
Foto: shutterstock
Dua ratus macam daun dan rempah kering di dalam dua ratus tabung sebesar kelingking. Mereka berjejer di atas meja kayu lebar. Jemari tanganku terkulai di sampingnya, berserah pada tangan si pembaca darah. Mula-mula ia menanyakan golongan darahku. Kujawab A positif. Lalu ia menjelaskan bahwa tiap golongan darah yang berbeda akan ditaping pada jari yang berbeda.
Ia memilih satu tabung gelas, lalu menaping ibu jariku dengan ujung tabung yang lengkung. Tap-tap, satu dua ketukan. Ia berhenti, seolah membaca sesuatu. Lalu ia menggantinya dengan tabung yang lain. Tabung ketiga, tabung keempat… tabung kedua belas. Si pembaca darah makin bersungguh-sungguh mengamati gerak jatuh daun dan rempah di dalam tabung, usai ditapingkan ke ibu jariku. Ia seperti hanya berhadapan dengan ibu jariku dan tetumbuhan di dalam tabung.
Rupa aroma mengunjungi pembauanku tiap kali tabung-tabung itu ditapingkan ke ibu jariku. Imajiku pergi ke hutan yang daun-daunnya tak pernah dipetik tangan manusia. Segala rupa bau kayu menyeruak dari batang-batang pohon berumur ratusan tahun. Akarnya terlampau kokoh keluar dari kedalaman bumi. Merambat seperti jaringan-jaringan di rahimku.
“Anda di level 4, berbatasan dengan zona kanker. Belum terlambat untuk mengatur keseimbangan hormon. Bila sudah di level 7, seberapa pun harta yang Anda punya, tak dapat melampaui kehendak- Nya.”
Akhirnya si pembaca darah memberi penjelasan, setelah 25 tabung ditapingkan ke jariku. Aku meninggalkan si pembaca darah setelah membeli minyak tubuh racikannya. Wanginya hangat rempah dan segar serai. Secarik kertas berisi anjuran pola konsumsi kusisipkan rapi di dompetku. Seperti kuperlakukan surat cinta dari pacar pertama, saat pertama kali kualami datang bulan.
Aku mencari motorela yang dapat membawaku ke penginapan di nadi kota. Teringat rumah kopi di pusat perbelanjaan, tak jauh dari penginapan. Aku bertanya pada kuya sopir bila motorela yang kami tumpangi melewati rumah kopi tersebut. Aku meminta diturunkan di tempat itu, ia mengiyakan. Motor yang dimodifikasi menyerupai bemo itu kini telah penuh dengan tujuh penumpang. Seorang di samping sopir, enam orang, termasuk aku, duduk di belakang saling berhadapan.
Petang turun mengenakan gaun salem. Motorela kini melewati pantai yang dipenuhi pedagang durian. Orang-orang kongko memenuhi kios-kios pedagang durian. Muka mereka berseri-seri seperti baru pertama kali menikmati lezatnya daging durian. Langit dan muka laut berjumpa pada segaris batas.
Kurasakan imaji estrogen dan progesteron menari harmoni. Estrogen yang molek, sintal, agresif bergerak rancak. Progesteron yang gemulai dan kontemplatif. Makin jauh meninggalkan laut, suara gerak estrogen semakin nyaring, tajam seperti denting pedang. Suara gemulai progesteron halus lembut lenyap ditelan gelombang laut. Ingatan pada kematian mengetuk kamar hatiku. Kini aku tak mendengar apa-apa lagi. Sunyi. Terlampau sunyi.
Ia memilih satu tabung gelas, lalu menaping ibu jariku dengan ujung tabung yang lengkung. Tap-tap, satu dua ketukan. Ia berhenti, seolah membaca sesuatu. Lalu ia menggantinya dengan tabung yang lain. Tabung ketiga, tabung keempat… tabung kedua belas. Si pembaca darah makin bersungguh-sungguh mengamati gerak jatuh daun dan rempah di dalam tabung, usai ditapingkan ke ibu jariku. Ia seperti hanya berhadapan dengan ibu jariku dan tetumbuhan di dalam tabung.
Rupa aroma mengunjungi pembauanku tiap kali tabung-tabung itu ditapingkan ke ibu jariku. Imajiku pergi ke hutan yang daun-daunnya tak pernah dipetik tangan manusia. Segala rupa bau kayu menyeruak dari batang-batang pohon berumur ratusan tahun. Akarnya terlampau kokoh keluar dari kedalaman bumi. Merambat seperti jaringan-jaringan di rahimku.
“Anda di level 4, berbatasan dengan zona kanker. Belum terlambat untuk mengatur keseimbangan hormon. Bila sudah di level 7, seberapa pun harta yang Anda punya, tak dapat melampaui kehendak- Nya.”
Akhirnya si pembaca darah memberi penjelasan, setelah 25 tabung ditapingkan ke jariku. Aku meninggalkan si pembaca darah setelah membeli minyak tubuh racikannya. Wanginya hangat rempah dan segar serai. Secarik kertas berisi anjuran pola konsumsi kusisipkan rapi di dompetku. Seperti kuperlakukan surat cinta dari pacar pertama, saat pertama kali kualami datang bulan.
Aku mencari motorela yang dapat membawaku ke penginapan di nadi kota. Teringat rumah kopi di pusat perbelanjaan, tak jauh dari penginapan. Aku bertanya pada kuya sopir bila motorela yang kami tumpangi melewati rumah kopi tersebut. Aku meminta diturunkan di tempat itu, ia mengiyakan. Motor yang dimodifikasi menyerupai bemo itu kini telah penuh dengan tujuh penumpang. Seorang di samping sopir, enam orang, termasuk aku, duduk di belakang saling berhadapan.
Petang turun mengenakan gaun salem. Motorela kini melewati pantai yang dipenuhi pedagang durian. Orang-orang kongko memenuhi kios-kios pedagang durian. Muka mereka berseri-seri seperti baru pertama kali menikmati lezatnya daging durian. Langit dan muka laut berjumpa pada segaris batas.
Kurasakan imaji estrogen dan progesteron menari harmoni. Estrogen yang molek, sintal, agresif bergerak rancak. Progesteron yang gemulai dan kontemplatif. Makin jauh meninggalkan laut, suara gerak estrogen semakin nyaring, tajam seperti denting pedang. Suara gemulai progesteron halus lembut lenyap ditelan gelombang laut. Ingatan pada kematian mengetuk kamar hatiku. Kini aku tak mendengar apa-apa lagi. Sunyi. Terlampau sunyi.
Topic
#fiksi, #cerpen