
Ketika umrah makin diminati, sebenarnya, apa, sih, esensi ibadah umrah itu? “Umrah adalah beribadah ke rumah Allah, Masjidil Haram di Mekah, dan ke Masjid Al-Nabawi, masjid yang didirikan Nabi Muhammad, di Madinah. Hukumnya sunah. Bahkan hanya bagi yang mampu,” jelas Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim.
Menurut Zuhairi Misrawi, tokoh muda NU, umrah juga bisa disebut haji kecil. “Karena yang dilakukan saat umrah sama dengan haji. Hanya berbeda waktu, tata cara, dan hukumnya,” katanya.
Umrah memang bisa dilakukan kapan saja, kecuali tentu pada 9-13 Djulhijah, yaitu tanggal wajib haji. Saat umrah, tidak wajib melakukan beberapa hal yang wajib dilaksanakan saat berhaji, seperti wukuf (berdiam diri untuk berzikir dan berserah diri) di Padang Arafah dan melempar jumrah di Mina. Karena itu, umrah tidak bisa menggantikan haji. Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan umat muslim, terutama yang mampu secara ekonomi, sedangkan umrah adalah sunah Nabi. Namun, hingga kini ada pendapat yang mengatakan bahwa umrah adalah wajib bagi yang mampu.
Apakah umrah sekaligus liburan tidak akan mengurangi esensi umrah itu sendiri? “Harusnya, sih, tidak ya. Sebelum berangkat, jemaah kan sudah diberi pemahaman yang dalam lewat ceramah serta pembekalan pengetahuan, serta nanti harus apa dan bagaimana. Begitu juga dengan doa-doanya,” jelas Komaruddin.
Tapi, meski niat berumrah baik, tentu ada potensi untuk kehilangan substansinya. “Maraknya bisnis umrah kini, jika tidak dikelola dengan benar, jadi menghilangkan esensinya. Tantangannya adalah tidak serius menggarap nilai-nilai dalam perjalanan umrah. Karena seharusnya umrah meningkatkan spiritualisme, etos kerja, hingga kehidupan manusia,” ungkap Zuhairi.
Mengapa hal ini penting? Menurut Zuhairi, inti umrah adalah ritual keagamaan yang bertujuan meningkatkan ibadah untuk mengabdi kepada Tuhan, yang nantinya bisa membuat jemaah menjalani hidup sederhana dengan dimensi vertikal dan horizontal.
Karena itu, umrah biasanya dikaitkan dengan pembelajaran. “Dulu, orang berumrah untuk memperdalam agama. Ada juga yang mengkhatamkan Alquran, ikut pesantren, hingga mendapat siraman pengetahuan serta Islam itu sendiri. Jadi, ketika pulang, jemaah memiliki penghayatan agama dan jadi lebih menghargai toleransi. Yang aneh, di Indonesia, jemaah umrah meningkat, korupsi juga meningkat. Pasti ini ada yang salah,” papar lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, ini.
Sementara, Komaruddin menambahkan, orang berumrah harus dilihat juga dari motivasinya. Karena, tiap orang pasti berbeda. “Ada yang semata karena ritual agama, memperbanyak pahala, minta ampun, bersyukur, hingga haus akan pengetahuan dan agama,” ungkap Komaruddin. Bahkan, ada yang mengagendakan menikah saat di Mekah. “Jika itu tujuannya baik, boleh-boleh saja,” tambahnya.
Yang menarik, banyak orang yang berumrah sampai berkali-kali. Apa sebenarnya yang mereka cari? Adakah efeknya pada kehidupan spiritualnya, mengingat mereka harus mengeluarkan sejumlah uang cukup besar?
“Umrah adalah wisata rohani, jadi itu bukanlah kewajiban. Kalau menurut saya, daripada menghabiskan uang untuk bolak-balik umrah, lebih baik membantu anak yatim, karena umrah adalah untuk diri sendiri. Yang mesti disadari pula, beribadah umrah tak berarti akan mendapat pahala yang lebih besar,” ungkap Zuhairi.
Namun, menurut Komaruddin, bagi orang yang pernah ke sana, secara psikologis memang bisa memberikan efek yang luar biasa. Ada kedamaian, ketenangan, dan kedekatan pada Tuhan. Di sana mereka bisa merenungkan hidup dan mendapatkan pengalaman yang tidak bisa didapat di tanah air. Tidak semata pahala yang ingin mereka dapatkan, tapi pengalamannya yang menciptakan kerinduan. Tentunya ada motif meningkatkan ibadah kepada Allah dan napak tilas Nabi Muhammad. “Intinya, banyak dimensi yang membuat orang ingin kembali dan kembali,” tegas Komaruddin.
(ARGARINI DEVI)