
Foto: Stocksnap.io
Pria asing—terutama pria ras kulit putih yang dikenal dengan sebutan bule—katanya memiliki pesona tersendiri bagi wanita Indonesia. Istilah ‘bule hunter’ pun muncul karena makin banyak wanita Indonesia yang mematok persyaratan ‘harus bule’ dalam mencari teman kencan, kekasih, hingga bakal suami. Alasan mereka pun beragam, dari yang menelan bulat-bulat stereotype ‘bule lebih romantis’, alasan yang mengandung inferioritas ras seperti ‘memperbaiki keturunan’, atau silau akan tampilan luar pria bule yang lebih glamor karena kebanyakan sebagai ekspatriat, bule di Indonesia menjabat posisi penting di berbagai perusahaan asing atau perwakilan pemerintahan. Saya jelas ikut penasaran. Apa iya segitu hebohnya pria bule sampai yang kategori “biasa-biasa saja” hingga yang nyaris jelek pun tetap digemari.
Jangan Cepat Cemburu
Sebelum menikah, saya termasuk wanita yang suka gonta-ganti pasangan. Wajar saja, kan, waktu itu masih muda, belum punya target kapan mau menikah. Prinsip saya sederhana: kencan sebanyak-banyaknya, pacaran beberapa kali, menikah sekali seumur hidup.
Setelah melewati beberapa kali masa pacaran, lepas dari pria Melayu terakhir, akhirnya saya pun ikut arus ‘pacaran dengan bule’. Dia tidak kelewat ganteng, tapi jenaka dan pandai menulis surat cinta selain juga menjabat sebagai diplomat senior di kedutaan Australia waktu itu. Sesuai profesi dan jabatannya, sehari-hari ia tampil dalam balutan setelan jas berwarna gelap dengan potongan pas di badan. Ini juga menjadi pesona tersendiri. Kesannya matang, kalem, dan powerful.
Pacaran dengan bule memang jelas berbeda. Dari soal yang paling sederhana: dilarang gampang cemburu. Untungnya, saya bukan tipe wanita pencemburu. Itu yang bikin dia betah dengan saya. Pasalnya, punya pacar bule memang panjang sabar. Kebanyakan pria bule memang sangat ramah, dari mulai sapaan hangat ke pelayan resto, hingga sikap yang sangat akrab dengan rekan kerja, termasuk bawahan. Sikap ini kadang membuat wanita salah mengartikan. Banyak yang jadi overacting dan merasa ikutan ditaksir, atau yang lebih parah, merasa diam-diam dipacari.
Ini terjadi pada bawahannya. Untung saja tak sampai merasa dipacari diam-diam, tapi hanya sebatas jatuh hati. Wanita itu dengan terbuka mengaku pada pacar saya, William, bahwa ia cemburu pada saya, karena William kelihatan terlalu ‘jatuh hati’ pada saya sampai-sampai tak menyadari keberadaan dirinya yang juga jatuh hati pada dia. Tentu saja pernyataan ini membuat saya tertawa terbahak-bahak. Bukan karena saya sok percaya diri. Untungnya si dia membeberkannya setelah kami putus hubungan dan berstatus teman baik. Seandainya ia mengatakan pada saat kami pacaran, bisa jadi saya misuh-misuh dan ngambek.
Jadi Incaran, Jadi Pusat Perhatian
Soal tidak cepat cemburu memang gampang-gampang sulit untuk dijalani. Pasalnya, kadang-kadang kecemburuan itu juga sangat beralasan. Pria bule memang punya kecenderungan jadi incaran, terutama di negara-negara dengan banyak kantong kemiskinan seperti Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Meski tak bisa digeneralisasikan baik untuk si pria bule atau wanita indonesia, sudah bukan rahasia banyak rumah tangga pria bule yang berantakan ketika dihadapkan pada godaan tingkat tinggi dari wanita-wanita Indonesia yang entah mengapa sebagian sering tak peduli tetap mengincar si bule meski ia sudah menikah.
Seperti yang terjadi pada Maureen Hitipeuw (35). “Empat tahun lalu, tepatnya beberapa bulan sebelum usia pernikahan kami yang kelima, rumah tangga saya kandas di tengah jalan karena perselingkuhan,” ujarnya. Saat itu, sang suami bule berselingkuh dengan wanita Indonesia, tepatnya bawahannya. Meskipun Oyen—demikian panggilan akrabnya—tidak serta merta sepenuhnya menyalahkan si dia. “Setelah melalui banyak perenungan yang mendalam saya akhirnya tersadar, perselingkuhan si mantan hanyalah cara dia merespon dari sesuatu yang tidak sehat dari pernikahan kami. We got married way too soon! Saya masih terlalu muda, masih terlalu naif dan terbutakan oleh cinta,” ungkapnya.
Oyen mungkin termasuk kategori wanita bijaksana yang cenderung mengambil sikap positif dan tak segan untuk introspeksi diri. Tapi banyak juga teman saya yang mengambil sikap ekstrem dalam ‘melindungi’ suami dari godaan wanita Indonesia yang terkenal cantik dan gampang memesona pria bule. Contohnya salah seorang teman saya sesama perantauan di Amerika Serikat—sebut saja Diah—yang pernah berkata, “Saya sih nggak bakalan ngasih suami saya tinggal di Indonesia. Mau digaji berapa kek, dikasih rumah di Kemang dan mobil mewah juga nggak peduli. Mending di sini aja, deh, lebih sedikit peluangnya jatuh cinta dengan wanita Indonesia lagi. Ntar pulang ke Indonesia belum setahun bisa-bisa jadi janda. Sudah banyak kejadian,” ujarnya.
Saya teringat dengan teman kencan saya yang lain, Gregor. Pria Jerman yang muda dan ganteng itu dulu menjabat general manager di salah satu hotel bintang lima di kawasan Kuningan, Jakarta. Setiap kali ke luar, entah makan atau sekadar mojok di cafe atau club, biarpun saya menempel erat di sisinya, tetap saja wanita-wanita mencoba flirting. Sampai-sampai ada yang berani menyelipkan nomor telepon di selembar kertas. Rasanya saya seperti ‘nggak dianggap’ atau mungkin dikira hanya sekadar pendamping malam itu saja. Mau marah juga percuma karena bukan salah teman kencan saya kalau dia jadi incaran.
Pacaran dengan pria bule juga mengundang perhatian. Kadang menyenangkan, kadang bikin emosi. Yang menyenangkan, bisa praktek bahasa Inggris tanpa harus dituduh sok keren. Namanya juga si bule tak lancar atau tak bisa berbahasa Indonesia. Ya harus saya yang habis-habisan pasang badan supaya percaya diri berbahasa Inggris. Yang kurang menyenangkan, kalau berjalan kaki dengan bule sering jadi sasaran pria iseng. Saya ingat saat jalan kaki dari kantor lama saya di area Setiabudi ke kedutaan Australia yang lokasinya tak terlalu jauh, sepanjang perjalanan berbagai godaan yang menjurus ke pelecehan seksual harus saya telan pahit. Dari ucapan pria iseng seperti, “Wah... si mister bule pasti enak yaa, pasti gede.” hingga ke aksi coba-coba menyentuh bagian tubuh privat seperti payudara dan bokong. Anggapan negatif seperti ‘wanita Indonesia yang jalan dengan pria bule itu gampangan’ sepertinya masih berlaku. Tentu saja pacar bule saya naik darah, tapi biasanya saya tahan. Tidak bijaksana ribut-ribut dengan orang-orang jalanan di jalan. Jadi biasanya saya buru-buru lari.
Kalau sedang pesiar ke Bali, bisa lebih heboh lagi. Lagi-lagi perasaan ‘tidak dianggap’ sering muncul. Tidak semuanya, sih, tapi sering terjadi saat window shopping yang ditegur hanya si bule, lagi sight-seeing ke tempat turistik dengan tour-guide, yang dikasih penjelasan hanya si bule, hingga makan di restauran yang dilayani dengan lebih baik pasti si bule. Saya? Mungkin hanya dianggap sebagai pelengkap yang kalau dihilangkan pun tak masalah. Lagi-lagi generalisasi, tapi sering terjadi.
Online Dating
Bukan rahasia lagi, banyak wanita Indonesia yang mengandalkan situs kencan sebagai tempat mencari pria bule. Saya pun sempat menjajal online dating. Maklum, dulu Facebook atau Twitter dan berbagai apps kencan belum ada. Yang berjaya saat itu Friendster dan MySpace.
Pria bule mungkin bisa gampang dijumpai di situs kencan, tapi tetap saja proses yang dijalani sering tak mulus. “Meski dapat email dari para bule di online dating, tapi tetap tidak ada yang nyantol. Mungkin karena aku memilih bule yang sopan saat bertutur dalam email dan berkomunikasi. Kalau orang Jawa bilang, alon-alon asal kelakon. Aku tidak suka kalau langsung ngobrol tentang sesuatu yang personal, tapi tidak ingin juga terlalu lama. Aku cuma serius sama bule jika mereka berniat berkenalan, bertemu langsung dan mengenal lebih jauh dengan keluarga,” ujar Riana K. Liptak yang kini tinggal berdua suami di Maryland, Amerika Serikat.
Sebelum menikah dengan Michael Liptak, Riana memang sudah sering dekat dengan pria bule. “Saya pernah dekat dengan bule Australia, Perancis, Jerman dan pria Indonesia. Tapi pada akhirnya malah nyantol bule Amerika ini yang mengirim pesan di MySpace. Setelah umurku lewat 30, seperti cewek pada umumnya yang masih lajang, saya mulai merasa seperti dikejar deadline untuk mencari pasangan hidup. Sedangkan pekerjaan saya sangat menyita waktu hingga tidak menyadari saya lebih berkutat dengan pekerjaan daripada bersosialisasi. Maka mulailah saya mencoba online dating. Awalnya iseng masuk satu situs, kemudian merambah situs lain. Meski nyantolnya justru bukan dari situs-situs itu tapi dari MySpace,” ujar Riana.
Online dating memang menjanjikan. Tapi belakangan, para scammer pun mulai berkeliaran mencari mangsa. Dari yang menjanjikan hadiah mahal dan uang puluhan ribu dolar, hingga yang mengancam menyebar foto seksi atau foto vulgar yang dikirim oleh wanita pencari bule dengan sukarela. Salah satu teman saya yang kini tinggal di Australia sempat mengalami kejadian pahit ini. Karena terbawa situasi pembicaraan yang semakin hot ia berani menanggalkan baju saat chatting lewat webcam. Ternyata si pria mengancam akan menyebarkan hasil tangkapan webcam tersebut. Beruntung teman saya punya banyak kenalan yang akhirnya bisa menyelesaikan kasus ini dengan bantuan hacker.
Online dating? Mengapa tidak. Tapi hati-hati, dan jangan kelewat nafsu.
Egaliter Dalam Banyak Hal
Lain pacaran, lain lagi berumah tangga. Setelah sejumlah kencan dengan beragam pria bule dan beberapa kali pacaran resmi, akhirnya saya memang ditakdirkan menikahi bule. Menikah dan menetap di Amerika Serikat tak gampang dan tak seindah yang saya bayangkan. Makanya untuk banyak wanita Indonesia yang menggantungkan harapan menetap di luar negeri dengan cara menggaet bule, lebih baik pikirkan matang-matang.
Dalam pernikahan beda bangsa pastinya perbedaan kultur kadang menimbulkan masalah. Wendy Ruky merasakan cara berkomunikasi suami, Matthew Mogul, bisa membuat orang yang mendengar bisa salah pengertian. “Kalau ada yang paling menonjol dari Matthew itu justru penampakan dia yang straight forward. Kalau orang yang nggak kenal banget, mungkin dikira agak kasar. Soalnya dia biasa berdebat, berargumen kadang jadi kedengarannya kayak yang marah. Padahal usai perdebatan kalau pun nggak ada kata sepakat, ya sudah, selesai tanpa ada rasa marah,” ujar mantan penyiar Trans TV yang bertemu Matthew saat kuliah di Columbia University, New York.
Pria bule terkenal egaliter. Mereka umumnya memandang wanita sebagai partner yang setara dalam segala bidang, termasuk urusan domestik. Suami saya lebih rajin urusan bersih-bersih di rumah. Selama 8 tahun menikah, bisa dihitung dengan jari berapa kali saya membersihkan kamar mandi. Di akhir pekan, kalau tak ada acara keluar, dia dengan senang hati mengepel, membersihkan dapur berikut kompor, hingga menyikat kamar mandi hingga berkilau.
Tapi sikap egaliter tak selamanya menyenangkan, terutama untuk urusan finansial. Dalam urusan keuangan pria asing lebih fair. Tak ada itu istilah “uang suami uangku, uangku ya uangku.” Tadinya saya pikir karena suami saya pelit dan tak banyak duit. Ternyata saya tak sendirian. Duh, ini yang kadang bikin gegar budaya. Hahaha... Saya kerja sambilan ya tetap semua penghasilan harus dimasukkan sebagai kontribusi keluarga bersama. Jadi nggak ada istilah ‘uang penghasilan lumayan buat beli bedak dan senang-senang.’
Suami saya termasuk pria yang percaya wanita harus mengandalkan diri sendiri dan menggunakan potensi yang ada hingga maksimal untuk urusan karier.
Memang pria bule atau pria lokal, semua tentu punya banyak kelebihan atau kekurangan. Kalau saya akhirnya berjodoh dengan pria bule, akhirnya bukan karena mitos-mitos, seperti: bule lebih banyak duit. Mantan pacar saya yang keturunan Tionghoa jauh lebih berduit dibandingkan suami saya sekarang. Lebih romantis? Relatif juga.
“Justru mantan pacar saya yang Melayu jauh lebih romantis daripada Matthew,” elak Wendy Ruky. Lantas apa yang membuat pria bule istimewa? Mungkin opposite attraction. Atau mungkin juga cuma soal selera, yang mudah-mudahan tidak berubah setelah si bule di genggaman tangan. Soalnya setelah menikah dengan bule, belakangan saya suka berdebar-debar kalau melihat pria hitam yang seksi, atau tipe mas-mas Jawa pintar dengan ocehannya yang cerdas di Twitter. Nah lho!
Uly Siregar
Penulis, kontributor Arizona, Amerika Serikat