Fiction
Cerpen : Kawin Perak

8 Dec 2018

           
Foto besar perkawinan adat Jawa masih tergantung pada dinding ruang tamu. Itu menjadi saksi ratusan kali pertengkaran, yang aslinya hanyalah berupa perbantahan tak seimbang. Menjadi saksi ratusan pukulan serta teriakan si pengantin lelaki kepada pasangannya yang kemudian memberinya tiga anak manis-manis. Ruang tamunya ala Amerika, dengan bar penyekat yang menghubungkan dapur. Maka jika berkali-kali suami itu memukul kepala sang istri dengan alat dapur sampai patah pun, foto itu tetap ‘mengawasi’.
           
Anehnya, selama dua puluh lima tahun, Darini tidak pernah merasa malu kalau ketahuan orang bahwa suaminya ringan tangan. Pada masa awal hidup bersama, mereka tinggal di kompleks perumahan dosen. Tentu saja mulut pembantu merupakan corong berita yang ampuh. Seluruh kampung mengetahui, namun kesopananlah yang menahan ibu-ibu untuk tidak bertanya mengapa muka Darini tembam bengkak. Atau apa yang dialami wanita dokter yang dosen  itu sehingga sebelah matanya berbalur biru-hitam seperti bekas benturan.
           
Namun sebaliknya, di luar orang-orang yang bersangkutan, berita menjalar dari kampung ke kampus, ke seluruh fakultas, universitas, hingga seluruh kota mengetahui. Karyono? Yang Insinyur Doktor mana? Oooh, itu, yang suka memukuli istri.
           
Demikianlah, ‘tukang pukul istri’ melekat menjadi predikat Karyono. Juga kalau orang-orang menyebut nama dokter Darini. Siapa dia? Yang mana? Orang biasa menjawab,” Itu lho, wanita cantik putih yang sering kelihatan mukanya bengkak karena sering dipukuli suaminya!”
           
Tentu saja macam-macam reaksi rekan atau kawan sepergaulan. “Masya Allah! Wanita cantik dan pintar seperti dia, sudi-sudinya hidup bersama monster seperti Karyono! Dasar laki-laki sialan!”
           
Ibu Darini sendiri tidak mampu mempengaruhi anaknya. Pernahkah dengar seorang ibu intelek mengajarkan kepada anaknya yang dua kali lipat inteleknya agar minta cerai? Ya, ini, ibunya Darini.
           
“Cerai saja. Kita urus semua. Kamu pulang ke kota kami, buka praktek, lalu ambil spesialisasi.  Kamu masih muda. Pasti banyak lelaki layak yang akan mencintai kamu.”
           
Cintanya kepada anak-anaknyalah yang membikin dia terus berumah tangga dengan ‘si monster’ itu. Yang sulung laki-laki. Sifatnya banyak seperti ibunya. Dibentak atau disuruh apa saja oleh Si Ayah, dia menurut, dia diam. Atau, kalau kesal, pergi dari hadapan ayahnya.
           
Anak kedua juga lelaki. Tapi aduuuh, anak ini amat sangat peka. Sedikit-sedikit hatinya tersinggung. Apabila dia disuruh-suruh atau disalahkan pada hal memang dia berkelakuan baik, dia membantah. Inilah yang fatal. Maka dengan begitu mudah.. plek.. tangan Karyono mendarat di kepala anaknya.Apalagi bila hatinya yang gelap sedang kecewa di kantor. Dia paling gemar menjadikan istri dan anaknya sebagai pelampiasan ulah orang di kantor atau di jalanan.
           
Sampai anak kedua kuliah sekali pun, Karyono tidak ragu maupun sungkan meneruskan kebiasaan main pukul.Dari waktu ke waktu para pembantu berharap, mereka berbisik-bisik, “Cepatlah datang hari di mana anak-anak  itu berbalik,  ganti menggampar ayah mereka !”
           
Anak bungsu perempuan. Tampaknya ini disayang-sayang oleh Karyono. Tetapi anak ini melihat dan menyaksikan betapa sayang-sayang itu entah kapan akan mendadak berubah menjadi pukulan yang menyakitkan serta menghina. Maka, tanpa hasutan, Darini yakin bahwa anak-anak merasa lebih dekat dengan ibunya daripada dengan ayahnya.
           
Begitu anak ketiga lahir, Darini nyaris tidak disentuh lagi oleh suaminya. Kebetulan waktu itu, kebahagiaan Darini memang tidak tergantung pada tempat tidur. Dia bersama anak-anaknya merundingkan kegiatan apa yang akan dilaksanakan selama liburan sekolah, kapan mencoba makanan di warung Tegal yang baru buka. Ia juga melanjutkan kuliahnya dan mendapatkan gelar yang lebih tinggi, mendapatkan kedudukan lebih tinggi di kantor konsultan.  Itulah isian hidupnya.
           
Darini menjalani kehidupannya tanpa menghiraukan ketidakacuhan suaminya kepadanya. Lalu, pada suatu siang, Karyono pulang membawa salah seorang mahasiswanya. Mereka makan siang sekeluarga. Dan begitu saja, pemuda itu menjadi pelanggan. Datang sore, datang siang, bahkan pagi untuk berangkat bersama ke kampus . Dan setiap saat ketika bersama keluarga, mulut Karyono hanya dipenuhi cerita tentang mahasiswanya yang ganteng itu.
           
Darini cantik, hebat di bidangnya, tetapi dia juga ‘bodoh’. Dia tidak memiliki kepekaan emosional untuk membaca suasana. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Sampai pada suatu siang, di tempat yang terang benderang dan dilihat anak-anak, Karyono membelai-belai tengkuk mahasiswanya, si ganteng itu. Darini sendiri tidak merasakan cemburu selagi melihat suaminya membetulkan sikap duduknya, tanpa memperlihatkan rasa sungkan atau bersalah.
           
Terang-terangan Karyono telah membongkar keasliannya, siapa dia yang sesungguhnya. Dua anak lelakinya  saling berbisik. Darini mendengar bisik-bisik itu. Dia bukannya sedih. Dengan besar kepala dia berkata kepada diri sendiri, “Aku akan menyembuhkan dia.”
           
Tapi Darini bukan psikiater. Dalam beberapa hal, sebenarnya, malahan dia juga memerlukan bantuan ahli jiwa buat dirinya, buat batin dan nuraninya yang selama ini bagaikan budak suaminya. Ia tidak kuat, dan akhirnya dia melangkahkan kaki ke pengadilan agama, saat menjelang ia dan Karyono merayakan poerkaeinan perak. Ya, predikat janda, yang dulu ditakutinya, ternyata memberikannya kebebasan luar biasa.
                                             


Topic

#fiksi, #cerpen, #NHDini