
Remon meneguk lagi kopi pahit dari cangkir tanah liatnya. Dia bisa mencecap rasa pahitnya, juga pada tekstur kasar kopi campuran khas gilingan pedesaan. Tapi anehnya, lidahnya tak bisa membedakan entah kopi ini panas atau dingin.
Mungkin lidahnya kelu oleh beku angin lembah yang sedari tadi menghajar. Juga karena benak kalutnya sedang mengelana tak tentu arah. Hanya kopi ini dan kehadiran Pak Tua Bercaping yang membuatnya nyaman.
Apakah ia sudah tahu namanya? Atau sebaiknya ia coba bertanya lagi? Sudah berapa lama mereka duduk berhadapan dalam diam?
Remon mencari-cari topik pembicaraan. Ia bukan orang yang canggung, Remon adalah seorang extrovert yang mampu berbicara tentang apa saja. Bercerita pada siapa saja dan tertawa dalam situasi bagaimanapun.
Tapi sekarang, tiap kali ia menemukan topik pembicaraan, kerongkongannya membatu. Yang tersisa tinggal helaan napas atau anggukan kepala. Sementara Pak Tua Bercaping hanya berbicara sepatah dua patah kata padanya.
Remon bertemu dengannya dalam keadaan mengenaskan. Kira-kira sore tadi, seingatnya menjelang magrib. Ketika kakinya sudah lelah teramat parah akibat berjalan pincang menyusuri jalur savana dan pundaknya bengkak menahan beban tas punggung seberat separuh tubuh.
Remon mencari-cari apa yang salah. Ini bukan pertama kalinya ia mendaki Gunung Hyang. Ia juga bukan sweeper. Ia tak berjalan di bagian belakang. Lantas kenapa ia tak menemukan yang lain.
Rombongannya terdiri dari sepuluh orang. Mereka berjalan santai, menikmati musim libur dengan mendaki gunung yang merangkap cagar alam. Surga air yang juga jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Ia yakin tak pernah sekali pun keluar jalur. Pandangannya hanya sekali dua kali teralih oleh elang yang berputar menukik tepat di atasnya. Menjatuhkan sehelai bulu panjang di antara ilalang. Sedetik kemudian tiba-tiba saja ia sudah sendirian berada di antah berantah.
Topic
#fiksifemina