Career
Riset Accenture 2020 : Ada Kesenjangan Perspektif antara Pemimpin dan Karyawan tentang Kesetaraan di Tempat Kerja

22 Apr 2020



Dok. Pexels




Bukan berita baru para leader dengan bangganya mengatakan bahwa perusahaan mereka mendukung kesetaraan di tempat kerja. Membanggakan dan sesuatu yang perlu diapresiasi. Fakta berkata lain! 

Temuan terbaru Accenture - layanan profesional global - dalam riset bertajuk Getting to Equal 2020 yang dilakukan di 28 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa progres kesetaraan tak semulus kelihatannya. Kemajuan dalam meraih kesetaraan di lingkungan pekerjaan berjalan lambat. Apa penyebabnya?

Menurut
Debby Alishinta, Managing Director, Inclusion and Diversity Lead Accenture Indonesia, dari hasil penelitian ini diketahui bahwa salah satu penyebab progres kesetaraan berjalan lambat adalah karena para pemimpin tidak menempatkan budaya inklusif sebagai prioritas kerja mereka.

“Padahal, berdasarkan temuan ini mayoritas karyawan maupun pemimpin percaya bahwa budaya inklusif itu penting untuk menerapkan kesetaraan. Tapi, di satu sisi, hal ini tidak diprioritaskan,” papar Debby.

Tak hanya soal budaya inklusif yang tidak ditempatkan sebagai prioritas kerja, yang menjadi penyebab. Dari hasil penelitian di Indonesia ini juga diketahui bahwa ada kesenjangan perspektif antara apa yang dikatakan pemimpin tentang kesetaraan di lingkungan kerja dengan apa yang dirasakan sendiri oleh para karyawan. 

Semua pemimpin yang menjadi responden penelitian mengaku bahwa tidak ada karyawan yang tidak dilibatkan di lingkungan kerja mereka. Nyatanya, apa yang dirasakan oleh karyawan justru berbeda, atau sekitar 25 persen karyawan mengaku tidak dilibatkan dalam pekerjaan.

Mengejutkannya lagi, pemimpin juga mengaku bahwa sekitar 92 persen karyawan disertakan dalam pekerjaan, namun nyatanya pengakuan tersebut hanya disetujui oleh 25 persen karyawan. 

Kesenjangan perspektif tentang kesetaraan antara yang dikatakan pemimpin dengan yang dirasakan oleh karyawan juga terlihat nyata dengan hasil penelitian yang sama.

Sekitar 71 persen pemimpin merasa mereka telah menciptakan lingkungan yang memberdayakan para karyawannya, yang mana para karyawan bisa menjadi diri mereka sendiri, dapat menyampaikan kekhawatirannya dan dapat berinovasi tanpa harus khawatir dengan kegagalan. Sayangnya, hanya 45 persen karyawan yang setuju dengan pernyataan para pemimpin tersebut.

Begitu juga dengan 86 persen pemimpin yang percaya bahwa perusahaan yang mereka pimpin sudah fleksibel dari segi karyawan yang memiliki kontrol sendiri terhadap kapan, di mana, dan bagaimana cara mereka bekerja. Namun nyatanya, hanya 29 persen karyawan yang sependapat.

Begitu juga dengan 100 persen pemimpin yang percaya bahwa perusahaan tersebut memberikan peluang kepada semua karyawannya untuk mendapatkan pelatihan pengembangan diri, hanya 78 persen karyawan yang pernah mendapatkannya. 

Menyimpulkan dari hasil penelitian tersebut, Debby menilai bahwa karyawan tidak merasakan apa yang disampaikan oleh pemimpinnya. “Dan kesenjangan itu lumayan besar,” tegasnya. 

Debby mencontohkan, ada seorang pemimpin yang mengatakan bahwa akan menerapkan program yang menghilangkan kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan. Namun nyatanya, hal ini masih terjadi di lapangan.

Contoh lainnya, pemimpin mengatakan bahwa perusahaan mereka telah menerapkan
work life balance dengan fleksibilitas waktu kerja yang ramah bagi para karyawan perempuan. Namun, yang terjadi pada banyak perusahaan di Indonesia adalah ketepatan waktu dan kehadiran di kantor masih menjadi keharusan, tanpa adanya keluwesan aturan.

“Karyawan-karyawan ini ingin melihat hasil nyata apa yang disampaikan oleh pemimpin mereka. namun, mereka belum merasakan apa yang mereka ekspektasikan,” tambahnya. 

Mengomentari kesenjangan perspektif ini, Debby menilai bahwa sebenarnya para pemimpin di indonesia bersifat
forward thinking, memiliki ambisi besar dan visioner untuk bisa menghadirkan lingkungan kerja yang setara. 

“Sesungguhnya ini bukan sesuatu yang salah. Hanya, ketika berusaha mewujudkannya, mungkin saja eksekusinya sulit,” ujar Debby. Bisa jadi karena
support system yang minim atau kurangnya komitmen untuk mewujudkan program-program yang inklusif di lingkungan kerja. 

Lebih lanjut Debby mengatakan, penerapan budaya inklusif di lingkungan kerja itu harus datang dari para pemimpin. 

“Saya percaya, harus
top-down approach. Para pemimpin harus bisa komitmen mewujudkan budaya tersebut, karena bagaimanapun yang bawah bukanlah pembuat keputusan,” tambahnya. (f)



BACA JUGA :

Riset Accenture 2020 : Kesetaraan di Tempat Kerja Berjalan Lambat. Ini Penyebabnya
Keuntungan Multi Generasi Dalam Perusahaan
Pekerja di Helsinki Punya Work-life Balance Terbaik



 


 


Topic

#KesetaraanGender, #Accenture