Health & Diet
Cerita Tentang Penyakit Keturunan

20 May 2016


Foto: Fotosearch
 
Di balik peran perkasanya di film, Angelina Jolie (40) tidak bisa menghindari riwayat kanker ovarium yang merenggut nyawa ibu, nenek, dan nenek buyutnya. Tiga sepupu wanita Jolie juga meninggal karena kanker payudara. Saat tahu tubuhnya mengalami mutasi gen kanker BRCA 1, yang menurut National Cancer Institute berisiko terkena kanker payudara dan ovarium, ia memutuskan menjalani operasi pengangkatan payudara pada 2013 dan operasi pengangkatan ovarium pada tahun 2015. Ia memilih melawan, sebelum ‘jatuh’.
Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mengantisipasi riwayat penyakit dalam keluarga, tak terkecuali, dua sahabat femina, Rachmi Astriandina yang mewarisi risiko kanker dari mendiang kakek dan ibu, serta Adelaide Patricia yang mewarisi gen diabetes dari kedua orang tuanya. Ini cara mereka.
 
Rachmi Astriandina, (31), Visual Merchandiser dan Perancang Aksesori
Saya pertama kali mengenal kanker ketika masih kecil. Kakek meninggal karena kanker empedu dan paru-paru. Kanker juga menjadi salah satu penyebab kepergian Mama. Setelah berjuang keras melawan kanker payudara sejak 2014, Mama meninggal pada awal tahun ini.
            Tahun 2010, saya sempat melakukan pemeriksaan payudara. Saat itu, dokter tidak menemukan sesuatu yang berbahaya. Namun, ia menemukan kadar lemak di kedua payudara saya cukup tinggi. Dokter menyarankan saya untuk rutin Periksa Payudara Sendiri (SADARI), check up, dan melakukan perubahan gaya hidup.
Riwayat keluarga adalah salah satu faktor risiko. Kebiasaan dan gaya hidup tak sehat orang tua yang diturunkan berperan besar. Setelah saya telusuri, Kakek adalah perokok, sementara pola makan Mama cenderung tinggi lemak dan suka makanan olahan kaya penyedap rasa.
            Saya tidak ingin anak saya, Adler El Mughn Natawijaya (2), merasakan kehilangan yang saya rasakan setelah Mama pergi. Karenanya, saya berusaha mengubah gaya hidup dengan menjalankan pola makan sehat dan olah raga teratur. Terdengar sederhana, ya? Sebenarnya sulit dilakukan, terutama dengan padatnya jadwal kerja saya.
            Saya menjadikan gaya hidup sehat sebagai bagian dari aktivitas harian. Saya bangun jam 4 pagi setiap hari. Sebelum membersihkan rumah dan memasak makanan untuk suami dan anak, saya berolahraga ringan seperti lari-lari kecil dari dalam rumah ke teras. Pada hari libur, saya jogging di taman sambil menemani anak bermain.
            Urusan makanan juga saya perhatikan lebih teliti. Dulu, saya dan suami termasuk pelahap segala, memang hobi makan dan jajan! Tapi sekarang, saya lebih picky.
Saya berusaha meminimalisir polutan dan pestisida, salah satu pemicu kanker, dengan membeli sayuran dan buah organik, menanam beberapa bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, jahe, dan cabai. Saya juga menanam pohon jambu dan mangga, dan memelihara ikan mujaer dan nila di kolam kecil di rumah. Meski kandungan protein dan asam lemak tidak jenuhnya tidak setinggi ikan laut, setidaknya saya bisa memastikan lauk ikan yang saya dan keluarga makan itu selalu dibuat dari ikan segar dan bebas bahan pengawet, apalagi formalin.
            Setelah Mama tiada, saya memang belum berani untuk melakukan check up ke dokter. Saya masih trauma. Tapi, secara sadar, saya jadi lebih rutin melakukan SADARI, minimal 3 bulan sekali agar bisa mendeteksi keberadaan benjolan tumor atau kanker payudara sejak dini. Dengan gaya hidup ini, saya merasa lebih bugar dan mood jadi lebih positif.  
 
Adelaide Patricia, (30), Auditor  
Kira-kira dua tahun lalu, saya berkunjung ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kesehatan. Saya melihat banyak pasien yang kakinya membusuk, bahkan diamputasi. Ternyata, mereka ‘sakit gula’ atau diabetes. Ngeri rasanya, sebab riwayat keluarga saya sangat dekat diabetes. Mama, Papa, dan Kakak Mama menderita diabetes.
Saat itu juga, saya bertekad, “Saya enggak mau seperti itu!”. Saya tidak mau mengulangi gaya hidup yang membuat orang tua dulu mengalami kelebihan berat badan, yang memicu risiko diabetes. Artinya, saya tak boleh lagi menunda-nunda olahraga. Jam kerja sebagai auditor yang panjang, selama ini jadi alasan saya untuk menghindari gym
            Awalnya, saya memilih olahraga boxing, lalu beralih ke renang, tapi belum rutin. Beruntung, ada gym baru di gedung yang sama dengan kantor saya. Saya mencobanya dan ternyata merasa happy dengan kelas aerobik. Saya pun mendaftarkan keanggotaan di situ, supaya termotivasi untuk rutin berlatih tiga kali seminggu.
            Saat ini, dengan tinggi badan 168 cm, berat badan saya yang 68 kg, mungkin masih belum ideal. Tapi, saya jadi tidak gampang sakit. Selain itu, saya lebih mudah menjaga berat badan. Teman-teman dan instruktur di kelas aerobik juga membuat mood saya lebih happy.  
            Saya sadar, manfaat olah raga tidak akan maksimal tanpa pola diet yang baik. Untuk menjaga kadar gula dalam tubuh tetap terkendali dan normal, saya ganti nasi putih dengan nasi merah, kadang-kadang gandum. Camilan saya lebih banyak buah, bukan cookie dan cake yang manis. Saya juga berhenti minum soda karena kadar gulanya tinggi sekali. Kalau memang sedang ingin sekali makan yang manis-manis, saya biasanya icip-icip sedikit saja.
            Walau usia baru masuk 30, saya sudah mulai check-up berkala setiap 6 bulan. Sesekali saya juga suka tes kadar gula di apotek di mall. Lebih baik waspada sedini mungkin, ‘kan?(f)


Topic

#penyakitketurunan