
ilustrasi: tania.
Waktu anak saya baru mulai masuk TK, hampir tiap pulang sekolah saya dioleh-olehi satu, dua, atau tiga flyer atau formulir. Ukuran dan warnanya bermacam-macam. Saking banyak dan seringnya, saya enggak ingat apa –mana-- untuk apa.
Sampai suatu pagi, handphone saya berdering di kantor. “Am I speaking to Ms Hutapea?” Itu admin sekolah, nanya mengapa anak saya diantar ke sekolah hari itu. Lah, emangnya mau diantar ke mana lagi?
“Ibu tahu kan bahwa hari ini Sport Carnival di Lapangan Santa Sabina?”
“Sport Carnival?’ pikir saya, sambil berusaha mengingat-ingat apakah pernah membaca atau mendengar pemberitahuan ini dari siapa.
“Informasinya ada di formulir hijau yang Ibu tanda tangani 3 minggu yang lalu.”
Formulir hijau? Yang hijau mana? Perasaan kuning, deh, yang saya tanda tangani tiga minggu lalu. Atau, itu yang Jumat kemarin, ya? Pusing!
Dengan sabar petugas admin menjelaskan bahwa sudah menjadi budaya sekolah untuk mengadakan dua karnaval tiap tahun. Satu untuk atletik (awal tahun ajaran) dan satunya lagi untuk renang (akhir tahun ajaran).
Kedua acara itu biasanya diadakan di lapangan olahraga dan sejenisnya supaya bisa menampung suporter dan penonton (orang tua atau keluarga murid).
Pada hari karnaval tidak ada staf dan kegiatan sama sekali di sekolah. Murid dan orang tua atau keluarga datang langsung ke lokasi karnaval. Untung petugas admin belum berangkat ke karnaval. Jadi, anak saya dimintakan izin untuk boleh ikut nebeng di mobil mereka. Saya juga diingatkan untuk menjemput anak saya di tempat karnaval.
Bos baru saya --ibu dengan tiga anak usia sekolah-- tertawa mendengar kehebohan saya pagi itu dan mengatakan, “Why don’t you leave work now and enjoy your child’s first school carnival!”
Jam menunjukkan angka 10.30 saat saya turun dari kereta. Kecepatan lari saya saat itu bisa mengalahkan juara lomba 17 Agustusan kelurahan. Begitu sampai, ternyata semua orang tua sudah berada di lokasi. Mulai dari membantu panitia menghitung angka, memonitor waktu, sampai mengurus kantin. Sebagian sibuk ke sana kemari mengikuti anaknya, dari lomba lari 100 m ke lompat jauh, sambil kamera dan handphone tak henti-hentinya mengambil gambar dan merekam video.
Sisanya berdiri di luar arena lomba lari 200 m, teriak menyemangati anak-anak. Mata saya panik mencari-cari buah hati saya. Aduh, banyak sekali orang. Saya setengah putus asa. Sebelum kemudian mata kami saling bertemu.
“I won, Mummy!” teriaknya. Ia menunjukkan dua ribbon bertuliskan ‘1st’ dan ‘2nd’ yang terpeniti di kausnya. Juara satu dan juara dua di lomba tolak peluru dan lompat jauh.
“Wah, well done, Sayang!” jawab saya bangga, sekaligus merasa bersalah. Belum lima menit bisa bernapas teratur, mata saya terpaku pada T-shirt anak saya. Warna kuning! Seharusnya warna biru, sesuai dengan seragam hari itu. Dan, itu pasti ada tertera di formulir hijau itu.
Ampun, deh!
“Sudahlah, namanya juga ibu yang masih ‘amatir’,” pikir saya, membesarkan hati yang ciut. Lalu tibalah lomba 100 m sprint untuk TK. Cepat-cepat saya bergabung dengan orang tua lain di spot yang sudah disediakan. Kalau tadi kecepatan lari saya bisa mengalahkan juara lomba tujuhbelas agustusan, keahlian saya menyalip di sela-sela orang tua lain supaya dapat tempat paling depan pun patut mendapat acungan jempol sekaligus pandangan dingin dari yang kena salip. Ha… ha… ha…. Maapkan, deh, demi anak.
Anak saya melesat ke depan, 25 meter, 50 meter, 75 meter… dan kakinya menyentuh garis finish, meraih nomor satu! “Yesss!” teriak saya, memekakkan telinga penonton di kiri yang memberi saya sorot mata: norak banget, sih.
Hi… hi… hi…. Saya nyengir manis dan buru-buru lari memeluk sang juara. Terbayar, deh, stres, ciut hati, dan ngosngosan ibunya dua jam yang lalu.
“I won, Mummy!” teriaknya. Ia menunjukkan dua ribbon bertuliskan ‘1st’ dan ‘2nd’ yang terpeniti di kausnya. Juara satu dan juara dua di lomba tolak peluru dan lompat jauh.
“Wah, well done, Sayang!” jawab saya bangga, sekaligus merasa bersalah. Belum lima menit bisa bernapas teratur, mata saya terpaku pada T-shirt anak saya. Warna kuning! Seharusnya warna biru, sesuai dengan seragam hari itu. Dan, itu pasti ada tertera di formulir hijau itu.
Ampun, deh!
“Sudahlah, namanya juga ibu yang masih ‘amatir’,” pikir saya, membesarkan hati yang ciut. Lalu tibalah lomba 100 m sprint untuk TK. Cepat-cepat saya bergabung dengan orang tua lain di spot yang sudah disediakan. Kalau tadi kecepatan lari saya bisa mengalahkan juara lomba tujuhbelas agustusan, keahlian saya menyalip di sela-sela orang tua lain supaya dapat tempat paling depan pun patut mendapat acungan jempol sekaligus pandangan dingin dari yang kena salip. Ha… ha… ha…. Maapkan, deh, demi anak.
Anak saya melesat ke depan, 25 meter, 50 meter, 75 meter… dan kakinya menyentuh garis finish, meraih nomor satu! “Yesss!” teriak saya, memekakkan telinga penonton di kiri yang memberi saya sorot mata: norak banget, sih.
Hi… hi… hi…. Saya nyengir manis dan buru-buru lari memeluk sang juara. Terbayar, deh, stres, ciut hati, dan ngosngosan ibunya dua jam yang lalu.
***
Deliaty Hutapea - Sydney
Kirimkan Gado-Gado Anda maksimal tulisan sepanjang tiga halaman folio, ketik 2 spasi.
Nama tokoh dan tempat kejadian boleh fiktif.
Kirim melalui e-mail: kontak.femina@pranagroup.id atau
pos ke Jl Mampang Prapatan Raya No 75, Lt 7, Mampang Prapatan, Jakarta 12790, tuliskan di kiri atas amplop: Gado-Gado
Deliaty Hutapea - Sydney
Kirimkan Gado-Gado Anda maksimal tulisan sepanjang tiga halaman folio, ketik 2 spasi.
Nama tokoh dan tempat kejadian boleh fiktif.
Kirim melalui e-mail: kontak.femina@pranagroup.id atau
pos ke Jl Mampang Prapatan Raya No 75, Lt 7, Mampang Prapatan, Jakarta 12790, tuliskan di kiri atas amplop: Gado-Gado
Topic
#fiiksi, #gadogado