
Sejak tersedia untuk publik pada tahun 1963, vaksin anticampak telah mengeliminasi penyakit campak di Amerika Serikat pada tahun 2000. Namun, ketika penelitian seorang dokter asal Inggris, Andrew Wakefield, yang mengatakan bahwa pemberian vaksin MMR dapat menyebabkan autisme, keluar pada tahun 1998, banyak orang tua menolak untuk memberikan vaksin tersebut kepada anak mereka.
Kemudian, seorang jurnalis Sunday Times melakukan liputan investigasi dan berhasil membuktikan bahwa terdapat banyak kecacatan dalam penelitian Wakefield. Akhirnya, jurnal yang memublikasikan penelitian tersebut pun mulai ditarik sejak tahun 2004. Wakefield pun dinyatakan bersalah atas malapraktik dan izin praktiknya dicabut oleh General Medical Council Inggris.
Namun, prasangka, kekhawatiran, dan keraguan terhadap efektivitas vaksin telanjur merebak di tengah masyarakat. Banyak orang tua yang tidak mau memberikan vaksin MMR kepada anak mereka karena takut anaknya akan autis. Peristiwa ini sekaligus menjadi satu fakta bahwa bila dulu rendahnya cakupan imunisasi di suatu daerah dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakatnya, kini hal itu rupanya tak lagi relevan. Saat ini justru banyak kelompok kelas menengah yang lantang menyuarakan gerakan antivaksin.
Menurut dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes., Direktur Surveilans Imunisasi Karantina dan Kesehatan Matra (SIMKARKESMA), Kementerian Kesehatan, aksi penolakan terhadap imunisasi di Indonesia mulai marak sejak tahun 2009. Ia mengamati, isu-isu negatif seputar vaksin yang beredar di masyarakat menjadi alasan utama di balik penolakan terhadap imunisasi.
Isu-isu negatif tersebut antara lain:
- Vaksin berbahaya karena mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti zat-zat kimia, logam berat, dan merkuri, yang dapat menyebabkan autisme, sakit, cacat, atau bahkan kematian.
- Imunisasi tidak bermanfaat karena setelah divaksin tetap bisa sakit.
- Vaksin mengandung lemak babi, dan terbuat dari janin anjing, babi, atau bayi yang sengaja digugurkan.
- Imunisasi merupakan konspirasi Amerika dan Yahudi untuk melemahkan umat Islam.
- Pemberian ASI dan herba dapat menggantikan imunisasi dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi dan anak-anak.
Menurut dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A (K), Seketaris IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Penasihat PROKAMI (Perhimpunan Profesi Kesehatan Muslim Indonesia), dan founder Rumah Vaksinasi, data dari Dinas Kesehatan Sumatera Barat tahun 2013 menunjukkan penurunan cakupan imunisasi, dari 93% menjadi 35%. Penurunan juga terjadi di Lhokseumawe, Aceh. Pada tahun 2013, cakupan imunisasinya turun drastis menjadi hanya 25%. Padahal, tahun sebelumnya mencapai 85%, jelasnya. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, di Sumatra Barat ada 46,9% anak yang tidak diimunisasi lengkap dan 13,4% yang tidak diimunisasi sama sekali.
Mungkin secara angka-angka persentase bayi dan anak yang tidak mendapatkan imunisasi terlihat rendah. Namun, rendahnya cakupan imunisasi ini sebetulnya memprihatinkan. “Namun ini seperti fenomena gunung es. Mungkin yang terlihat di permukaan hanya sedikit. Apalagi banyak kasus penolakan terhadap imunisasi yang makin marak dan jika dibiarkan bisa seperti efek bola salju yang akan terus membesar,” ujar dr. Piprim. (f)