Institusi Seni Internasional Pertama
Sebuah dinding merah bertuliskan ‘Seni Berubah, Dunia Berubah’ menyambut tiap kaki yang melangkah masuk ke area museum seni modern dan kontemporer seluas 4.000 m² , yang terletak di AKR Tower, Kebon Jeruk, Jakarta. Inilah penanda dimulainya petualangan menjelajahi 90 dari 800 koleksi karya 79 seniman lokal dan mancanegara milik sang pendiri Yayasan Museum Macan, Haryanto Adikoesoemo, dengan berbagai macam medium yang telah ia kumpulkan sejak tahun ‘90-an.
Dikurasi oleh Agung Hujatnika dan Charles Esche, koleksi yang dipamerkan dari 4 November 2017 hingga 18 Maret 2018 ini menunjukkan apa yang terjadi di dunia, yang direfleksikan dalam rangkaian karya-karya seni lintas dimensi. “Bagaimana seniman berekspresi juga dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka. Dalam koleksi ini juga bisa dilihat bagaimana seniman bisa memengaruhi publik dalam memandang dunia,” jelas Nina Hidayat, Communication Officer Museum Macan.
Contohnya karya seniman Dullah, yang menggambarkan bagaimana perjuangan para pahlawan negara meraih kemerdekaan dengan keringat dan darah, dalam kreasinya berjudul Bung Karno di Tengah Revolusi, yang dibuat tahun 1966. Tak jarang, kritik-kritik sosial juga tersisip pada karya-karya yang bersuara lewat gambar seni rupa. Misalnya, komik satir tentang bagaimana teknologi telah memengaruhi perilaku masyarakat saat ini yang mengasingkan orang lain dari lingkungan sekitar dan hanya berfokus pada smartphone saja. Kritik ini disampaikan oleh Masriadi dalam karya Juling, yang dibuat tahun 2005 lalu.
Tak terbatas pada medium kanvas, karya seni yang memanjakan mata dan imaji ini ditransformasikan dalam banyak dimensi, seperti halnya instalasi. Salah satunya, Infinity Mirrored Room karya seniman Jepang yang terkenal dengan ciri khas polkadotnya, Yayoi Kusama. Sebuah kamar penuh cermin membuat ruangan seakan tak memiliki batas. Dengan lampu-lampu bulat warna-warni, ruang gelap itu menjadi makin indah dan magis.
Karya-karya seni ini telah berhasil mengulik rasa ingin tahu publik. Bagaimana tidak? Tepat sebulan setelah Museum Macan ini resmi dibuka pada 4 November lalu, setidaknya sudah ada 26.000 pengunjung yang datang. Sebuah pencapaian yang fantastis untuk pameran seni, mengingat sebenarnya masyarakat Indonesia masih menganggap seni sebagai sesuatu yang mewah dan seakan memberikan jarak bagi publik untuk menikmatinya.
Hadirnya Museum Macan ini seakan jadi jembatan bagi dunia penuh imaji para seniman dengan siapa pun mereka yang ingin menikmatinya, tanpa perlu
memandang kelas dan latar belakang. “Selama ini, pameran seni dianggap hanya bisa dinikmati kalangan seniman saja. Kami bercita-cita mengubah itu, agar seni bisa dinikmati siapa saja,” papar Nina. Butuh sepuluh tahun untuk menggarap proyek besar ini. Museum Macan pun sengaja dibangun untuk menjadi institusi seni internasional pertama di Indonesia. Kelembapan ruangan dijaga dan suhu diatur dengan standar museum internasional.
Menjadi sebuah ruang yang menyajikan pengalaman seru yang berbeda dari biasanya, juga menyimpan banyak pelajaran tentang seni yang jarang kita dapatkan di kehidupan sehari-hari. “Sekarang, kalau akhir pekan keluarga punya opsi lain selain pergi ke mal atau tempat hiburan lain. Sekarang Jakarta punya museum seni. Anak-anak bisa menikmatinya juga tanpa perlu khawatir mereka tidak akan mengerti,” tambah Nina, berharap seni akan jadi lebih dekat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Edukasi Menikmati Seni
Menjadi pusat perhatian muda-mudi kini, dengan banyaknya pengunjung yang datang untuk merasakan langsung pameran seni, selain menjadi berkah, diakui oleh Nina juga menjadi tantangan tersendiri bagi Museum Macan. Pasalnya, di balik puluhan ribu pengunjung yang datang ke museum, sayangnya tidak semuanya tahu bagaimana memperlakukan seni dan bagaimana berperilaku di museum.
Contoh, bukannya menikmati seni dengan memandangi tiap karya para seniman dengan banyak cerita yang melatarbelakangi pembuatannya, para pengunjung justru lebih banyak yang sibuk mengabadikan gambar melalui foto untuk nantinya diunggah di media sosial. “Di satu sisi ini membantu kami untuk mempromosikan museum. Namun, di sini kami juga belajar untuk lebih giat mengedukasi publik bagaimana menikmati dan memperlakukan seni,” tutur Nina.
Ia pun setuju bahwa ini dikarenakan publik Indonesia kurang awam dengan seni, karena minimnya ruang seni yang tersedia di tanah air. “Seni seakan sebuah
spesies baru bagi publik. Namun, ini justru jadi awal bagi kami untuk makin menjadikan seni sebagai sesuatu yang bisa dinikmati siapa pun,” tambah Nina, berharap makin banyak publik yang menganggap bahwa pameran seni adalah sesuatu yang seru untuk dinikmati.
Langkah-langkah edukasi pun banyak dilakukan Museum Macan untuk mengenalkan seni kepada publik agar lebih muda dipahami. Salah satu hal kecilnya adalah dengan memberikan dua jenis penjelasan pada tiap karya yang dipamerkan. Misal, ada penjelasan khusus dewasa, ada pula penjelasan untuk anak-anak. Untuk yang anak-anak, menggunakan bahasa yang lebih sederhana, sehingga akan lebih mudah dimengerti. Ditambah dengan kehadiran tour guide khusus dewasa dan juga anak-anak. Dengan begitu, penjelasan yang dipaparkan oleh tour guide tersebut bisa disesuaikan.
Secara konsisten, Museum Macan juga memiliki berbagai macam program edukasi lainnya yang menyasar lintas usia. Untuk anak-anak, museum memiliki area pendidikan yang disediakan secara gratis. Untuk kali ini, ruang edukasi anak ini bertemakan Floating Garden (Taman Apung) karya seniman Entang
Wiharso. Merupakan sebuah instalasi yang menggabungkan karya seni, mural, dan aktivitas pendidikan lainnya dengan konsep alam dan bumi berdasarkan gaya unik sang seniman. Tak jarang, untuk memberikan pemahaman yang berbeda tentang seni dan dunia yang berkaitan dengannya, diskusi seni dengan para seniman tanah air maupun internasional, seperti Djoko Pekik, Srihadi Soedarsono, Heri Dono hingga Yukinori Yanagi, diadakan oleh pihak museum.
Melalui akun Instagram-nya, @museummacan, mereka berusaha mengedukasi bagaimana memperlakukan seni, lengkap dengan penjelasannya. Misalnya, mengapa karya seni tidak boleh disentuh. Dalam unggahannya di media sosial tersebut dipaparkan bahwa telapak tangan membawa bakteri dan minyak dapat
merusak karya seni tersebut. Untuk bisa memaknai dan menikmati seni memang butuh waktu. Namun, setidaknya, dengan makin kayanya ruang seni modern yang hadir di tanah air, salah satunya Museum Macan, akan melepaskan ruang dan sekat yang sempat memisahkan seni dengan para penikmatnya.(f)
Baca juga:
Ngaku Pencinta Seni? Hadiri JIWA, Jakarta Biennale 2017 di Gudang Sarinah
Kekuatan Seni Rupa Indonesia di Beijing International Art Biennale 2017
Budaya Aborigin dan Indonesia Hadir dalam Lukisan di Pameran Hari Nasional Aborigin
Topic
#museumseni