
Foto: Fotosearch
Meski belum ada penelitian yang pasti, generasi milennial disinyalir menjadi kelompok yang sangat ‘melek’ uang elektronik dan memanfaatkannya dalam tiap sisi kehidupan mereka. Hal ini diakui oleh Jasmina. Ia melihat, kemudahan dan kepraktisan uang elektroniklah yang dicari kaum milennial ini.
Walaupun begitu, Jasmina menilai, saat ini penggunaan uang elektronik di Indonesia masih dalam tahap pengenalan. “Pekerjaan rumah bagi pelaku penyedia layanan uang elektronik adalah bagaimana mengubah kebiasaan, dari terbiasa memegang uang tunai menjadi bertransaksi dengan uang elektronik,” jelasnya.
Senada dengan Eni, menurut Jasmina, orang masih suka memegang uang fisik. Itu sebabnya, pemerintah terus menggalakkan gerakan nontunai lewat aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah daerah. “Jakarta salah satunya. Pemerintahnya cukup mendorong warganya untuk menggunakan nontunai. Selain lewat Transjakarta dan e-toll, bantuan pemerintah kepada warga miskin juga disalurkan lewat kartu jaminan sosial, sehingga bisa terpantau dari pemberi hingga penerima,” jelasnya.
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat menggunakan uang elektronik, Eni kembali menekankan tentang pentingnya membangun infrastruktur yang menunjang. Harus diakui, kendala infrastruktur seperti jaringan komunikasi seluler yang belum merata dan sinyal yang tidak stabil, serta kesulitan melakukan top up, dan masih sedikitnya pilihan merchant tempat berbelanja, membuat seseorang berpikir dua kali untuk menggunakan uang elektronik.
Walaupun uang elektronik akan terus berkembang, Eni menilai, uang tunai akan tetap ada. Ratih Rasjadi (35), ibu rumah tangga, hingga kini tidak pernah menggunakan uang elektronik untuk bertransaksi sehari-hari. “Selain tidak pernah bepergian dengan bus dan kereta, saya juga biasanya memilih membayar tol dengan tunai. Memang harus mengantre, tapi saya yakin ada uangnya. Kalau pakai kartu, saya tidak tahu berapa saldo yang tersisa. Bisa-bisa nanti sudah di depan pintu gerbang, ternyata tidak ada isinya,” katanya, tersenyum.
Selain itu, Ratih juga mengaku takut uangnya hilang dan pada akhirnya tidak dapat digunakan. Belum lagi, ia harus top up uang elektronik. “Jadi, saya merasa belum ada alasan harus menggunakan uang elektronik,” ungkapnya.
Sama dengan Ratih, Vivi Restuviani (26), pekerja lepas, juga mengaku lebih nyaman dengan uang tunai, karena bisa melihat langsung jumlah uang yang dibelanjakan dan berapa sisanya. “Bagi saya, uang maupun dompet elektronik tidak terlalu banyak mempermudah hidup. Saya malah kerap dibuat pusing, bila saldo di dalamnya sudah hampir habis, sementara saya tidak bisa segera top up. Memang, ada banyak penawaran diskon di sejumlah merchant, tapi jumlahnya masih terbatas dan diskonnya pun tak terlalu signifikan,” katanya.
Bagi Vivi, bertransaksi dengan uang tunai juga berarti ia tak perlu menggunakan mode pembayaran yang berlainan untuk jenis transaksi berbeda. Bila uang tunai dalam dompet tak lagi cukup, ia tinggal mencari mesin ATM terdekat. “Makanya, saya tidak berencana menggunakan lebih banyak jenis uang maupun dompet elektronik, cukup yang sudah ada saja,” katanya.
Masalah keamanan memang menjadi perhatian besar dalam penggunaan uang elektronik. Agar transaksi Anda dengan uang elektronik tetap aman, Anda bisa mengikuti 5 kiat berikut ini:

Saat ini Bank Indonesia memberikan jaminan bahwa penyelenggara uang elektronik adalah perusahaan-perusahaan tepercaya yang sudah mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Selain itu, BI juga rutin melakukan pengawasan terhadap penyedia layanan uang elektronik. Tiap penyedia layanan uang elektronik juga wajib memiliki bagian customer service yang akan melayani pengaduan konsumen. Selain itu, jika Anda mengalami masalah dengan penggunaan uang elektronik, bisa melapor ke call center BI di 131. (f)
Faunda Liswijayanti
Topic
#TipKeuangan