Sebelum tiba di rumah kopi di pusat perbelanjaan, seorang penumpang turun di taman kota. Terpana aku oleh lampu-lampu anggun sunyi bergelantungan pada dahan-dahan pepohonan yang dirawat sejak zaman penjajah Spanyol. Aku ikut turun meninggalkan motorela, menuju bangku di bawah rindang sebatang pohon. Kunikmati udara malam yang dingin di bawah cahaya lampu-lampu gantung yang murung dan nostalgic. Beberapa meter di hadapanku, lalu lintas tetap ramai. Motorela dengan warna-warna mencolok dan suara ingar-bingar lalu-lalang.
Tak banyak mobil pribadi dan taksi tampak lesu penggemar. Namun, di bawah pohon ini aku merasa tenteram sendiri, merasakan tiap tarikan napas. Ketukan kematian tak lagi membuatku kecut. Lamat-lamat kudengar musik yang indah. Ia datang dari arah samping kiriku. Rupanya, dari arah taman ada jalan kecil menuju rumah mungil yang terasnya dihiasi lampu warna-warni seperti tradisi perayaan Natal di rumah-rumah orang Filipina. Ada satu-dua meja bundar di teras, terisi wanita dan laki-laki yang asyik bercakap-cakap.
Ah, ternyata ada sebuah kedai kopi kecil yang cantik. Aku pun urung melanjutkan jalan ke pusat perbelanjaan. Kedai kopi ini tampaknya lebih menarik dan hangat ketimbang rumah kopi di mal yang selalu sesak dengan pengunjung.
Pelayan dengan pakaian ala penari belly dance menyambutku ramah. Mempersilakan masuk. Seperti biasa, aku memilih meja yang menghadap meja barista. Barista-nya laki-laki mengenakan ikat kepala ala gipsy. Ia membuat espresso dengan teko tradisi Italia.
Aroma kopi mengepung ruangan. Aku seperti ikan menemukan mata air yang melimpah. Di samping barista ada panggung kecil. Mula-mula kudengar musik belly dance dari Timur Tengah yang mau tak mau mengingatkanku pada belajar mengaji Alquran. Lalu musik belly dance dari Afrika. Ho-ho… pendendangnya wanita.
Tiada keseksian melebihi suara dan gerak pinggul puan-puan Afrika. Lalu musik belly dance dari India yang kidungnya selalu berkunjung terlampau jauh, jauh ke dalam kalbuku.
Topic
#fiksi, #cerpen