
Perusahaan-perusahaan besar sudah sewajarnya memiliki perhatian besar terhadap isu pergantian pemimpin. Pasalnya penelitian PwC menemukan, kekeliruan dalam memilih pemimpin perusahaan telah menimbulkan kehilangan $112 triliun nilai saham per tahun. Karena itu, idealnya pemimpin perusahaan itu direncanakan jauh-jauh hari, termasuk dalam sebuah perusahaan keluarga.
Lalu, apakah memiliki orang tua entrepreneur sukses membuat anak juga memiliki jiwa entrepreneur dan siap menjadi pewaris perusahaan? Ternyata tidak selalu. Bahkan ada pameo bahwa perusahaan keluarga itu akan hilang pada generasi ke empat.
Pada generasi pertama passion-nya tinggi, generasi kedua agak berkurang dan selanjutnya setelah beranak pinak akan terjadi perebutan kekuasaan dan sebagainya. “Pameonya begitu, tapi saya rasa ini tidak berlaku umum, bergantung dari kemampuan perusahaan itu untuk menjadi profesional,” ujar Yuswohady, pakar pemasaran dan penulis buku.
Profesionalisme, menurut Yuswohady adalah kunci utama perusahaan keluarga. Dalam manajemen perusahaan, seorang pemimpin perusahaan harus mengutamakan bisnis ketimbang keluarga. Harus dipisahkan antara kepemilikan dan pengelolaan.
Keluarga founder, entah itu anak atau keponakan boleh saja mendapat warisan saham, tapi semestinya tidak otomatis masuk dalam manajemen perusahaan, apalagi menjadi pemimpin dan pengambil keputusan.
“Jadi misalnya anak atau keponakannya tidak pintar dan tidak bisa mengelola perusahaan, ia harus legowo hanya duduk sebagai komisaris pemegang saham pasif. Tapi yang banyak terjadi adalah, mentang-mentang anaknya maka dia mesti masuk di direktur atau GM. padahal kalau anaknya memang tidak mampu, kasihan perusahaannya".
Yuswo melihat, demi menyiapkan penerus, biasanya anak dari founder yang disekolahkan di Amerika Serikat, kemudian masuk ke perusahaan tapi dari level tengah bahkan bawah. Tujuan untuk melatih anak agar siap jadi direktur atau CEO. “Boleh saja ia mengelola perusahaan kalau ia mampu, tapi tidak boleh dipaksakan.”
Mengapa kebanyakan perusahaan keluarga itu berhenti di generasi ketiga, ia melihat ada dua penyebab utama. Pertama, saling bertikai terkait pembagian kepemilikan dan faktor memaksakan anggota keluarga untuk masuk dalam manajemen hingga membuat perusahaannya berantakan.
“Perusahaan itu aset yang harus berkembang, bertumbuh, kepentingan membesarkan bisnis adalah yang utama, bukan membagi-bagi bisnis untuk keluarga.” (f)
Baca Juga:
Presenteeism, Saat Memaksakan Diri Ke Kantor Bisa Jadi Masalah
Masih Kerap Diremehkan, Ini 5 Saran Donna Agnesia Agar Sukses Menjadi Agen Asuransi
Merancang Rapat Supaya Tidak Buang-buang Waktu
Topic
#karier, #ceo, #perusahaankeluarga