
Foto:123rf
“Kita harus melakukan sesuatu, agar hidup jauh lebih bermakna.” Kalimat klise yang selalu Lou dengar dari neneknya, ia ucapkan pada Jay yang berjalan terlalu santai. Sudah berulang kali Lou mengatakan bahwa mereka beruntung karena Profesor Karim menempatkan nama mereka untuk membedah kadaver yang baru bagi praktikum mereka.
Lou bersemangat bukan karena ini adalah praktikum anatomi terakhir di semester ini. Namun, karena lokasi koas untuknya sudah ditentukan dan ia tidak mendapatkan lokasi yang tidak terlalu pedalaman. “Dia tidak akan lari, Lou!” seru Jay, sambil memandang arloji.
Lou mengikat maskernya kencang ketika aroma formalin sudah tercium ketika ia membuka pintu gedung laboratorium. Pak Said, petugas laboratorium yang biasa mengurus kadaver, menyebut namanya dan mempersilakan masuk. Lou menghentikan langkah, melirik Jay yang sangat lambat membuka jaket dan menggantinya dengan baju lab.
Lou menelan ludah, melenturkan jemarinya. Ini bukan kali pertama Lou berhadapan dengan kadaver, namun ia selalu merasakan ketidaknyamanan di hatinya. Gabungan rasa antara hormat, iba, dan takut. Ya, Lou harus mengakui hingga hari ini, ketika ia nyaris tamat kuliah di fakultas kedokteran, rasa takut itu masih ada.
Lou merapal doa dalam hati, mengucap salam ketika ia membuka pintu. Jay yang sedari tadi santai jadi bergegas, menyalip Lou yang masih merapikan sarung tangan. Lou memberi kesempatan pada Jay untuk membuka penutup kadaver yang telentang di atas meja keramik.
Temannya itu menarik napas, mengerutkan bibir. Menggeleng-gelengkan kepala, seolah tak rela. Lou mendekat, penasaran pada ekspresi Jay yang tidak biasa.
“Lelaki ini masih sangat muda, mungkin baru berusia 24 atau 25 tahun,” kata Jay. Lou belum memperhatikan wajah sang kadaver, ia meraih dokumen yang tergeletak di ujung meja.
“Ya, selalu sedih jika ada korban kecelakaan atau apa pun yang berusia sangat muda. Dunia masih berputar, gegap gempita, sementara dia harus cepat-cepat pergi.”
Lou membaca dokumen tersebut yang menyatakan sang kadaver tewas seketika karena tertabrak mobil, tanpa identitas apa pun. Dia sudah menunggu hampir 6 bulan tanpa seorang pun yang mencarinya, hingga akhirnya diputuskan rumah sakit untuk dikirim ke universitas.
“Setidaknya, jika tidak ada seorang pun yang merasa kehilangan dirinya, pemuda ini akan menjadi mahaguru yang sangat berjasa untuk mahasiswa kedokteran.”
Lou mengangguk, menatap perut terbuka dengan organ-organ yang menghitam. Kemudian akhirnya ia berani menatap wajah yang terpejam rapat itu. Gadis itu menarik napas dalam dan mulai mengeluarkan limpa. Limpa yang utuh, tidak tertutupi lemak, dan tampak sehat.
Lou bersemangat bukan karena ini adalah praktikum anatomi terakhir di semester ini. Namun, karena lokasi koas untuknya sudah ditentukan dan ia tidak mendapatkan lokasi yang tidak terlalu pedalaman. “Dia tidak akan lari, Lou!” seru Jay, sambil memandang arloji.
Lou mengikat maskernya kencang ketika aroma formalin sudah tercium ketika ia membuka pintu gedung laboratorium. Pak Said, petugas laboratorium yang biasa mengurus kadaver, menyebut namanya dan mempersilakan masuk. Lou menghentikan langkah, melirik Jay yang sangat lambat membuka jaket dan menggantinya dengan baju lab.
Lou menelan ludah, melenturkan jemarinya. Ini bukan kali pertama Lou berhadapan dengan kadaver, namun ia selalu merasakan ketidaknyamanan di hatinya. Gabungan rasa antara hormat, iba, dan takut. Ya, Lou harus mengakui hingga hari ini, ketika ia nyaris tamat kuliah di fakultas kedokteran, rasa takut itu masih ada.
Lou merapal doa dalam hati, mengucap salam ketika ia membuka pintu. Jay yang sedari tadi santai jadi bergegas, menyalip Lou yang masih merapikan sarung tangan. Lou memberi kesempatan pada Jay untuk membuka penutup kadaver yang telentang di atas meja keramik.
Temannya itu menarik napas, mengerutkan bibir. Menggeleng-gelengkan kepala, seolah tak rela. Lou mendekat, penasaran pada ekspresi Jay yang tidak biasa.
“Lelaki ini masih sangat muda, mungkin baru berusia 24 atau 25 tahun,” kata Jay. Lou belum memperhatikan wajah sang kadaver, ia meraih dokumen yang tergeletak di ujung meja.
“Ya, selalu sedih jika ada korban kecelakaan atau apa pun yang berusia sangat muda. Dunia masih berputar, gegap gempita, sementara dia harus cepat-cepat pergi.”
Lou membaca dokumen tersebut yang menyatakan sang kadaver tewas seketika karena tertabrak mobil, tanpa identitas apa pun. Dia sudah menunggu hampir 6 bulan tanpa seorang pun yang mencarinya, hingga akhirnya diputuskan rumah sakit untuk dikirim ke universitas.
“Setidaknya, jika tidak ada seorang pun yang merasa kehilangan dirinya, pemuda ini akan menjadi mahaguru yang sangat berjasa untuk mahasiswa kedokteran.”
Lou mengangguk, menatap perut terbuka dengan organ-organ yang menghitam. Kemudian akhirnya ia berani menatap wajah yang terpejam rapat itu. Gadis itu menarik napas dalam dan mulai mengeluarkan limpa. Limpa yang utuh, tidak tertutupi lemak, dan tampak sehat.
Topic
#fiksifemina, #cerpen