
ilustrasi: tania.
Beberapa hari aku melihat suami selalu cemberut. Tiap kali ditanya kenapa, dia buru-buru tutup hidung. Seakan mencium sesuatu yang bau.
Seperti siang itu, saat pulang kerja. Kulihat ajahnya masam. Aku menyambutnya dengan senyum termanis agar membuatnya tersenyum. Dia tersenyum. Tapi hanya sesaat, kemudian wajahnya masam lagi.
Kupersilakan dia membersihkan diri dulu. Sementara aku menyiapkan makanan. Sambil menunggu di ruang makan, aku terus diliputi tanda tanya. “Dia kenapa, sih?”
Suamiku menghampiri meja makan. Wajahnya terlihat segar sehabis mandi. Tanpa bicara, aku langsung menyendokkan nasi ke piringnya. “Jangan terlalu banyak. Aku tidak mau muntah lagi,” ucapnya, membuat tanganku tertahan saat mengambilkan nasi untuknya. Muntah?
Sore harinya, saat duduk berdua di teras, kuberanikan diri bertanya, mengapa beberapa hari ini sikapnya aneh. “Bau ketek,” jawabnya, datar.
Seketika aku kaget. Siapa yang bau ketek? Aku? Spontan aku mencium ketiakku sendiri. Ah… tidak bau. Aku menatap lagi wajah suamiku. Wajahnya terlihat tenang, tak bisa diduga apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Sejak sore itu, aku benar-benar kalang-kabut. Bau ketek… ucapan itu terus terngiang dalam benak.
Oh… no! Aku bau ketek kata suamikuuu…..
Aku pun segera browsing mencari cara menghilangkan bau ketiak. Supaya suami tidak terganggu dengan bau ketiakku, meskipun dengan percaya diri aku katakan bahwa ketiakku sama sekali tidak bau. Tapi, demi suami, aku akan melakukan segala macam cara.
Di internet kutemukan banyak resep dan cara menghilangkan bau ketiak. Salah satunya dengan daun sirih. Wah, di mana aku mendapatkan daun sirih di Kota Karawang yang masih baru kutinggali ini?
Aha… aku ingat. Saat suami mengajakku jalan-jalan dan memperkenalkan aku dengan keluarganya di Purwakarta, kulihat ada tanaman sirih di pekarangan rumah Uwa. Saat suami libur, aku pun mengajaknya berkunjung ke rumah Uwa. Suami setuju dan kami berdua pergi mengunjungi Uwa di Purwakarta.
Seperti siang itu, saat pulang kerja. Kulihat ajahnya masam. Aku menyambutnya dengan senyum termanis agar membuatnya tersenyum. Dia tersenyum. Tapi hanya sesaat, kemudian wajahnya masam lagi.
Kupersilakan dia membersihkan diri dulu. Sementara aku menyiapkan makanan. Sambil menunggu di ruang makan, aku terus diliputi tanda tanya. “Dia kenapa, sih?”
Suamiku menghampiri meja makan. Wajahnya terlihat segar sehabis mandi. Tanpa bicara, aku langsung menyendokkan nasi ke piringnya. “Jangan terlalu banyak. Aku tidak mau muntah lagi,” ucapnya, membuat tanganku tertahan saat mengambilkan nasi untuknya. Muntah?
Sore harinya, saat duduk berdua di teras, kuberanikan diri bertanya, mengapa beberapa hari ini sikapnya aneh. “Bau ketek,” jawabnya, datar.
Seketika aku kaget. Siapa yang bau ketek? Aku? Spontan aku mencium ketiakku sendiri. Ah… tidak bau. Aku menatap lagi wajah suamiku. Wajahnya terlihat tenang, tak bisa diduga apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Sejak sore itu, aku benar-benar kalang-kabut. Bau ketek… ucapan itu terus terngiang dalam benak.
Oh… no! Aku bau ketek kata suamikuuu…..
Aku pun segera browsing mencari cara menghilangkan bau ketiak. Supaya suami tidak terganggu dengan bau ketiakku, meskipun dengan percaya diri aku katakan bahwa ketiakku sama sekali tidak bau. Tapi, demi suami, aku akan melakukan segala macam cara.
Di internet kutemukan banyak resep dan cara menghilangkan bau ketiak. Salah satunya dengan daun sirih. Wah, di mana aku mendapatkan daun sirih di Kota Karawang yang masih baru kutinggali ini?
Aha… aku ingat. Saat suami mengajakku jalan-jalan dan memperkenalkan aku dengan keluarganya di Purwakarta, kulihat ada tanaman sirih di pekarangan rumah Uwa. Saat suami libur, aku pun mengajaknya berkunjung ke rumah Uwa. Suami setuju dan kami berdua pergi mengunjungi Uwa di Purwakarta.
Topic
#fiksi, #gadogado