
Meski namanya sering disebut, rasanya belum banyak yang tahu bahwa di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta, ada ’surga’ kuliner khusus makanan peranakan dari Pontianak. Tentunya tak serta-merta muncul. Area yang kerap dinamakan kompleks Panca Warna ini, diawali dengan dibukanya lapak rujak Pontianak oleh salah satu famili dari pemilik biro iklan Panca Warna, sekitar tahun 1978. Walau kini kios rujak tersebut tutup, masih banyak generasi penerus warga Pontianak yang membuka lapak beragam jajanan di sini, antara lain kwe cap, bubur ikan, hingga kue basah.
GURIHNYA NASI CAMPUR

Tak mau ketinggalan, femina ikutan mampir ke kios nasi campur perdana di area ini yang sudah ada sejak akhir tahun 1970-an. Di tempat asalnya, nasi campur ini populer juga dengan nama koi peng (nasi ayam). Walau namanya nasi ayam, di dalam seporsi nasinya juga hadir irisan daging babi yang menjadi inti dari nasi campur.
Selain daging ayam atau daging babi panggang, isian lainnya seperti semur telur, daging babi bumbu merah (char siu), dan lapchiong (sosis babi) serupa dengan nasi campur Medan. Namun, dibandingkan nasi campur Medan, nasi campur Pontianak terasa lebih basah. Karena, setelah semua lauk ditata di atas nasi putih, sebelum disantap nasi disiram dengan kaldu ayam panas yang kental gurih.
Disertai pula sambal cabai yang wajib diaduk dengan nasi sebelum disantap. Dijamin bertambah kelezatannya! Sebagai pelengkap, tersedia kaldu ayam yang disajikan di mangkuk terpisah. Hmm… lezat menggoda!
SIO BIE

Bentuknya pun bukan kotak atau lonjong seperti siomay yang dijajakan keliling pada umumnya, melainkan seperti siomay dim sum. Terbuat dari tepung sagu, daging babi, udang, jamur hioko/shiitake, ebi, bawang bombay, dan bengkuang. Semua bahan dicincang dan diberi bumbu penyedap, lalu dibungkus dengan kulit pangsit yang tipis dan dikukus hingga matang. Bila dibandingkan dengan siomay ikan, teksturnya terasa padat berkat komposisi tepung yang sedikit.
Cocolannya pun beda. Warnanya cokelat gelap karena diracik dari campuran cabai serta tambahan cuka hitam (Chinese black vinegar) yang terbuat dari fermentasi ketan hitam dan gandum. Tersedia pula saus kuning yang rasanya kecut seperti mustard dan encer. Kedua saus ini bisa dicampur bersama atau dihidangkan terpisah.
SATAI KUAH

Potongan daging ayam atau daging sapi yang sudah ditusuk menjadi satai kemudian dilumuri kecap manis, lalu dibakar di atas bara api. Satu porsi berisi potongan ketupat, satai ayam atau satai sapi bumbu kacang, acar mentimun, dan daun bawang. Siram kuah hangatnya sesaat sebelum disantap.
Legit, kental, dan gurihnya bumbu kacang menyeimbangkan kaldu sapi yang cenderung enteng di lidah. Alhasil, satai bermandikan saus yang tak begitu kental. Tambahkan air jeruk lemon cui dan sambal yang pedasnya cukup menggelitik lidah. Ah, sedap!
BUBUR IKAN

Tiap hari, Sen turun tangan menanak nasi. Saat ada yang memesan, nasi direbus hingga agak membengkak seperti bubur setengah jadi, setelah itu baru ditata di dalam mangkuk saji. Ditambahkan daging ikan kakap putih yang sudah diiris, lettuce, irisan daging babi berbumbu kecap manis, daun seledri, tongcai (lobak iris yang diasinkan), dan minyak bawang putih. Saat akan disantap, disiram kaldu yang gurih.
Meski femina tidak terbiasa dengan konsep bubur seperti ini, rasanya cukup enak dan bisa diterima lidah. Ringan dan aroma ikannya tidak tercium sama sekali. Wangi bawang putih di kaldu bercampur dengan aroma gurih khas tongcai. Sederhana, tapi unik!
NASI KARI 33

Tertarik? Pesan saja dari kios Nasi Kari 33 di depan bubur ikan Pontianak. Nasi kari ala Pontianak ini lebih banyak isinya. Satu piring dijamin kenyang, karena tak hanya berlimpah nasi, tapi juga penuh dengan varian lauk yang sedap. Di antaranya, udang bumbu kuning bercita rasa manis, daging babi kecap, semur telur, dan semur ayam. Lengkap dengan tambahan gulai sayuran yang terdiri dari kacang panjang, mentimun, terung, dan kentang.
Dijamin tiap suapannya bakal memanjakan lidah. Untuk yang suka pedas, tambahkan sambal terasi. Atau yang suka asam, bisa menyantapnya dengan acar kuning. Mantap!
SEDAPNYA KWE CAP

Kwe cap tak lain adalah potongan kwetiau atau mi lebar yang terbuat dari tepung beras, lalu disiram kuah dari kaldu tulang babi dan minyak babi. Ditambah lembaran kulit babi goreng kering (seperti rambak) yang sudah direbus dan bawang putih goreng. Tekstur kwetiaunya lebih lembek dibanding kwetiau pada umumnya karena proses perebusan yang lama. Ada pula beberapa yang hancur saat disantap.
Ketika diaduk, kuah akan sedikit mengental dan berwarna keruh keputihan. Bisa juga disantap dengan tambahan bakso tahu. Rasanya enak kala disantap selagi panas. Femina sendiri senang menambahkan air jeruk lemon cui, kecap ikan, sambal dan lada ke dalam kuahnya. Rasanya menjadi asin, kecut, dan pedas. Menyantapnya pun sambil keringatan karena panas dan pedas. Terbayang kan kelezatannya?
Untuk melayani pelanggan, pemilik kios, Viriani, akrab disapa Vivi, beraksi sendiri bersama satu asisten. Mereka jeli melayani pesanan orang dan gesit membungkus pesanan dari pelanggan lainnya. Tak sedikit orang yang datang untuk membawa pulang beberapa bungkus porsi kwe cap racikannya, ‘warisan’ dari sang ayah, Tjin Mei Khim.
BAKMI AHOK

Sebelum membuka bisnisnya, Hok bekerja sebagai karyawan di salah satu toko bakmi di Jalan Mangga Besar. Setelah banyak belajar, Hok memutuskan untuk berbisnis mi dengan gaya bakmi kepiting khas kampung halamannya, Pontianak.
“Tak bisa dipungkiri memang, karena Pontianak terkenal akan hasil laut yang melimpah, salah satunya kepiting ini,” cerita Pue, istri Hok.
Menurut Pue, soal pembuatan mi sebetulnya tak beda dengan pembuatan mi secara umum. Bakmi dari tepung terigu direbus dan dibumbui dengan kecap asin dan minyak bawang. Bedanya ada pada topping, yang terdiri dari kepiting kecil, bakso ikan, bakso ikan goreng, fish cake, kekian (fish cake dari udang), irisan daging babi berbumbu kecap, dan pangsit goreng. Semuanya dibuat sendiri tiap hari. Tingkat keasinan kuah pendampingnya pas di lidah. Untuk memperkaya rasa, femina memberi merica bubuk, sambal rawit, dan air jeruk limau.
PENGKANG DAN CHOI PAN

Serupa dengan lemper di Pulau Jawa, penganan ini diracik dari beras ketan yang dikukus, diisi ebi tumis, lalu dibungkus menggunakan daun pisang. Bedanya, kalau lemper berbentuk persegi panjang, pengkang tampil beda dengan bentuk segitiga dan dijepit dengan potongan kayu bambu, lalu dibakar di atas bara api. Ada dua bungkus segitiga dalam satu jepitan dan harus dibeli sekaligus.
Sejatinya, menyantap pengkang paling pas dicocol ke sambal kepah, yakni sambal dari kerang yang banyak hidup di hutan mangrove dekat pantai di sekitar Pontianak. Sayang, di sini tidak tersedia. Namun, gurihnya ketan tetap membuat femina sulit berhenti membuka lembar demi lembar daun pelapis pengkang ini.
Tak puas hanya dengan pengkang, femina mencicipi choi pan goreng. Jajanan khas Singkawang, Kalimantan Barat, yang sudah mulai langka di Jakarta. Biasanya lebih banyak ditemukan dalam versi kukus. Itu pun hanya di daerah pecinan seperti Jalan Pademangan, Mangga Besar, dan Jembatan Lima.
Sama seperti versi kukus, versi goreng juga seperti kue pastel hanya lebih pipih dan berbentuk bulat. Isinya bervariasi, dari kacang hijau kupas, bengkuang, talas, hingga kucai, yang dibalut kulit dari tepung beras. Dengan sedikit minyak, choi pan pesanan femina langsung digoreng di atas wajan datar besar. Setelah kecokelatan luarnya, atasnya diberikan bawang putih cincang goreng. Teksturnya renyah di bagian luar, namun tetap lembut di bagian dalam.
KUE HINGGA BAHAN SEGAR

Di sisi kiri berandanya ada gerobak berukuran besar yang memajang macam-macam kue basah dan kering khas Pontianak. Dari sla beng ke (ketan sarikaya, rasanya manis gurih), kue ladu (dodol bertekstur kasar dari tepung ketan yang dihancurkan), hingga tart susu (mirip pie dengan isi custard agak padat).
Femina tertarik mencicipi tai su, yakni bola ubi ungu cincang yang dicampur kelapa parut. Tak begitu jelas, karena bola-bola ini bermandikan santan berwarna ungu muda dari ubi. Bola ubinya pun padat. Walau empuk digigit, rasanya tidak selegit bola ubi pada biji salak. Beda pula dengan bola ubi yang ada di dessert Taiwan biasanya.
Kalau masih belum puas, masuk lagi ke bagian dalam toko kelontongnya. Di dalam terlihat seperti supermarket rumahan dengan etalase di tiap sisinya. Dari kecap, daun teh, hingga terasi rebon, hadir di sini. Rata-rata barangnya adalah produksi Pontianak dan Malaysia. Dekat meja kasir juga terlihat berbagai jenis bakso, tahu, hekeng (lumpia udang) yang belum digoreng, hingga kwetiau basah. Semua berasal dari Pontianak dan sudah dibungkus plastik sesuai porsi masing-masing.
CICIPI JUGA!
- Tau suan: Bubur dari kacang hijau kupas, kuah manisnya dikentalkan dengan tepung kanji. Disantap dengan cakwe goreng. Hadir di kios Kwe Cap Sisi.
- Pisang goreng Kalimantan: Pisang goreng dengan tekstur balutan tepung yang renyah berpasir. Manis, legit, dan gurih. Hadir di sepanjang Jalan Pangeran Jayakarta, salah satunya di sebelah kiri Toko Aliang.
- Serba minuman: Selain pisang, di sebelah kanan Toko Aliang juga hadir gerobak kecil bernama Anguan, lengkap dengan bungkusan plastik yang bergantungan. Antara lain berisi lek tao ko (jus kacang hijau), es 12 macam dengan isi manisan pepaya, manisan kolang-kaling, hingga sago pudding.
- Sonkit: Minuman dari perasan jeruk lemon cui (kietna) dan gula. Hadir di kios choi pan.