
Dunia Leluhur (2017), karya Ni Tanjung, di Gudang Sarinah Ekosistem
Foto: NJL
Orang awam kerap memahami seni rupa sebagai produk abstrak yang hanya eksis di dimensi imaji, terpisah dari kehidupan sehari-hari. Fakta ini kemudian menciptakan jarak yang membuat orang segan untuk datang khusus menikmati karya seni rupa. Padahal, interaksi nyata dari pengalaman indera inilah yang mampu mengusik dan membangkitkan diskursus antara sang perupa, karyanya, dan masyarakat.
“Kesenian tidak sekadar membuat karya, tetapi sebuah kegiatan yang berhubungan timbal balik dengan segala aspek kehidupan. Kesenian tidak bisa hidup tanpa masyarakat. Jiwa kesenian adalah segala upaya untuk kembali memikirkan dinamika antara dunia seni dan masyarakat,” ungkap Melati Suryodarmo, Direktur Artistik Jakarta Biennale 2017, saat membuka ajang selebrasi senirupa dua tahunan ini di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta, Sabtu (4/11). Ikut membuka acara bersama dengan Melani, adalah Direktur Eksekutif Yayasan Jakarta Biennale Ade Darmawan, dan Kedutaan Denmark untuk Indonesia.
Dalam memaknai JIWA di Jakarta Biennale 2017 ini Melati dibantu oleh empat kurator seni. Mereka adalah Annissa Gultom (Jakarta), Hendro Wiyanto (Jakarta), Philippe Pirotte (Frankfurt), dan Vit Havranék (Praha). Keempat kurator ini juga ikut memilih 51 seniman yang karya-karyanya ditampilkan.
Kerja keras penyelenggara JIWA Jakarta Biennale 2017 bisa dikatakan berhasil. Sekat dan ruang yang menimbulkan jarak antara seni dan penikmatnya meluruh di ajang seni rupa yang telah berlangsung sejak 4 November hingga 10 Desember 2017 ini.
Banyak dari 51 karya para seniman tanah air dan dunia ini membuka ruang tiga dimensi yang bisa dimasuki, disentuh, dirasa oleh para pengunjung. Di ruang karya inilah, seseorang bisa menjadi dirinya sendiri tanpa terintimidasi oleh pemahaman yang muluk-muluk tentang seni. Datang saja, lihat, rasakan, resapi, dan alami interaksi yang terjadi.

Perjumpaan dunia Sekala & Niskala dalam "Unsung Heroes" karya I Made Djirna di Gudang Sarinah Ekosistem
Foto: NJL
Anda bisa membayangkan kembali reka ulang pra sejarah melalui seni instalasi Unsung Heroes karya I Made Djirna. Seniman asal Ubud, Bali, ini mengajak pengunjung untuk secara harfiah berjalan memasuki permenungan tiga dimensinya. Dari ruang berdinding juntaian tirai batu apung ini Anda bisa berjumpa dengan wajah-wajah berbagai ekspresi yang tertatah di atas batu apung seukuran genggaman tangan.
“Wajah-wajah yang terukir di atas batu apung itu adalah para leluhur, nenek moyang, yang mewakili pra sejarah dan keterhubungan seniman dengan alam,” terang kurator seni Hendro Wiyanto, saat memandu para jurnalis. Selama empat bulan sang seniman berkelana dari pantai ke pantai di Bali untuk mengumpulkan sampah dan batu apung yang menjadi materi seni instalasinya.
Dalam konteks kepercayaan Hindu Bali, karya I Made Djirna ini ingin mengingatkan kembali masyarakat Bali pada keagungan nilai tradisi tentang kehidupan yang seimbang antara antara Sekala (duniawi/fisik) dan Niskala (spiritual/gaib), atau keseimbangan antara nilai-nilai modernitas dan hal-hal spiritual yang imanen dan hakiki.
Pengunjung juga mendapat kesempatan membaca catatan pribadi buku harian Semsar Siahaan. Perupa dan pelukis kelahiran Medan yang tutup usia di Bali pada tahun 2005 (usia 52 tahun) ini terkenal dengan karya-karyanya yang menggugat praktik keserakahan. Lembar halaman buku harian ini tidak hanya mencatat buah pikirannya, tapi juga goresan sketsa karyanya. Sangat menggugah dan membangun keintiman rasa.
Ajang seni rupa yang berlangsung hingga 10 Desember 2017 ini bisa dinikmati di tiga lokasi berbeda – Lokasi utama di Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Seni Rupa dan Keramik, di Kota Tua, Jakarta. Selain pameran seni visual, agenda kegiatan JIWA juga diisi dengan serangkaian pertunjukan langsung para seniman, setiap hari hingga 14 November 2017 di ketiga lokasi.

Perupa Keramik dari Singapura Jason Lim, dalam "meditasinya" saat menggarap Under the Shadow of the Banyan Tree
Foto: NJL
Salah satu master seniman keramik asal Singapura, Jason Lim, membuka permenungan seninya lewat aksi langsungnya dalam karya instalasi berjudul “Under the Shadow of the Banyan Tree”. Bertempat di Gudang Sarinah Ekosistem, selama 5 jam, setiap harinya, selama 6 hari, Jason berkreasi lewat tiga ton tanah liat merah, yang dicampur air dan biji-bijian.
Mengenakan pakaian serba putih, Jason mulai mengambil satu demi satu lekukan tanah liat dan menyusunnya sedemikian rupa dalam pola bergelombang. Setiap gerakan yang dilakukan dalam diam itu seolah menjadi bentuk meditasinya dalam memaknai nilai imortalitas atau keabadian, nilai yang bersinergi dengan pohon beringin.

Komunitas Bissu asal Pangkep, Makassar dalam aksi seni mereka di pembukaan JIWA: Jakarta Biennale 2017
Foto: Jin Panji
Selain Jason, beberapa seniman lain ikut ambil bagian dalam aksi pertunjukan langsung ini. Di antaranya, Komunitas Bissu Makassar, Ali Al-Fatlawi dan Wtiq Al-Ameri (Swiss), Nikhil Chopra (india), Pawel Althamer (Polandia), Otty Widiasari (Indonesia), PM Toh (Indonesia), Marintan Sirait (Indonesia), Gabriella Golder (Argentina), Abdi Karya (Indonesia), Alastair MacLennan (Inggris), Eva Kot’akova (Republik Ceko), Ratu Rizkitasari (Indonesia), Aliansyah Chaniago (Indonesia), David Gheron Tretiakoff (Prancis), Darlene Litaay (Indonesia), Pinaree Sanpitak (Thailand).
Anda yang rindu membangun interaksi lebih dalam dengan para seniman dan dunia karyanya, bisa mengikuti bincang-bincang bersama para seniman dari berbagai negara. Acara ini berlangsung sejak 5 November di Gudang Sarinah Ekosistem, dan berlanjut ke acara simposium dua hari, Senin, 13 November 2017 hingga Selasa, 14 November, di l'Institut Français d'Indonésie (IFI), Jakarta.
Untuk jadwal lengkap, Anda bisa mengaksesnya di laman JIWA: Jakarta Biennale 2017. (f)
Topic
#pameran, #jakartabiennale2017