Fiction
Perempuan Penunggu Malam [1]

19 Oct 2011

Aku adalah legenda. Demikian angin mengabarkan cerita. Lewat gemerisik dedaunan dan ranting, mereka bertutur tentang warna hijau yang pudar. Konon, aku mengambil serpihan warna hijau dalam lengkung pelangi. Sebagai serat untuk benang bordiran kebaya. Mereka mungkin lupa. Aku adalah alam. Maka kuciptakan warna dengan sentuhan jemariku. Hijau kudapatkan dari keteduhan dan kesetiaan. Bukankah perempuan ditasbihkan untuk mengabdi? Karena para pentasbih adalah kaum lelaki.

Hujan baru saja dimulai. Aku menyibak vitrase, hingga jendela bebas memaparkan pemandangan luar. Aku paling suka mencium bau tanah basah. Menatap daun yang tertimpa rinai hujan, lalu daun merunduk dan air meluncur jatuh ke tanah. Aku bertopang dagu melemparkan pandang.

Rumahku terletak di ujung desa, satu-satunya jalan menuju kota terdekat. Tak ada yang terlewat dari pandanganku, tentu saja bila aku bertopang dagu di bingkai jendela seperti saat ini. Tetapi, tak semua orang dapat melihatku, tepatnya mereka tak sadar bila aku perhatikan. Karena letak rumahku agak ke atas, tepat di atas bukit kecil. Aku bebas memandang, seakan orang yang lalu-lalang dalam bingkai jendelaku adalah potret yang bergerak.

Lagi pula, tak banyak orang yang tertarik untuk menatap ke jendela rumahku. Kabar yang beredar, rumah tua ini dihuni arwah gentayangan. Perempuan yang tersesat, tak lagi hidup di dunia namun tidak juga masuk ke dunia arwah. Aku.

Orang-orang memang suka berbicara hal-hal yang tak perlu. Tak peduli perempuan atau lelaki. Mereka semua penggunjing. Aku menarik diri dari keramaian. Karena telingaku serupa wadah. Aku hanya mau menampung yang indah-indah. Nyanyian, denting dawai, tiupan angin atau puisi yang disuarakan dengan perasaan. Telingaku semacam labirin, jalan masuk ke dalam benak. Aku tak rela, benakku dipenuhi hal-hal yang tak perlu. Seperti gunjingan orang-orang.

Hujan mulai berhenti. Jalanan basah. Bau tanah meruap. Dari kejauhan tampak delman berjalan tertatih menaiki tanjakan. Kuda tua dan kusir bisu. Aku hafal benar. Telah ribuan kali mereka lalu-lalang di jalanan itu. Kusir bisu itu mengangkut sayur-mayur dan pulang dengan barang-barang yang hanya dapat ditemui di kota. Terkadang ada seorang atau beberapa orang yang menumpang pulang. Tak ada angkutan yang masuk ke desa ini. Hanya mobil omprengan atau delman seperti si kusir bisu. Orang-orang terbiasa dengan hal itu. Jalan kaki merupakan pilihan terbanyak. Hanya beberapa gelintir orang yang memiliki mobil atau sepeda motor.

Kali ini, si kusir bisu dan kuda tua mengangkut seseorang. Hanya seorang, laki-laki. Laki-laki dari kota, bukan penduduk desa ini. Rambutnya yang agak gondrong tersembunyi di balik jaket yang dikatupkan nyaris menutupi wajah. Dia kedinginan. Hari menjelang sore, lindap udara berkelindan. Ujung rambutnya melambai. Hitam pekat. Sepekat bola matanya yang berputaran memandang berkeliling. Sepasang mata sipit, hanya semacam celah. Celah itu justru membuat orang berpikir, tentang tebing yang terjal. Sesuatu yang tak terduga, semacam petualangan.

Aku menggeser tubuhku, menjorok keluar dari bingkai jendela. Belum pernah ada seseorang atau sesuatu yang mampu membuatku bergeser seperti ini. Apa yang membawanya ke sini? Aku mencium aroma lintingan daun yang dibakar. Memabukkan. Angin bertiup kencang. Vitrase melambai ke luar jendela menyerupai selendang peri. Dalam hitungan detik, sepasang mata sipit itu menoleh ke jendela rumahku. Aku terpaku. Dalam hitungan detik, aku tak bergerak. Mata itu mengunci sendi-sendi tubuhku. Lantas aku menarik vitrase sekaligus menarik tubuhku ke balik dinding.

Detik itu aku merasa dadaku berdetak amat cepat. Aku telah lupa rasanya berlari. Tapi, aku tak pernah lupa akibatnya, jantungku berpacu jauh lebih cepat. Lelaki itu berhasil menarikku, berlari belasan kilometer. Derit roda dan tapak kaki kuda makin keras, tanda mereka makin mendekati rumahku. Aku merapatkan tubuh ke dinding. Telingaku bersiaga, pun hidungku. Aku menghirup udara. Bau tanah, kotoran kuda, delman yang lapuk, bercampur bau yang baru kukenali. Bau tubuh lelaki itu.

Tiba-tiba delman itu berhenti. Aku rasa tepat di bingkai jendela, jauh di bawah bukit. Terdengar suara telapak kaki menjejak ke tanah. Si kusir bisu bergumam tak jelas. Tampaknya ada sesuatu yang terjadi dengan delman itu. Namun, tak terdengar lelaki itu beranjak dari bantalan bangku delman. Aku hanya menduga, ia menatap ke bingkai jendela. Mungkin mencari sosokku.

“Ada yang rusak, Pak?”

Suara itu membelah udara. Saat itu aku merasa jam berhenti berdetak. Demikian juga jantungku. Aku mati. Sejenak. Terdengar suara sepatu menjejak tanah. Ringan. Tapi, bertenaga. Aku mematikan keinginanku untuk mengintip.

“Rodanya selip?”

Si kusir bisu berbicara panjang lebar menjelaskan. Percakapan tanpa kata. Hanya lenguhan yang keluar dari bibir kusir bisu. Lelaki itu tak menjawab, aku menduga ia hanya mengangguk-angguk, lalu keduanya bahu-membahu menarik roda selip dari kubangan. Terdengar ringkik kuda dan helaan si kusir bisu. Tak lama terdengar tapak kaki kuda menjauh.

Aku tetap tak beranjak dari balik dinding. Vitrase masih berada dalam pelukanku. Perlahan aku melepaskan peganganku pada vitrase. Angin mengibarkan vitrase, menampar-nampar wajahku. Aku merasa hangat menjalari wajahku. Mungkin pipiku memerah. Dulu, aku pernah merasakan ekstasi macam ini. Perasaan melayang. Dulu. Dulu sekali. Aku tak pandai menghitung waktu. Mungkin aku sengaja mengabaikan waktu, karena pernah suatu kali, waktu memenjarakan perasaanku.

Nama lelaki masa lalu itu Penjara. Nama yang aneh. Ibunya melahirkannya di penjara. Tak terlalu jelas, kenapa ibunya bisa dipenjara. Konon, ibunya pembunuh. Tapi, yang jelas Penjara lahir dan tumbuh di penjara.

Salah kalau orang bilang, lingkungan membentuk kepribadian seseorang. Karena Penjara tumbuh jadi lelaki yang santun. Para penjahat kambuhan dengan sifat licinnya seperti musang tak memengaruhinya. Demikian juga para pembunuh berdarah dingin tidak bikin Penjara bernaluri seorang pembunuh. Penjara juga tak terkontaminasi sifat licik dan penindas para sipir. Seperti aku bilang, Penjara terbebas dari semua pengaruh buruk.

Aku bertemu Penjara, saat ayahku ditahan sebagai pesakitan karena tuduhan penggelapan uang. Saat itu Penjara membersihkan halaman dengan sapu di tangannya. Tangannya kukuh saat mengayunkan lengan. Aku berkhayal ia sebatang pohon yang besar. Aku perdu di bawah naungannya. Sebatang pohon yang baru akan terlihat kokoh kalau berbanding dengan perdu sepertiku. Tak akan ada yang menilainya besar dan kokoh. Tanpa aku.

Matanya mengerling. Sehelai daun tua terbang karena sapuannya. Daun itu melayang jatuh, tepat ke kakiku. Penjara membungkuk dan memungut daun itu, lalu meremasnya perlahan. Saat itu aku baru sadar, laki-laki akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perempuan yang diingininya. Apa saja. Termasuk segala macam kegilaan dan kebodohan. Para perempuan hanya memandang dan menilai. Lalu menerima, atau mencoret, bahkan menendangnya. Aku tidak memilih ketiganya. Karena aku memilih Penjara.


Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008