Health & Diet
Diet Medsos, Supaya Jiwa Tetap Sehat

28 Jul 2018


Foto: Pixabay
 
Menyikapi tingginya stresor di masyarakat, dr. Nova Riyanti Yusuf Sp.KJ, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa DKI Jakarta, atau lebih akrab disapa Noriyu ini menyarankan seseorang untuk memiliki kemampuan resiliensi.

Ini adalah kemampuan untuk menghadapi, meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan. Dalam menghadapi perubahan atau sebuah kondisi, seseorang yang memiliki resiliensi cenderung tidak kaku dan dapat beradaptasi. 

“Menjadi pribadi yang kaku di tengah kehidupan yang penuh perubahan seperti sekarang akan lebih berat dan akan menjadi kendala tersendiri. Cobalah untuk lebih fleksibel dan mau mendengarkan penjelasan akan segala hal. Hal ini penting untuk kesehatan jiwa kita,” ungkap Noriyu.
 
Dalam menghadapi suatu masalah misalnya, daripada langsung tancap gas atau emosional, coba lakukan cara sederhana ini: tarik napas sebanyak sepuluh kali sebelum Anda marah. Cara ini selain menenangkan, juga memberi waktu untuk melihat situasi secara jernih. 

Selain itu, yang juga perlu dipertimbangkan adalah mengurangi penggunaan gawai. Noriyu menyarankan untuk diet media sosial. Ketergantungan tiap orang pada gawai atau media sosial berbeda-beda. Ada referensi bilang, pemakaian media sosial selama lebih dari 9 jam seminggu sudah dapat dikatakan adiksi. Kenyataannya, kini orang bisa puluhan jam menghabiskan waktu bermain gadget dan media sosial.

“Orang sekarang apa pun dikomentari. Coba lakukan diet medsos, jangan segala hal harus dikomentari,” katanya. Diet gawai menurut Noriyu bisa dimulai mengurangi penggunaan ponsel selama satu hingga dua jam dalam satu hari. Tanda ketergantungan bisa terlihat dari rasa keinginan besar untuk melihat medsos.

Cobalah mengalihkan kedekatan Anda dengan gadget tersebut pada hal-hal yang sifatnya lebih mindful. “Kita harus lebih peduli memperhatikan atau sensitif terhadap diri sendiri,” jelasnya. Ketahuilah kondisi diri Anda, apa yang Anda butuhkan dan membuat Anda merasa nyaman. 

Diet medsos juga bisa menghindarkan seseorang dari dikte eksternal, sesuatu hal yang digerakkan oleh keinginan yang datangnya dari luar. Salah satu contohnya adalah seseorang yang mengubah rencana membeli A menjadi membeli B karena melihat posting-an seorang teman. “Padahal, belum tentu ia memang membutuhkan B seperti temannya,” tambah Noriyu. 

Dikte eksternal inilah yang menggerakkan pikiran-pikiran otomatis (automatic thinking) yang pada akhirnya bisa men-drive keputusan atau perilaku seseorang. Rencana yang berganti dengan cepat tersebut didorong oleh pikiran-pikiran otomatis. Pikiran-pikiran negatif juga bisa muncul dari automatic thinking. Misalnya, kalau saya tidak pergi ke tempat A, maka saya tidak keren. Runutan ini pada akhirnya akan memicu stres pada seseorang. 

Selain itu, kondisi saat ini juga membuat orang bisa mendapatkan segala sesuatu dengan cepat, hingga menciptakan manusia yang instant gratification. Segala sesuatu dianggap mudah didapat. Padahal, kenyataannya hidup merupakan sebuah proses. Maka, ketika terbentur oleh hambatan hidup, orang jadi lebih mudah frustrasi, karena terbiasa mendapatkan apa-apa dengan gampang, serba instan. 

“Keinginan apa pun bisa didapat dengan ada. Tapi ingatlah, bahwa hidup tidak semudah mengklik aplikasi Go-food, misalnya, yang mau pesan makanan apa pun akan datang. Kalau segala sesuatu sudah tersedia, jadi tidak ada lagi tantangannya,” ungkapnya. 

Instant gratification ini juga mendorong orang menjadi lebih individualis. Karena mudah mendapatkan sesuatu membuat seseorang merasa tidak lagi membutuhkan keberadaan orang lain, teman, kekasih, keluarga, dan lainnya. Padahal, kembali ke akarnya, manusia adalah makhluk sosial sekaligus individual. 

Maka, cobalah untuk menahan diri untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang serba cepat. Daripada Anda langsung memesan makanan yang Anda inginkan tersebut, buatlah rencana untuk menikmati hidangan tersebut bersama pasangan, keluarga, atau teman, di akhir pekan misalnya. Dengan demikian, ada faktor penantian di sini yang bisa membuat seseorang justru menjadi lebih senang. 

Hal-hal tersebut memang terlihat sederhana, tapi menurut Noriyu, butuh latihan untuk melakukannya. (f)

Baca Juga:

3 Jenis Terapi Khusus untuk Menyembuhkan Kecanduan Game Online
Hati-Hati! 5 Pola Perilaku Ini Tanda Seseorang Kecanduan Game Online
 

Faunda Liswijayanti


Topic

#kesehatan jiwa, #kesehatan, #stres