Career
Sakdiyah Ma'ruf (Komika) : Kehilangan Komedi & Menemukannya Kembali di Sudut Pandemi

20 Apr 2021


Foto: Dok. Femina

Pengantar:  Sakdiyah Ma’ruf memberikan warna dan perspektif yang berbeda di panggung komedi, khususnya komedi satir monolog atau yang akrab disebut stand-up comedy. Ia termasuk sosok komika wanita yang cukup berani membawa isu sensitif dari perspektif komedi. Kali ini, ia menuliskan curhatannya tentang pandemi dari sudut komedi satir. Pandemi yang nyaris membuatnya kehilangan panggung untuk bercanda, namun kini justru menjadi sumber untuk tertawa bersama.
 

*******


“Pandemi membawa banyak sekali perubahan, salah satunya perubahan status, dari pekerja lepas menjadi ‘pekerjaan lepas’!” 

Tawa terdengar dari sudut aplikasi Zoom saat saya beberapa kali membawakan
one liner (lawakan 1 kalimat) singkat ini dalam berbagai kegiatan daring selama pandemi. Sebagian besar merasa terwakili karena pada masa awal pandemi kehilangan pekerjaan. Para pembawa acara, moderator, dan teknisi tertawa paling lantang. Sekali lagi, saya menemukan keyakinan pada komedi. Dan lebih dari itu keyakinan baru pada diri sendiri.

Saya menyadari tidak akan mudah bagi komika perempuan berkarier di industri ini. Namun, saya tidak ingin semudah itu mengalah pada pandangan kedaluwarsa bahwa
women are not funny atau perempuan tidak lucu yang masih dipercaya di seluruh dunia. Saya tidak berhenti, hingga langkah terhalang pandemi. 

Tiket prestisius tampil di Melbourne International Comedy Festival terbang bersama dibatalkannya seluruh kegiatan publik tak esensial di Indonesia dan seluruh dunia. Terlepas dari berbagai tantangan, selama karier komedi saya mendapatkan banyak dukungan; kesempatan menyentuh hati, berjumpa, dan berdialog dengan sebanyak-banyaknya perempuan, ruang berkarya dan berekspresi, serta sarana berbagai dampak positif. 

Kesemuanya ini membawa makna dan kekuatan hidup yang sedemikian besar. Hingga akhirnya Maret 2020, setahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya merasa non-esensial. Merasa tidak dibutuhkan.

Tidak ada lagi humor, yang tersisa hanya hampa menatap layar televisi atau unggahan media sosial terkini, dengan berita-berita pandemi. Keterlibatan dalam kegiatan amal bersama untuk mereka yang terdampak COVID-19 pun tidak bisa menggantikan.

Humor sesungguhnya sehari-hari dan sering muncul sebagai reaksi alamiah terhadap tragedi. “
Tragedy + time = comedy” katanya. 

Segera setelah kita melewati kesedihan, kesepian serta mampu menalar dan melihat hikmah sebuah kepedihan, humor akan muncul. Disiplin berpikir komedi selama ini juga tidak mengkhianati. Dan saya kembali menulis : 

PSBB di Jakarta ditetapkan saat saya sedang pulang kampung, nggak bisa balik ke Jakarta, dan terpaksa meminta bantuan petugas apartemen untuk mengemas barang-barang. Sedih banget, seandainya saya menyempatkan membeli pakaian dalam baru. Huh.

Masa awal pandemi, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, semua media memuat berita pandemi. Syukurlah Indonesia sudah bebas korupsi. Eh, korupsi bansos!

Media hiburan juga memuat berita pandemi : 8 Tips Para Artis Di Rumah Aja. Rasanya seperti liburan katanya. Bener sih, pandemi kaya liburan, asal nggak ngecek saldo rekening.

Banyak yang bilang, kelompok kami kebal Corona. Eh, Pak, ini penyakit bukan Kapal Nabi Nuh, nggak pakai pilih-pilih!

Bapak-bapak ya, kalau di kantor, bikin kopi sendiri di pantry. Begitu WFH kok minta dibikinin istri?

Kata orang air panas, kunyit, bawang putih, jeruk nipis, bisa mencegah dan membantu pemulihan. Hhmmmm…saya langsung makan Soto!

Protokol kesehatan diterapkan di semua kantor, itu yang masih punya kantor, yang PHK? Dianggap memenuhi protokol kesehatan dengan di rumah aja!

Pandemi ini banyak banget yang hobi bercocok tanam lho. Tau nggak, mengapa namanya cocok tanam? Kalau cocok ya tanam, kalau nggak cocok paling tidak sudah diunggah ke media sosial.

Bersyukur bioskop akan dibuka dengan protokol kesehatan, duduk sendiri, dan harus sangat berjarak. Akhirnya film akan beneran ditonton, nggak ditinggal pacaran.
 

Kesulitan dan keprihatinan bersama dalam masa penuh ketidakpastian, membuahkan kekuatan kolektif dan sumber tak surut untuk sama-sama tertawa. Ironi dan satir kehidupan seakan muncul dengan sendirinya dan sangat dibutuhkan. 

Berbagai tantangan yang sebelumnya saya hadapi, seakan menemukan jalan keluarnya melalui materi-materi yang berbeda dari yang biasanya saya bawakan. Pandemi ini membuat saya mengerti, saya berhak mengembangkan diri dan kreativitas, termasuk materi-materi, sembari tetap konsisten dalam perjuangan untuk perempuan. Saya merasa kembali dapat berkontribusi. Mengajak berdialog, berpikir, dan terbuka bersama melalui canda. 

Beberapa waktu lalu, atas undangan sebuah organisasi pemberdayaan perempuan dan remaja, saya merancang sebuah modul pelatihan komedi di tengah pandemi. Saya tahu tidak bisa menjanjikan apa-apa. Panggung belum dibuka, entah kapan bisa mulai berkarya. Tapi, saya yakin komedi adalah aspirasi, bukan hiburan semata.

Berjumpa dengan perempuan dan anak perempuan dari 10 provinsi di Indonesia, saya merasa kuat saat mengetahui bahwa melalui komedi mereka dapat menceritakan hal-hal yang selama ini sangat sulit mereka sampaikan. Mereka pun merasa kuat karena komedi memecah kebuntuan pandemi dan memberikan harapan. 

Kata
Alaa Murabit, seorang aktivis perempuan dan UN High Commissioner untuk Kesehatan dan Ekonomi, “Kemarahan memang menggerakkan, tetapi harapanlah yang membangun optimisme.”

Satu per satu mereka bicara dan mengungkapkan kegelisahannya. Seorang peserta dari Jawa Timur berkata, “Orang bilang berbadan besar dan tomboi itu kurang feminin. Memangnya kalau punya badan ‘feminin’ manfaatnya apa
sih? Itu Barbie feminin, cuma dilepas-lepas kaki sama tangannya. Habis itu kalau bajunya udah sobek tetap dikasih potongan bekas daster di rumah.”

Peserta lain dari Bali, “Banyak yang bilang, kamu enak ya tinggal di Bali, serasa liburan terus. Saya bilang, ‘Iya sih, setiap hari berangkat ke hotel, tapi buat masak sama bersih-bersih aja.’ Dengan lantang, peserta dari Bali ini membicarakan ketimpangan yang terjadi akibat investasi pariwisata. 

Peserta berikutnya menertawakan diri sendiri di masa pandemi, “Kulitku gelap, kalau masuk Zoom kata teman suruh
nyalain kamera, padahal udah. Untung saya host-nya, besok-besok saya mute saja dia. Ini namanya melawan bully dengan teknologi.”

Sungguh keliru, pandangan bahwa perempuan tidak lucu. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada membantu perempuan dan anak perempuan menemukan suara lalu tertawa bersama.

Suatu hari di tengah pandemi, di awal 2021 ini, saya berjumpa lagi dengan kenyataan. Hidup sungguh tak akan lagi sama. Saya berdiri di sebuah gedung teater berkapasitas 250 orang, untuk merekam pertunjukkan bersama tak lebih dari 10 orang. 

Akankah terus demikian? Entahlah. Lama sekali saya menatap kursi-kursi yang entah kapan terisi. Saya lalu menguatkan hati, tidak akan mundur lagi. 

Setahun pandemi mengajarkan saya, meski gelak tawa tak lagi membahana, senyum satu-dua di antara kita tetap bermakna. Suara perempuan berharga, dan kita harus terus berkarya, membangun komedi sebagai ‘obat’ pandemi. (f) 


Baca Juga: 

Ligwina Hananto (Lead Financial Trainer) : Merayakan Ke Mana Uangku Pergi, Setelah 1 Tahun Di Rumah Aja
Liffi Wongso (Ilustrator): Pandemi Menantang Kewarasan Wanita
Lola Amaria (Sutradara) : Pandemi Tak Bisa Bunuh Kreativitas





 



Topic

#wanitabicarapandemi, #wanitafemina, #komika