Trending Topic
Menjawab Tantangan

21 Mar 2014


 
Usaha untuk memperoleh kesejahteraan pada masa ini tentu berbeda dengan beberapa dekade yang lalu. Psikolog dari Universitas Tarumanegara, Roslina Verauli, mengamati, hal ini memengaruhi kondisi psikologis seseorang untuk bekerja lebih keras lagi.
“Terlepas dari masalah pemenuhan aktualisasi diri para wanita, jika dulu mungkin seorang ayah sebagai pencari nafkah tunggal sudah cukup untuk memenuhi kesejahteraan keluarga, sekarang tidak bisa lagi. Ayah dan ibu perlu sama-sama bekerja untuk memperoleh kesejahteraan,” ujar Vera.

Dengan peluang karier yang makin besar untuk para wanita, membuat ruang untuk mengaktualisasikan diri sekaligus mendapat penghasilan yang baik pun menjadi lebih besar. “Pada akhirnya, tantangan bagi wanita masa kini makin besar karena ia harus menjalani tidak hanya satu, tapi double hingga multiple roles, baik sebagai istri, ibu, dan perannya dalam karier. Daftar tugas yang perlu dilakukan tiap hari pun bertambah,” papar Vera.
    
Namun, disadari atau tidak, upaya untuk memacu produktivitas dan mobilitas ini merupakan agenda dari institusi swasta maupun pemerintah untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Menurut Prasetyantoko, di era itu akan ada mobilitas barang, jasa, modal, investasi, dan skilled labour yang bebas. SDM Indonesia akan bersaing langsung dengan SDM dari negara-negara ASEAN lainnya. Jadi, Indonesia memiliki agenda besar untuk meningkatkan produktivitas ekonomi kita secara umum, khususnya produktivitas dalam kompetensi teknis yang lebih baik.
   
Bagi masyarakat urban yang menjadi roda penggerak bisnis dan ekonomi yang berpusat di kota besar, hal ini sangat krusial. Karena, mobilitas masyarakat perkotaan nantinya tidak hanya terbatas di tingkat nasional saja, tapi juga regional. “Tenaga kerja dari Singapura, Malaysia, Thailand, atau negara-negara ASEAN lainnya akan bebas masuk ke pasar SDM di wilayah Indonesia. Jika kita tidak menyiapkan diri, maka kita bisa kalah bersaing dengan mereka yang kemungkinan memiliki kompetensi yang lebih baik,” papar Prasetyantoko.
   
Meski begitu, pengamat ekonomi bisnis ini tetap optimistis. “Ada sekelompok masyarakat urban Indonesia yang mampu bersaing. Ini kesempatan yang luar biasa karena mereka bisa membentuk jaringan sendiri, tak hanya di tingkat domestik, tapi juga regional. Jadi, mereka bisa membuka akses networking yang luas,” katanya, meski ia juga menyayangkan karena kelompok masyarakat yang belum mampu bersaing itu jumlahnya lebih besar.
   
Orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan dan kompetensi yang tinggi akan senang dengan fenomena regionalisasi ini. Tapi, bagi mereka yang tingkat pendidikan maupun kompetensinya tidak terlalu baik, akan sulit menghadapi tantangan ini.
   
Vera menambahkan, selain kesadaran untuk meningkatkan kompetensi dan pendidikan demi menghadapi persaingan, ada hal lain yang memengaruhi ‘kesigapan’ orang untuk menerima tantangan ini. “Tiap orang memiliki values of life yang berbeda-beda. Nilai-nilai ini yang menentukan apa tujuan hidup orang tersebut,” ujarnya.
   
Secara garis besar, values of life ada yang berorientasi kepada diri sendiri, orang lain, dan spiritual. “Ketika values of life seseorang berorientasi kepada diri sendiri, ia akan lebih fokus mencari hal-hal yang memuaskan diri sendiri dan keluarganya. Ia tidak akan terlalu tertarik untuk mengaktualisasikan diri demi berkontribusi terhadap masyarakat atau mati-matian menggembleng kompetensinya demi menghadapi sebuah persaingan,” kata Vera.
   
Berbeda dengan orang yang nilai-nilai hidupnya berkontribusi terhadap masyarakat. Kemungkinan besar, ia akan menganggap era ini sebagai momentum yang tepat untuk mengukirkan karier yang lebih besar dan berkontribusi terhadap perusahaan tempat ia berkarier, atau bahkan negaranya.(f)