Bertolak dari pertemuannya dengan Jokowi, pasangan nomor satu di Belanda ini melakukan State Visit (kunjungan resmi kenegaraan-Red.) ke pabrik mini Pipiltin Cocoa di Jakarta Selatan, disambut kedua pemilik, kakak-beradik Tissa Aunilla dan Irvan Helmi.
Hamparan penganan cokelat menanti, dari cokelat Pidie Jaya (Aceh) hingga cokelat Ransiki (Papua Barat). Menggugah, dalam bentuk cokelat batangan, praline, hingga cookies.
Raja dan Ratu Belanda ingin mendengar praktik bisnis berkelanjutan dari pelakunya langsung. Di pabrik mini ini, keduanya mendengarkan bagaimana brand cokelat yang dimulai tahun 2009 itu membantu terjadinya gender equality di perkebunan hingga memopulerkan traceability dalam sebuah produk artisan.
Ragil Wibowo, chef-owner NUSA Gastronomy, juga diundang untuk bercerita tentang komitmennya menampilkan cokelat Indonesia dalam menu.
Apa pertanyaan yang cukup menarik dari keduanya?
Irvan: Ratu rupanya cukup kritis. Misalnya, bagaimana dirinya sebagai konsumen bisa tahu traceablity cokelat yang dimakannya. Dia peduli banget apakah cokelat ini benar-benar dari petani berkualitas. Dari biji cokelat yang berproses menuju chocolate liquor, ditanyakan oleh keduanya.
Bagaimana brand Anda menjawab traceability?
Irvan: Kemasan kami menyertakan barcode dan batch code. Kode ini mencakup 6 aspek traceability, alias dari mana cokelat berasal. Dimulai dari origin, karung, tanggal roasting, tanggal kapan jadi liquor, waktu cetak, hingga pengemasan.
Oh ya, untuk semua proses di tangan petani, kami memastikan QC ada di tangan Pipiltin Cocoa.
Didatangkan dua petani cokelat yang jadi partner kalian, ya?
Irvan: Iya, dan Raja langsung ‘nembak’ ke mereka apakah kami membeli biji cokelat mereka dengan harga yang pantas, he.. he.. he..
Kami beli 40-50% di atas harga pasaran. Bukan sok baik hati, tapi kami menuntut kualitas. Effort mereka yang kami bayar.
Berapa bean yang disortasi, difermentasi, dikeringin, pokoknya bean count yang baik sebanyak 95 biji kokoa per kilogram, petani bisa menjawab itu semua.
Ratu Máxima suka cokelat dari Kecamatan Glenmore. Bagaimana rasanya?
Irvan: Cokelat dari Kabupaten Banyuwangi itu enggak intens. Acidity-nya enggak kencang dan kompleksitasnya tinggi. Enggak ada rasa dan aroma yang kelewat mencuat, alias balans.
Raja Willem-Alexander suka cokelat Aceh, yang nutty dan maskulin, mengandung 73% cocoa liqour.
Pengolahan cokelat labor-intensive. Butuh banyak cinta dalam menjalankannya. Bagaimana kalian sebagai brand menjaga hubungan ke petani?
Irvan: Mari mulai dari yang terlihat saja dulu di kemasan kami. Tulisan ‘Bali’ lebih gede daripada logo Pipiltin Cocoa. Ini nge-deliver attitude yang kami ingin konsumen perceive. Ini mentingin origin. Dan ketika ngomongin origin, enggak penting banget ngomongin siapa pemegang sahamnya. Brand sebenernya bertugas untuk 'jaga' panggung.
Panggungnya buat siapa? Buat Bali dan origin lainnya. The star is not us, but the farmers and the origins.
Petani jadi merasa terlibat?
Irvan: Yes, and this leads to another consequence, bahwa petani berbagi tanggung jawab yang sama dengan Pipiltin Cocoa. “Wah, nama Bali dipake, saya gak mau bikin kecewa karena saya yang malu”, kira-kira seperti itu.
Ini bentuk relationship yang baru, bukan relationship jual-beli. Ini relationship tentang menjaga yang ada secara bersama-sama. Istilahnya di bisnis mafia, ‘skin in the game’, lo ‘kecubit, mereka ‘kecubit’ juga.
Di tengah agenda padat Raja dan Ratu, dikunjunginya Pipiltin Cocoa jadi hal prestise dan bahwa brand kalian diakui. Anda tentu melihatnya lebih dari itu?
Irvan: Ada dua take-home message yang saya rasakan, tangible dan intangible.
Yang intangible sebetulnya adalah ‘harapan’. Ada angka penurunan cokelat dari tahun ke tahun. Tapi ini jangan bikin sedih. Anggap ini sebagai adanya harapan, karena jangan-jangan Indonesia harus rebranding menjadi produsen fine cocoa. Mungkin, jualan gaya masa lalu dan kualitas yang hanya di situ-situ saja yang bikin produksinya turun di hulu.
Berarti apa? Bahwa kita menciptakan harapan besar pada single origin chocolates, sustainability, traceability, inclusive business, hingga gender equality. Ini semua make sense bagi Raja dan Ratu sehinga mereka datang untuk support.
Sisi tangible-nya?
Irvan: Ini perkara economies of scale. Pertama, apakah konsumen Indonesia mampu menerima cokelat premium dengan segala konsekuensinya, misalnya ada rasa asam yang menjadi bagian dari kompleksitas.
Kedua, apakah industrinya siap scale up.
Ketiga, ada di sisi hulu. Apakah petani siap lebih memperbanyak biji kakao yang punya harapan besar ini?
Bagaimana peran wanita di perkebunan?
Irvan: Wah, luar biasa.
Kami baru pulang dari perkebunan Ransiki, Papua Barat. Di sana, pria anggap bertani urusan wanita. Walau kedua gender melibatkan fisik saat bertani, wanita bagus dalam area sortasi. Wanita berperan dalam dunia kualitas.
Kalau bicara bulk cocoa, kita bicara pria. Tapi kalau fine cocoa, kita bicara wanita karena kesabarannya dalam memilih buah yang matang pohon. (f)
Baca juga:
Raja dan Ratu Belanda Ngemil Cokelat di Jakarta
Petani Ingin Cokelat Lokal Go International
Apa Kabar Industri Gourmet Dessert di Jakarta? Ini Kata Jakarta Dessert Week
Di Tengah Truffle Season, Chef Cédric Hadirkan Burger Termahal di Jakarta
Trifitria Nuragustina
Topic
#pipiltincocoa, #cokelatindonesia, #indonesianchocolate, #organicchocolate, #kingwillemalexander, #queenmaxima