
Foto: Pixabay
Saat ini ketika kita belanja di online marketplace, ada fitur chat yang bisa digunakan konsumen untuk bertanya apa saja. Di Zalora misalnya, begitu konsumen memilih-milih produk, maka akan keluar chat yang intinya bertanya apakah ada yang bisa admin bantu. Di Bukalapak juga menyediakan tombol chat untuk bicara langsung dengan merchant.
Bisa ngobrol dengan penjual masih menjadi kebutuhan. Tuhu mengiyakan bahwa orang Asia, termasuk Indonesia, memang menghargai emotional value. Bagaimana mereka bisa mengesampingkan soal harga asal bisa mengobrol nyaman dengan penjual. “Itulah mengapa orang kita lebih senang belanja lewat media sosial dengan alasan di media sosial lebih memungkinkan pembeli berkenalan dan mengobrol langsung dengan penjualnya,” ujar Tuhu Nugraha, Digital Strategy Expert & Trainer, yang juga penulis buku WWW.HM Defining online.
Kembali ke fitur chat di marketplace, menurut Tuhu, dimulai oleh Shopee yang memindahkan gaya interaksi di medsos ke marketplace. Bagaimanapun orang kita masih butuh social approval. Sama seperti ketika kita belanja baju di mal, kita selalu mengajak teman yang dijadikan pemberi opini apakah produk yang kita beli itu memang benar-benar sesuai dan bagus
untuk kita kenakan.
Melihat fakta ini, seorang penjual tidak bisa lagi mengeluh banyak pembelinya yang nanya melulu. “Karena, ketika mereka bertanya, mereka sedang butuh afirmasi. Fasilitas menjawab dari Anda itu bisa menjadi value added bagi brand Anda, yaitu penjual yang friendly,” saran Tuhu.
Dalam konteks ini terkadang kita tidak menyadari kekuatan trust yang sudah terbangun yang akan membuat konsumen balik lagi ke toko virtual kita. “Orang secara alamiah butuh kepastian. Tentu ada rasa deg-degan ketika belanja di internet apakah barang yang ia beli itu sesuai dan cocok untuknya. Maka, jangan pernah jutek ketika seorang calon konsumen bertanya ini itu kepada Anda,” kata Tuhu, sambil menyarankan untuk menuliskan di profil bahwa Anda melayani pertanyaan apa pun dari konsumen.
Kalau mau jujur, hal ini belum banyak disadari penjual karena bila kita browsing ke banyak lapak --terutama di media sosial-- banyak yang menulis tidak melayani hit and run, atau tidak membalas komen. Padahal, ketika kita bersikap demikian ibaratnya Anda memiliki toko, tapi tiap ada calon pembeli datang, Anda menyambut dengan muka jutek dan ogah-ogahan ketika ditanya-tanya.
“Paham, sih, memang capek menjawab pertanyaan yang mungkin dalam satu hari bisa puluhan pertanyaan yang itu-itu saja. Tapi, kalau mau jadi penjual memang harus ramah, bukan?” kata Tuhu. Karena, terkadang calon konsumen yang paling cerewet itu bisa membeli borongan, lho.
Benar, interaksi yang personal di lapak virtual memang time consuming. Apalagi buat pebisnis UKM yang menjadi Chief Everything Officer alias segala hal masih dikerjakan sendiri. Bila tidak bisa mengurus sendiri, Tuhu menyarankan untuk menggaji orang sebagai admin. “Sudah ada, sih, mesin penjawab yang bisa menjawab pertanyaan standar dengan jawaban standar juga. Tapi, setahu saya sudah ada start-up yang mengembangkan mesin penjawab yang bisa menjawab dengan bahasa yang sudah luwes mirip manusia,” ujar Tuhu.
Tidak benar juga bila ada yang mengatakan bahwa begitu kita sudah online artinya kita harus on selama 24 jam. “Yang terpenting adalah kesamaan ekspektasi antara kita dengan pembeli. Kita bisa saja memberikan disclaimer, pertanyaan akan dilayani pada pukul berapa hingga pukul berapa. Jadi, pembeli yang bertanya sudah tahu bahwa kalau malam belum direspons artinya dia bisa mengharapkan jawaban keesokan paginya,” saran Tuhu. (f)
Baca Juga:
Strategi Memanfaatkan Instagram Untuk Bisnis
5 Hal Penting Dalam Memanfaatkan Facebook Untuk Bisnis
Waktu Terbaik Berbisnis Di Facebook & Instagram
Topic
#chat, #ecommerce, #onlineshop