
Bikin Lip Gloss Sendiri
Bunga-bunga mawar berwarna merah darah (dunia kerap menyebutnya cleopatra rose) mekar di lahan kebun Skylake, sebuah rumah produksi kosmetik tradisional yang terletak di bukit-bukit di kawasan Daehanri Wachonmyun. Saya boleh memetik beberapa kuntum. Bukan untuk dirangkai di pot penghias ruang ataupun menjadi buket ucapan selamat pada seseorang, melainkan untuk dipreteli kelopaknya. Dengan lumpang dan alu keramik, kelopak-kelopak mawar itu saya tumbuk menjadi adonan lembut.
“Nyalakan kompor. Jerang semua bahan sesuai ukuran hingga cair, aduk merata dan jaga titik didihnya agar tak meluap keluar wadah,” ucap Mi-ja Seo, CEO rumah kosmetik tradisional itu, seraya membagikan lembar resep bahan-bahan yang telah disiapkan di meja.
Bahan-bahan itu antara lain minyak dari biji jojoba, lilin lebah madu alam, shea butter dari getah sejenis buah palma, dan madu murni. Lalu, bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam wadah di kompor mini. Bahan olahan cair itu didinginkan sejenak, lalu dituang ke dalam botol kaca atau wadah silinder mini, membentuk krim lip gloss yang hangat dan nyaman saat jemari tangan memulaskannya ke bibir.
Sebuah kursus kilat yang menarik. Di ‘dapur’ Skylake itu, kami bisa praktik membuat krim matahari, spray penyegar wajah dari bahan bunga lavender, plus bedak bayi. Turun-temurun, dengan teknik sederhana dan bahan-bahan dari alam lokal itu pula, para ibu di desa-desa Korea memenuhi kebutuhan kosmetik mereka. (f)
Hutan Ayam
Hutan Gyerim ditumbuhi jajaran willow yang jaraknya renggang. Di tanah berpasir putih yang tak begitu subur itu, liuk pohon-pohon willow ditata eksotis, berderet bagai penari, dan berhasil meyakinkan UNESCO untuk mencatatkan bagian dari Taman Nasional Geongju itu sebagai world heritage.
Di dalam hutan, berdiri tegak sebuah kuil merah di lokasi yang konon tempat ditemukannya kotak berisi bayi Kim Alji, bayi yang menurunkan klan Kim. Klan terbesar di seluruh Semenanjung Korea ini merupakan klan raja-raja dalam dinasti Silla yang berkuasa selama sepuluh abad.
Hutan Gyerim ini dipercaya warga Gyeongju sebagai cikal bakal lahirnya Kerajaan Silla. Gyerim sendiri adalah sebutan untuk ayam. Konon, di tempat ditemukannya bayi Kim itulah, Raja Talhae mendengar suara ayam menangis.
Situs world heritage lain yang menarik adalah Bulguksa Temple. Tempatnya sangat luas dan artistik dengan pohon-pohon willow menghiasi halaman. Biara Buddha utama Kerajaan Silla dengan taman dan jembatan batu melintas kolam cantik di bagian depannya. Ada bak batu besar di depan situ, dengan air yang mengucur terus-menerus dari gunung. Banyak pengunjung menyempatkan meminum air jernih itu, dengan gayung tempurung, yang dipercaya berkhasiat membuat awet muda.
“Di masa pendudukan Jepang, dalam rangka menghilangkan ingatan rakyat Korea akan jejak sejarah Kerajaan Silla, pesawat-pesawat Dai Nippon tak cuma membombardir istana, tapi juga kuil ini,” ungkap Michele Kim, yang memandu saya, seraya menunjuk pada beberapa bagian tembok Bulguksa Temple yang dibiarkan rompal akibat serpihan bom Jepang. (f)
Gubuk Kimchi di Kampung Yangdong
Sebuah megapolitan macam Seoul berawal dari kehidupan desa-desa sekitarnya. Pola pikir masyarakatnya juga kerap kali berasal dari kearifan lokal masyarakat desa. Agaknya, bangsa Korea amat sadar akan hal ini. Menyusuri Seoul hingga Daegu, ibu kota Gyeongsangbuk-do, ‘wajah’ desa tetap melimpah di antara ‘hutan beton’ yang menyemarakkan kota.
Pemerintah Korsel kelihatannya juga sangat perhatian pada kehidupan pedesaan yang menjadi sumber ekonomi, sekaligus tata nilai yang berlaku di negeri itu. Ada banyak desa tradisional yang dilestarikan, tak cuma fisiknya, tapi juga tata nilai kesehariannya. Salah satu desa yang masuk sebagai world heritage itu adalah Yangdong Folk Village di distrik Geongju.
Eksis sejak abad-abad awal dinasti Silla Kingdom, kampung yang dibangun keluarga aristokrat Yangban ini masih menampakkan gaya hidup dan tradisi Neo-Confucius sebagaimana berlangsung di abad-abad silam.
Dinding-dinding rumah warga terlihat masih tetap berupa tembok yang dibangun dari campuran tanah liat dan jerami. Warga juga masih memanfaatkan jalinan jerami sebagai atap rumah. Sementara rumah kaum berada, yang rata-rata terdaftar sebagai bagian dari situs warisan kota, dibangun dari batang-batang pinus yang diambil dari hutan-hutan sekitar.
Warga juga memanfaatkan kearifan lokal dalam menciptakan kehangatan di rumah mereka. Di lantai rumah panggung, selalu ada cerobong bawah tanah yang berujung di ruang-ruang tertentu di bagian dalam rumah. Pangkal cerobong biasanya dibuat di dekat dapur atau di samping rumah.
Saat udara dingin menyengat, dibuat perapian dari ranting-ranting kayu atau jerami kering. Perapian diatur sedemikian rupa, hingga hawa panas bisa tersalur ke kamar-kamar tidur atau ruang keluarga.
Berbagai produk lokal, seperti sepatu dan sandal dari bahan rumput, wadah tembikar atau dari bahan jerami, merupakan oleh-oleh khas Yangdong. Dijual juga kimchi yang baru ‘dipanen’ dari dalam gentong-gentong keramik di samping rumah atau sudut dapur warga.
Di seantero Korea, kimchi mudah didapat di pasar tradisional maupun pasar swalayan. Namun, wanita Korea lebih suka mengolah sendiri kimchi untuk pelengkap hidangan keluarga. Konon, seseorang belum bisa disebut sebagai wanita Korea, bila ia tak bisa membuat kimchi.
Teknik membuat kimchi tetap dilakukan dengan cara tradisional yang berlangsung sejak berabad-abad silam. Sayur pilihan dicuci bersih, dirajang sesuai ukuran dan dicampur bumbu: garam, gula, cabai, jahe, dan lainnya, lalu disimpan dalam gentong. Diperlukan waktu beberapa hari proses fermentasi, sebelum bisa memanen isi gentong. Untuk itu, gentong-gentong keramik berisi kimchi setengah jadi ini umumnya ditempatkan di ruang-ruang tertutup bersuhu sekitar 15 derajat Celsius.
Di Yangdong, selain menaruh di samping rumah, gentong kimchi juga biasa ditaruh warga di ruang ‘bawah tanah’ dekat dapur, atau dalam gubuk khusus berbentuk kerucut dari jerami yang disebut ‘rumah kimchi’ di tepi ladang. Bahkan, pasca-Perang Dunia II dan Perang Saudara tahun 1952, banyak warga memanfaatkan gua-gua Jepang untuk tempat fermentasi kimchi. (f)
Kuliner Khas Korea
Jamur mudah dijumpai dalam hidangan Korea. Selain sup jamur, di kaki lima banyak dijumpai penjual jamur panggang yang diberi kecap atau ditaburi bubuk merica dan keju. Alam pedesaan di Korea merupakan habitat jamur. Tiap pagi, ada saja wanita pedesaan yang mencari dan memungutinya, lalu dibawa ke pasar atau bahkan dijajakan di pinggir-pinggir jalan dekat permukiman.
Makanan tradisional Korea lain antara lain bulgogi (olahan daging sapi seperti bakso dan sosis yang ditusuk dan dipanggang), bibimbab (nasi campur), cap-jae (suun goreng), dan jeon (gorengan/tempura). Bahkan, kimbab (yang tak beda dari sushi di Jepang) sebenarnya tak lebih dari lemper isi yang dibungkus dengan kim (lembaran rumput laut), dan dihidangkan dengan cara dipotong-potong, mirip nasi potong dalam tradisi masyarakat laut suku Bajo.
Tradisi kuliner Korea juga mengenal minuman jahe yang disebut sujonggwa, juga sikhye, minuman fermentasi dari bahan padi-padian. Teh, yang tumbuhannya berasal dari Assam, India, sejak lama dibudidayakan dalam lahan kebun di lereng-lereng bukit di Korsel. Praktis, air seduhan daun teh (dengan berbagai varian campurannya) menjadi minuman umum di masyarakat.
Anehnya, di kafe-kafe di mal, stasiun, dan pinggir jalan, minuman teh nyaris tak pernah termasuk dalam daftar menu minuman. “Orang Korea masa kini lebih suka minum kopi,” ungkap Michele. Kapan warga Korsel mulai keranjingan minum kopi? Tak jelas! Yang pasti, tanaman kopi tak pernah tumbuh di negeri itu. Komoditas kopi diimpor dalam ragam produk siap seduh dari berbagai negeri, khususnya dari Indonesia.
Kini, di Kota Gyeongju ada Culinary School of Korea. Dipimpin wanita ahli boga, Dr. Cha Eung-jung, sekolah itu terbuka untuk siapa pun yang ingin mempelajari lebih jauh soal kuliner Korea, khususnya jenis hidangan yang di masa lampau biasa disajikan dalam jamuan kenegaraan di lingkungan Silla Kingdom. Sekolah kuliner itu juga membuka kesempatan bagi para wisatawan yang ingin menikmati jamuan ala Silla Isageum, di ruang Taste of Lasonjae. (f)
Apel di Mana-Mana
Apel hankuk dengan kulitnya yang semu merah merupakan buah umum di Semenanjung Korea. Pohon-pohon apel juga biasa menghiasi halaman rumah di perkotaan maupun di desa. Gyeongsangbuk-do merupakan penghasil apel terbesar di Korsel. Di provinsi yang dua-pertiga kawasannya berbentuk bukit-bukit itu, apel dibudidayakan dalam kebun luas, sebagaimana saya lihat di lahan Han’s Farm di kawasan perbukitan Danchon-myeon, Uiseong-gun.
Pohon apel berbaris teratur di petak-petak kebun yang dipagari kawat berlistrik (untuk mencegah hewan besar, seperti rusa dan babi besar, menerobos masuk). Apel yang dipanen nyaris tiap hari di sepanjang musim panas itu digunakan sebagai bahan utama berbagai produk makanan dan minuman. Pie apel, keripik, selai, sirop, dan khususnya wine apel andalan Korsel berlabel Zu Ji Mong, yang diekspor ke Jepang, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Indonesia.
Di Han’s Farm, wisatawan bisa ikut membantu pekerja memetik buah siap panen, menyaksikan wine diproses, dan ikut praktik membuat pie. Saya berkunjung saat tengah hari, berbarengan dengan waktu makan siang, dengan menu berbagai hidangan olahan apel. Daging rusa panggang salut apel, nasi campur potongan kecil apel, sayur jamur apel, jus apel, perkedel apel, wine apel, juga kimchi apel. (f)
Salah satu jenis pohon buah yang banyak ditanam penduduk pedesaan adalah persimmon, sejenis buah persik yang di Indonesia dikenal dengan nama kesemek. Di Korea, dari masa ke masa, persimmon nyaris tak dimanfaatkan sebagai buah segar, melainkan diolah menjadi minuman berfermentasi.
Buah masak yang dipanen sekali dalam setahun itu dibuat jus, diberi campuran ragi tertentu dan difermentasikan di dalam gentong-gentong keramik. Sama seperti membuat kimchi, gentong-gentong berisi jus persimmon ini disimpan sekian lama di dalam ruang dengan suhu sekitar 15 derajat Celsius. Di beberapa tempat, selain menyimpannya di gubuk-gubuk khusus di ladang, masyarakat kerap memanfaatkan gua alam dan gua buatan peninggalan Jepang.
Saya mengunjungi salah satu gua Jepang itu. Gua buatan cantik dengan rel kereta api, yang menembus sekitar satu kilometer ke perut sebuah bukit. Di lorong gua yang ternyata bersuhu sekitar 15 derajat Celsius itu, pemerintah setempat membangun pabrik persimmon wine beberapa tahun silam. Pohon-pohon kesemek ditanam di kebun luas di lembah bukit-bukit sekitar. Gua Jepang yang dindingnya tersusun dari batu gunung itu diberi penerangan memadai dan disulap tak cuma menjadi ruang pabrik, tetapi juga sebagai etalase berbagai produk, bahkan kafe.
Tip
1. Untuk menuju Daegu, ibu kota Gyeongsangbuk-do, dari Bandara Incheon gunakan taksi menuju stasiun kereta api pusat di Seoul. Dari situ Daegu bisa ditempuh dengan kereta api cepat sekitar 3 jam.
2. Angkutan umum di perkotaan dilayani oleh taksi (beroperasi 24 jam), bus kota, dan subway (keduanya beroperasi dari pukul 05.00 hingga tengah malam).
3. Bus kota dan subway menggunakan sistem tiket elektronik yang bisa dibeli di tiap stasiun keberangkatan, baik sistem tiket sekali jalan ataupun tiket untuk beberapa kali perjalanan. Dengan membeli voucher isi ulang plus sejumlah pulsa, kita bisa naik bus kota atau subway di mana pun di dalam kota.
4. Jangan lupa selalu menggenggam peta jaringan transportasi kota. Akses informasi wisata juga mudah diperoleh di tiap stasiun bus ataupun kereta api di seluruh Korsel.
Heryus Saputro (Kontributor - Jakarta)
Foto: dok.pribadi