intoleransi,” jelasnya.
           
Untuk kaum muda Tionghoa-Indonesia, ia berharap kondisi sosial dan politik yang sudah lebih ramah terhadap kelompok Tionghoa-Indonesia ini dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. “Bukan untuk kepentingan golongan, tapi untuk lebih peduli dan mau terlibat untuk kemajuan negara ini. Semoga The Ahok Effect ini bisa memberi dorongan positif terhadap kontribusi nyata kaum muda Tionghoa-Indonesia,” papar Aimee, penuh harap.
 

 
           
            
 


Topic

#WanitaHebat