
Dulu, di tahun ‘80-an, ada istilah ratu dapur, yang merujuk pada kondisi bahwa dapur dan kegiatan masak-memasak adalah daerah kekuasaan para ibu di rumah. Dapur menjadi tempat untuk mewujudkan cinta yang melimpah kepada suami, kepada anak-anak, lewat makanan yang lezat dan sehat. Makanya, sampai muncul pepatah, cinta itu datang dari perut lalu ke hati.
Ketika kian banyak wanita bekerja di luar rumah, dapur lalu menjadi daerah kekuasaan para mbak asisten rumah tangga. Namun kini, di tengah euforia dunia kuliner yang seakan tak habis-habis, ada gejala para wanita kembali masuk dapur. Mereka mencari resep, belanja bahan, memasak, lalu tak lupa di-post di akun media sosial sebelum disantap. Pandai memasak kini menjadi salah satu skill kebanggaan.
Tampaknya, euforia kuliner hingga menjadi lifestyle yang dimulai sekitar 10 tahun lalu tak kunjung mereda. Bahkan, bila di Indonesia gairah itu dulu diawali dengan kegemaran jajanan street food yang dimotori Bondan Winarno, kini kita lagi sekadar jajan, tetapi juga memasak sendiri di rumah. Paling gampang, lihat saja timeline akun media sosial teman-teman kita. Di Facebook, selain posting-an tentang makanan di restoran atau street food yang lagi hits, juga diselingi mengunggah foto masakan rumahan.
Si nyonya yang memasak, biasanya memotret hasil masakannya dengan styling apa adanya, seringnya di atas meja makan. Tak selalu foto masakannya yang menarik, melainkan caption-nya yang sering kali membuat orang menoleh, karena rata-rata bercerita secara personal bahwa masakan itu khusus dibuat untuk keluarga tercinta.
Ketika booming Instagram, foto-foto masakan rumahan yang di-upload pun kian menarik. Tak heran bila ada akun-akun Instagram para wanita yang rajin memasak, yang kemudian menjadi selebgram, dan kisah sukses lain terbuka: berbisnis kuliner.
Ingin bisa memasak yang lebih advance? Banyak kelas memasak yang bisa diikuti. Dari yang terjangkau, dengan harga Rp250.000 untuk satu masakan tertentu, hingga yang berharga jutaan rupiah untuk masakan internasional atau kelas baking. Jangan salah, yang ramai-ramai ikut kursus memasak itu bukan hanya mereka yang ingin berbisnis kuliner, tetapi juga para ibu yang ingin bisa membuat sendiri jajanan siomai sehat atau sushi buatan sendiri untuk anaknya, misalnya.
Linda F. Adimidjaja, konsultan kuliner dan salah satu pendiri Akademi Kuliner Indonesia (AKI), mengakui, tren orang mulai menyukai memasak, kembali menginjak dapur, juga dipengaruhi oleh tayangan Masterchef. “Begitu ada Masterchef, acara kompetisi masak-memasak para pemasak amatir yang tayang di televisi, maka memasak pun menjadi gaya hidup,” ujar Linda, yang pernah menjadi food editor di femina. Karena lifestyle itu mudah menular --istilahnya kalau enggak ikutan jadi enggak gaya-- maka tidak mengherankan para wanita muda saat ini tidak lagi enggan masuk dapur.
Bila ditanya lebih jauh, banyak alasan mengapa lebih suka memasak sendiri. Millane Fernandez, penyanyi, menyebut alasan kesehatan yang menjadi latar belakang ia mau repot-repot mengolah makanan sendiri sejak setahun belakangan. “Habis, tiap kali makan di restoran, pasti ketemu makanan yang ber-MSG. Dulu, saya pernah hampir pingsan dan tensi darah rendah, yang saya duga karena terlalu banyak mengonsumsi MSG,” katanya. Menyadari ia akan kesulitan mendapatkan restoran yang menyajikan makanan sehat, mau tidak mau wanita berusia 29 tahun ini masuk dapur. Dengan kendali di tangannya, maka ia bisa mengontrol makanannya sehari-hari yang menunjang kesehatannya.
Erika Ardianto, yang memiliki usaha clothing line, juga memasak sendiri makanan untuk keluarganya demi alasan kesehatan. “Saya ingin makanan yang dikonsumsi keluarga saya bebas MSG, bukan makanan olahan, dan tidak mengandung pengawet. Di rumah, memang ada ART, tapi saya kurang percaya dengan cara memasaknya,” katanya. Menurut Erika, sejak awal menikah, ia diajari oleh mamanya untuk membiasakan memasak sendiri. Sesuatu yang juga dilakoni mamanya. “Makanya, sampai sekarang, keluarga saya termasuk jarang sekali makan di luar,” katanya.
Sementara Iwell Reswilta, yang bekerja 9 to 5 di bagian sekretariat produksi salah satu stasiun televisi swasta, juga harus pintar-pintar mengatur waktu dan mencari cara untuk memastikan ketersediaan bagi putra semata wayangnya. “Tiap weekend, saya memasak aneka lauk yang cukup banyak untuk dikemas kecil-kecil dan dibekukan di freezer. Tiap pagi, saya tinggal memasak sayuran yang simpel dan memanaskan lauk beku,” ujar Iwell.
Repot? “Tidak juga. Selain saya senang memasak, yang penting anak saya tiap hari mendapat makanan yang sehat. Apalagi, Dhia, anak saya, alergi pada santan dan makanan yang terlalu berminyak,” ujar Iwell, yang berdarah Minang yang tetap memasak lauk khas Sumatra Barat, tapi tanpa santan. Favoritnya adalah ayam pop, ayam padeh, dan daging balado. (f)