
Kisah sebelumnya:
Mira, wanita muda asal Jakarta yang bekerja di LSM di Madagaskar, menyelamatkan dua bayi kembar penduduk pedalaman yang sesuai adat harus dibunuh. Mira berniat mengasuh sendiri bayi-bayi kembar itu, meski tentu saja tidak akan mudah baginya yang tinggal di negeri asing. Apalagi dia belum meminta izin Varrel, kekasihnya.
Ketika Kakek menunjukkan selembar foto berwarna abu-abu kepadanya, tahulah ia apa yang membuat Mama menangis malam kemarin. Kakek memiliki putri di tanah jauh itu. Juga seorang wanita berambut hitam tergelung sebagai istrinya. Selembar foto itu adalah bukti pengkhianatan Kakek terhadap mereka.
“Anak ini, jika kau ke Madagaskar, carilah ia. Namanya Tiana, ia lebih tua sekitar sepuluh tahun darimu.”
Mira tak tahu harus menunjukkan reaksi apa. Kalimat Kakek tak serupa perintah, namun sebuah permintaan.
“Menurut Kakek, aku akan ke sana?”
“Kau ingin pergi dari sini suatu saat nanti?” Kakek menjawab pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan lain.
“Kalau kau ingin melihat dunia di luar batas pandang matamu, pergilah! Masukkan Madagaskar sebagai satu dari beberapa tempat yang harus kau datangi.”
“Tiana, apa dia tanteku?”
Kakek mengangguk.
“Ibumu masih marah padaku. Wajar ia kecewa. Namun, kalian harus tahu, di tanah jauh itu, ada orang-orang yang bisa kalian sebut keluarga. “
Kakek tak lama bersama mereka. Suatu pagi, ia duduk di kursi goyangnya memejamkan mata dan tak lagi bangun. Usia telah merenggut kehidupannya. Mereka menyelenggarakan acara pemakaman dengan sederhana, hanya beberapa kerabat dan tetangga yang datang memberi ucapan duka. Kebersamaan mereka yang tak lama mampu menorehkan kedekatan di hati Mira. Jiwanya seakan terikat pada cerita-cerita Kakek.
“Aku akan ke Madagaskar.”
Suara Mira keluar teramat sayup ketika tangannya menyentuh tangan dingin milik Kakek. Sosok itu telah rapi di dalam peti kerandanya. Mira tak yakin apakah Kakek mendengar atau tidak. Jika rohnya masih berada di ruangan ini, mungkin saja Kakek akan mendengar. Namun, siapa yang yakin akan hal itu? Bisa saja kematian jasad bersamaan dengan kematian roh, menjadikan kehidupan menjadi tidak ada apa pun. Null, nihil, lenyap. Bisa saja roh itu tetap ada serupa yang ia percayai dalam agama yang ia anut. Namun, apakah Kakek punya cukup waktu untuk tetap berada di sini? Mungkin kehidupan setelah kematian membuat segala yang ada di sini tak lagi penting bagi Kakek.
Apa pun itu, ada perasaan menyesal karena terlambat mengatakan kalimat tersebut. Harusnya ia bisa membuat Kakek senang dengan membagi tahu kepada Kakek bahwa bagi Mira, Madagaskar menjelma sebuah tempat yang harus ia raih. Madagaskar serupa teka-teki yang menuntut pemuasan akan keberadaan negara pulau itu, juga segala cerita Kakek, tentang Vazimba, tentang senyum magis anak-anak berkulit legam berambut keriting di sana, juga keberadaan Tiana. Apakah semua itu nyata?
“Tidak, kamu tak akan meninggalkan Mama.” Mama yang berdiri di sampingnya dengan yakin menggelengkan kepala. Ternyata kalimat sayup itu dibawa angin masuk ke dalam telinga Mama.
“Lupakan Madagaskar!” tambahnya lagi dengan nada datar, tapi dengan penekanan yang terdengar jelas di telinga Mira, semacam ancaman. Ia mengerti, Mama masih marah.
Setelah acara pemakaman selesai, barang-barang Kakek, termasuk foto itu, disimpan Mama di tumpukan barang-barang yang tak dianggap penting di bagian paling dalam gudang rumah. Seolah ingin dijauhkan dari Mira. Tak boleh ditemukan agar ide untuk ke Madagaskar itu teredam.
Dan memang, rentangan waktu membuatnya terbawa arus kehidupan kota Jakarta. Seiring tahun yang berganti, keinginan itu menjadi kabur waktu ke waktu. Ia menjadi gadis remaja, menikmati pergaulannya dengan ragam hura-hura yang ditawarkan kota besar. Memori singkat antara ia dan Kakek terdorong jauh ke bagian terbawah laci ingatannya, tertimpa musik, lagu-lagu, juga cerita-cerita dari roman dan film yang ia tonton.
Ia menemukan jiwa melankolisnya melalui musik dan film. Kedua hal itu mengajarkannya untuk jatuh cinta pada makhluk bernama laki-laki. Ia berusaha untuk menjadi gadis cerdas yang menarik dan merasakan jatuh cinta. Namun, toh, ia kesulitan mengakhiri hubungannya semanis film atau drama. Semua cintanya putus meninggalkan rasa yang tak enak. Ia tahu semua itu tak serius bagi remaja seusianya. Ia terlalu muda dan seolah mendapatkan pemakluman dengan cerita cinta yang tak berjalan manis. Namun, untuk pilihan sekolah, Mama memintanya untuk serius. Mama siap bergerak mengulurkan tangan membantunya dengan pilihan masa depan. Ketika ia kebingungan setelah sekolah atasnya selesai, Mama mendesaknya memilih fakultas ekonomi dan bisnis.
“Kau cukup cerdas dan potensial. Kau akan cocok di bidang ini,” kata Mama. Dan ia memaksa dirinya sendiri untuk percaya dengan yang Mama pilihkan untuknya, sejak itu hingga beberapa tahun ke depan.
Nyatanya, suatu pagi ketika ia mengenakan toga untuk upacara kelulusan universitas, ia tahu ia telah menyia-nyiakan waktu mempelajari hal di luar minatnya. Bisnis atau perusahaan besar bukanlah tempatnya. Mama salah menunjukkan arah masa depan yang sesuai dengan minatnya. Ia seakan kehilangan seluruh tenaganya untuk mengirimkan berkas lamaran kerja.
Ketika ia diterima di sebuah perusahaan kecil, Mama menyemangatinya bahwa ini adalah sebagai permulaan, bahwa nantinya ia bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik di tempat yang lebih besar. Namun, kali ini ia tahu Mama salah. Tiap kali berada di dalam cubicle kecilnya, melakukan beberapa pembukuan secara manual atau dengan hitungan-hitungan laba rugi, angka-angka yang berderet itu menyiksa otaknya. Pembicaraan-pembicaraan di ruang rapat pun membuatnya sesak. Semua adalah tentang uang dan keuntungan.
Kehidupan semua orang di kantornya seolah ikut diburu dengan grafik-grafik yang naik dan turun. Rapat-rapat dan pertemuan bisnis yang melibatkan orang-orang berkantong tebal, membuatnya hanya harus menuruti kemauan mereka. Ruang berkreasi seolah sangat kecil.
Ketika berada dalam puncak segala rasa bosan itulah ia bertemu Varrel. Varrel adalah seorang sarjana hukum yang baru bergabung di perusahaan itu sebagai kuasa hukum. Meski berada di kantor yang sama, mereka jarang membicarakan pekerjaan. Varrel seolah membaca bahwa Mira tertekan. Dan ia mendukung ide gadis itu untuk mengundurkan diri. Temukan passion-mu dan kau akan mencintai hidupmu! Pesannya membuat Mira nyaman dengan kedekatan mereka.
Ketika akhirnya Mira mengundurkan diri, hatinya tak lagi bisa lepas dari Varrel. Ia jatuh cinta. Cinta yang ia tahu adalah sebuah keseriusan dengan rasa yang kuat. Namun, passion yang dibicarakan Varrel juga menghampirinya dalam rentang waktu bersamaan.
Suatu senja, ketika ia membuka komputer mencari informasi lowongan pekerjaan lain yang mungkin lebih menarik, ia menemukan sebuah program volunter ke beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin di sebuah website. Matanya membulat ketika membuka daftar negara tujuan, Madagaskar ada di dalamnya.
Matanya seolah diarahkan ke sana secara langsung. Madagaskar lebih dahulu ditangkap pupil matanya. Tanpa ada firasat apa-apa, kesempatan untuk mengunjungi Madagaskar seolah disodorkan di depan mata dengan cara yang sangat mudah, ketika negara itu telah samar di kepalanya. Keinginan tiba-tiba serupa puluhan tahun silam itu menabrak akalnya dengan kuat.
“Aku ingin ke Madagaskar!” pekiknya spontan.
Ia memang tak memiliki keahlian sebagai tenaga kesehatan untuk bekerja di klinik-klinik atau lembaga kemanusiaan di sana, tapi ia tetap bisa mendaftar untuk program pengajar. Ia bisa mengajar anak-anak itu tentang kebersihan, bahasa Inggris, atau melakukan apa saja dengan sukarela. Varrel tampak menyembunyikan wajah kagetnya mendengar kalimat tiba-tiba Mira. Mira tak menyadari, Varrel telah menyiapkan cincin untuk melamarnya malam itu.
“Aku harus pergi, dan kau harus mendukungku. Ini mimpiku sejak kecil. Mimpi dari cerita-cerita Kakek. Oh, Tuhan… bagaimana bisa aku melupakan cita-cita besar ini bertahun-tahun?”
Varrel tak ingin menghilangkan binar bahagia itu di wajah Mira. Dan Mira tak ingin mengartikan raut keruh Varrel sebagai sebuah pertimbangan. Ia terlalu bersemangat. Mamalah yang dengan keras menentang idenya.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu bukan lagi anak kecil yang terobsesi pada cerita dongeng kakekmu. Hidupmu di sini. Setelah kau tinggalkan pekerjaanmu, setidaknya ada Varrel yang mau berbagi hidupnya denganmu ”
“Telah kubuang waktuku selama ini, melakukan hal yang sia-sia, Mama.”
“Tak ada yang sia-sia. Bahkan kuliah dan pekerjaanmu itu juga hal tepat bagimu. Jangan bodoh dengan membuang segala yang sudah kau raih.”
“Aku tetap akan pergi. Aku memegang kendali atas hidupku, melakukan apa pun yang aku inginkan.”
“Dalam hal itu, kau serupa dengan kakekmu. Sangat keras kepala dan egois.”
Mira bisa mendengar kekecewaan dari nada suara Mama. Baru kali ini, secara jelas ia membantah Mama. Ia tahu Mama tak akan mengerti tentang keinginannya. Serupa Mama yang dulu juga tak memahami kisah Kakek.
“Kau akan bernasib menyedihkan seperti kakekmu, jika berkeras pergi ke sana. Bagaimana dengan Varrel? Kau akan meninggalkannya juga?”
“Dia akan mengerti.”
Mira sebenarnya tak yakin kalau Varrel akan mengerti. Mungkin ia melakukan kesalahan dengan pergi, namun ada sesuatu yang terus mendesak yang tak bisa ia abaikan. Mama akhirnya angkat tangan dengan sikap keras kepalanya. Varrel mengantarnya ke bandara dengan permintaan untuk sering menghubunginya.
“Jika kau telah melihat yang ingin kau lihat, temukan keinginan untuk pulang.” Mira tak memahami permintaan itu. Namun, ia mengangguk cepat, serupa memberikan harapan bagi Varrel untuk mau mempertahankan hubungan mereka karena jauh di pekatnya hati ia tahu ia menginginkan cinta Varrel tak goyah untuknya. Hubungan jarak jauh serupa itu tentu tak mudah. Hanya hati dengan rasa cinta yang kuat yang akan bertahan. Dan mungkin ia harus bersiap, jika saja hubungan mereka berakhir.
***
Mira mematuhi Claudia, membawa Addie dan Abbie ke Aira begitu mereka pulih dan diizinkan keluar dari rumah sakit. Bertiga mereka menempati paviliun kecil di halaman belakang tak jauh dari asrama yang disediakan bagi anak-anak asuh Aira, bersebelahan dengan paviliun yang digunakan untuk menampung para volunter yang baru tiba. Itu adalah tawaran yang harus ia balas dengan ucapan terima kasih setulus hati.Namun, ia menolak pengasuh yang ditawarkan Claudia. Bukan karena gengsi, tapi ia ingin menegaskan bahwa kembar ini putrinya, bukan anak asuh Aira. Jadi, mereka tak perlu repot memperlakukan keduanya serupa penghuni asrama lain. Bantuan yang ia harapkan dari Aira adalah asistensi pengurusan proses pencatatan sipil pengakuan keduanya sebagai anak angkatnya di kantor pemerintah. Ia juga harus mengurus dokumen resmi di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Madagaskar tentu saja. Birokrasi terkadang begitu berpalit rumit. Merepotkan, menguras emosi dan tenaga. Namun, ia tak menemukan alasan untuk menyerah.
Tinggal di kompleks Aira memberinya kemudahan. Ia hanya perlu berjalan menuju sekretariat, memublikasikan aktivitas terbaru Aira di website resmi, membalas e-mail dari para calon volunter dan memeriksa berkas-berkas laporan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Jika itu telah selesai, ia akan berjalan-jalan dengan mendorong stroller melihat aktivitas di kelas-kelas, mengobrol dengan para guru dan bermain dengan anak-anak yang mengerubungi Abbie dan Addie. Ia bahkan bisa bersama keduanya sepanjang hari.
Namun, tetap saja ia tak ingin keduanya tak mendapatkan pengurusan yang tepat. Karenanya, bulan ketiga ia menerima tawaran Honore untuk mempekerjakan seorang gadis pengasuh. Masih sepupu jauh Honore. Gadis yang selisih umurnya tak terlalu jauh dengan Mira itu bernama Valentina. Ia begitu cekatan merawat bayi dan sangat membantu. Berdua mereka sering membahas dan berdebat tentang kenapa bayi perempuan harus identik dengan pernak-pernik berwarna merah muda, dipakaikan baju motif bunga-bunga atau karakter princess.
Valentina secara aneh memperlakukan kembar seakan keponakannya sendiri. Ia sering spontan menghadiahi mereka aksesori lucu yang bisa ia temukan di pasar dan menolak Mira membayarnya. Kembar ini mampu membuat mata yang memandang jatuh cinta kepada mereka.
Tiap melihat Abbie dan Addie, Mira merasa berutang penjelasan. Ia akan menceritakan kisah mereka suatu hari nanti. Ketika mereka telah siap untuk mendengarkan. Tak akan menutupi apa pun karena adalah hak mereka untuk tahu. Itulah yang seorang ibu lakukan. Aku ibu yang melahirkan kalian dari kandungan hatiku, bisiknya berulang kepada keduanya.
Ketika rombongan relawan datang, Mira akan lebih sibuk. Mereka umumnya adalah sekelompok pemuda yang penuh rasa ingin tahu dan haus petualangan dengan kepala yang penuh inisiatif. Serupa dirinya dua tahun lalu. Agak canggung mula-mula, namun lalu akan terbiasa dengan keadaan sekitar seiring waktu yang bergerak. Karena ia juga salah seorang supervisor, menjadi tugasnya juga mendampingi mereka.
Posisi ini ia peroleh setelah tahun kedua bekerja sebagai relawan tak berbayar. Sekarang ia bergaji, tak banyak, namun ia puas. Tahun ini ia telah menolak untuk mendampingi mereka ke desa-desa binaan. Claudia menyetujuinya karena ada rekan yang lain bisa menggantikan Mira. Semua program akan tetap berjalan baik.
Biasanya tiap hari Sabtu ia akan mengajak Addie dan Abbie menemaninya berbelanja kebutuhan mereka ke supermarket. Tentu Valentina juga ikut. Beberapa kali keduanya atau salah satu akan rewel merengek atau menangis, ia akan panik sebentar menyiapkan susu atau memeriksa popok dan lalu merasa lega setelah membuat mereka nyaman. Ia abaikan tatapan orang yang lalu-lalang. Terlalu kentara untuk membaca isi kepala mereka. Kedua bayi itu tentu berbeda secara fisik dengannya. Tapi, mereka tak berhak melakukan penilaian apa pun karena mereka tak mengetahui ceritanya.
Suatu Sabtu, ketika ia pulang, Tiana telah duduk di beranda paviliunnya. Dengan sekeranjang leci dan mangga.
“Kau melakukan hal besar dalam hidupmu dan tak meminta bantuan tantemu ini. Kau masih saja sungkan, Nak.” Ada raut kaget di wajahnya sekejap, namun segera tertutup dengan ketulusan yang tak bisa ia sembunyikan.
Tante Tiana adalah penghubung Mira dengan Kakek Kusuma, juga menjadi satu-satunya kerabat di negeri ini. Mira telah memenuhi janjinya dengan mencari dan menemui Tiana. Awalnya Tiana kaget, ia kesulitan memahami cerita Mira. Gadis Indonesia itu tiba-tiba muncul dan mengatakan ia adalah keponakan tirinya. Hanya bermodal selembar foto tua dan beberapa lembar surat tua yang dulu ditulis Kakek Kusuma untuk keluarga Indonesia-nya, berpuluh tahun silam.
Setelah bertahun-tahun, ingatannya telah sangat samar akan keberadaan ayah Indonesia-nya. Ia menerima Mira dan memperkenalkannya sebagai kerabat kepada keluarga Malagasy-nya. Sayangnya, hubungan mereka bergerak sangat lambat. Sering kali kaku, seolah tak hendak mencair karena Mira setelah pertemuan pertama itu selalu menghindar. Ada ketakutan bahwa Mama akan menganggapnya sebagai pengkhianat, jika ia terlalu akrab dengan Tiana. Tiana tinggal di kota yang sama. Ia adalah guru di salah satu sekolah pemerintah. Tiana punya empat orang anak yang telah memiliki keluarga mereka masing-masing, tapi masih tinggal bersama di rumahnya.
“Kau sudah terlalu repot dengan murid-murid di sekolahmu.”
“Sesibuk apa pun, aku masih punya waktu untuk dua cucu baruku. Dan aku ingin mengatakan bahwa apa yang telah kau lakukan itu sangat berani,” Tiana berkata dengan nada suara yang hangat. Seolah Mira adalah keponakannya yang akrab.
“Kami baru saja panen. Pohon-pohon yang dulu ditanam kakekmu, tiap tahunnya menghasilkan banyak buah. Kupikir kau akan menemukan alasan untuk menolak undangan pesta kebun kami. Jadi, kubawakan kau sekeranjang mangga dan leci.”
“Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”
“Aku ke rumahmu, penjaga mengatakan kau tak lagi di sana. Jadi aku mencarimu kemari. ”
“Kau tak perlu repot, Tante.”
Mira akan mengatakan bahwa ia tak butuh bantuan Tiana. Namun, itu bisa saja terdengar tak menyenangkan. Tiana serupa wanita yang senang direpotkan. Miralah yang ingin menunjukkan bahwa ia bisa melakukan semua hal lebih baik dari Tiana, bahwa Kakek seharusnya lebih mengutamakan keluarga di Jakarta daripada keluarga Malagasy-nya. Sebuah kesombongan atau kecemburuan anak-anak yang tak semua hilang ketika ia dewasa.
“Ah, lihatlah mereka. Rupa-rupanya kau telah tersihir aura mistis yang mereka bawa.” Mira tertawa spontan dengan guyonan Tiana. Tiana mendekati kedua bayi kembar, membawa salah satunya dalam kedua lengannya.
“Mamamu tahu?”
Mira menggeleng. Mama pernah sekali mengunjunginya ke Antananarivo. Ia datang bersama Varrel sekitar enam bulan yang lalu. Kunjungan pertamanya dan kunjungan kedua Varrel. Ketika Mama minta dipertemukan dengan Tiana, Mira tahu bahwa Mama penasaran dan ingin memperjelas kedudukannya sebagai anak sah Kakek. Sikap Mama yang angkuh dan kasar harusnya membuat Tiana tersinggung. Tapi ketika itu, Tiana memperlakukan dirinya sebagai saudara tiri yang tak peka, lebih memilih menumpulkan perasaannya terhadap sikap tak menyenangkan Mama. Tiana seakan memiliki karakter cuek di satu sisi, tapi peka dan peduli di sisi lain.
“Aku belum memberi tahu Mama. Tapi Varrel tahu dan ia marah besar. Mungkin ia akan memutuskan hubungan kami. ”
Mira berusaha tak terlihat gundah, namun kalimat itu meluncur diiringi getar tubuhnya. Tiana spontan memeluk bahu Mira, menepuk lembut serupa sahabat. Tubuh mereka bersentuhan terasa hangat dan nyaman. Mira tak hendak menolak dukungan itu.
“Kau tahu dirimu telah dewasa ketika masalah bukan lagi sekadar bagaimana mencari cara menghindari les balet yang tak kau senangi atau menghindari mengerjakan pelajaran yang tak kau sukai. Suatu saat di masa mendatang, ketika beragam kesulitan masa ini telah berlalu, kau akan berdiri lega dan bangga dengan apa yang telah kau lakukan. Ikuti saja kata hatimu, Nak!”
“Tante, kau serupa pujangga sekarang.”
“Aku guru sastra.” Ia lalu mendekati Addie dan Abbie, membelai lembut keduanya.
“Mira akan melindungi kalian, percayalah!” ucap Tiana kepada mereka yang membalas tatapan dengan mata bulat yang telah sempurna terbuka, tentu mereka bisa manatap Mira dan Tiana sekarang dan merekamnya dalam manik mata keduanya.
“Kau melakukan hal terpuji dengan mengambil mereka. Oh, mereka akan tumbuh menjadi gadis yang cantik.” Kalimat itu, sungguh penguat bagi langkahnya yang sangat Mira butuhkan. Andai Varrel mengatakan hal yang serupa.
“Jelaskan kepadanya! Jangan hanya pasif berharap agar ia yang mengerti maumu.”
“Apakah terlalu egois dengan menginginkan keduanya? Varrel, juga kehidupanku di sini?”
“Sah saja menginginkan apa pun, tapi kau tahu terkadang kau harus berdamai dan melakukan pilihan-pilihan.”
Dulu, ke Madagaskar adalah pilihan yang ia buat. Meninggalkan Varrel demi sesuatu yang ia katakan passion-nya. Varrel tak hilang, ada di tempat yang jauh menunggunya kembali. Namun, kali ini pilihannya menjadi lebih sulit. Setelah dua tahun, ia tak lagi sekadar volunter, ia punya tanggung jawab pekerjaan. Bisa dikatakan kariernya di sini mulai membuatnya nyaman dan betah. Kehadiran si kembar dalam kehidupannya juga membuat kakinya makin terpacak dan terikat pada tanah merah negeri ini.
“Sekarang memang kau betah, tapi suatu hari nanti, kau akan merindukan tanah kelahiranmu. Merindukan orang-orang dari masa lalumu. Merindukan segala hal dari kenanganmu. Tanah ini hanya sebuah tempat persinggahan untukmu. Kakekmu telah membuktikan itu.” Apakah kepalanya serupa stoples bening yang isinya bisa terlihat jelas oleh Tiana?
“Pikirkanlah lagi.”
Mira mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Tiana lalu pamit ketika langit mulai menjingga dengan matahari yang akan terbenam di langit barat. Ah, perkataan Tiana tadi seolah memancing rasa rindunya. Dua tahun ini ia telah menebalkan rasa atau melalaikan diri dari mengingat masa lalu. Mira menimang handphone-nya, lalu jarinya bergerak cepat menekan sederet angka di sana. Tak ada nada sambung. Panggilan itu terputus sendiri setelah operator dengan bahasa yang kaku menjawabnya. Apakah Varrel telah memblokir nomornya? Itu adalah prasangka buruk yang membuatnya sedih.
Ia lalu meninggalkan paviliun dengan berjalan-jalan ke taman, melewati asrama dan pohon-pohon jacaranda yang mulai memunculkan gerombolan bunga ungu di ranting-rantingnya. Kembali ia coba menelepon nomor Varrel dan tetap suara operator yang menjawab. Ia menjadi sedih dan khawatir. Apakah sudah terlambat untuk memperbaiki hubungan mereka?
Ia merasa kalimat Tiana terlalu dalam memengaruhi emosinya ketika dari arah depan ia melihat sesosok laki-laki berjalan dengan postur tubuh dan gaya berjalan yang begitu ia kenal. Dadanya bergemuruh, tangannya bergetar, seolah khawatir rasa rindu yang membuatnya berhalusinasi. Namun, ketika sosok itu makin mendekat dan telah berdiri tepat di depannya. Ia seakan seringan kapas. Melayang-layang dalam rasa bahagia.
“Varrel, kau datang? Kau mengagetkanku.”
Secara tak terduga, wajah itu berada sangat dekat dengan wajahnya.
“Kau pikir mudah untuk melepaskanmu? Ketika kau sangat susah menemukan alasan untuk pulang, aku memutuskan menjemputmu.”
“Bagaimana kau tahu aku di sini?”
“Aku tidak tahu, penjaga rumahmu yang mengantarku kemari. Cinta tak akan membuatku tersesat.” (Tamat)
***
Haya Nufus
Pemenang 3 Sayembara Mengarang Cerber 2016
Pemenang 3 Sayembara Mengarang Cerber 2016
Topic
#FiksiFemina