
Satu hal yang menarik berbincang dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (52), yang biasa dipanggil Risma adalah air mukanya yang tenang. Sulit sekali menangkap ekspresi dari wajahnya yang polos tanpa make up itu. Pilihan kata-katanya juga hati-hati ketika bicara tentang alasan yang mendasari niatnya untuk mundur sebagai wali kota waktu itu. Benarkah ada tekanan politik?
Waktu itu tekanan untuk mundur sebesar apa?
Sebetulnya bukan tekanan, tetapi prinsip. Saya hanya ngomong tentang (hal) yang benar itu, ini lho…. Ternyata, kok, jadi berkembang enggak keruan. Begini, saya dididik orang tua, pengalaman di birokrasi sejak masa Orde Baru hingga sekarang, yang saya pahami adalah tidak boleh merugikan masyarakat. Kalau berbuat sesuatu yang merugikan masyarakat, ya, enggak boleh. Ini yang saya pahami, Ternyata ini tidak cukup. Karena itu, prinsip saya, kalau saya tidak bisa mengikuti, ya, sudah, saya lepas.
Boleh tahu, yang tidak sesuai dengan prinsip Ibu itu sebenarnya apa?
Ya, saya cuma ngomong kebenaran sajalah, ha…ha…ha…. (Hal yang disebut-sebut membuat Risma berniat mundur adalah ia tidak sepakat dengan proses pemilihan wakil wali kota Surabaya yang ia nilai tidak sesuai dengan peraturan – Red.)
Lalu, bagaimana akhirnya Ibu keluar dari masalah itu?
Sebetulnya itu (ada) tangan Tuhan (bekerja) melalui tokoh-tokoh yang membuat saya bisa bertahan. Tuhan menurunkan beliau-beliau untuk melindungi saya.
Siapakah sajakah mereka?
Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, partai politik yang mengusung Risma sebagai wali kota -Red). Kalau tidak ada dukungan Ibu Mega, karena itu bertentangan dengan prinsip saya, akan saya lepas. Ibu Mega mengeluarkan surat keputusan untuk mendukung saya, dan ini baru pertama kali terjadi. Saya bercerita kepada Ibu Mega, apa saja yang sudah saya lakukan selama ini, dan beliau mengatakan, bahwa beliau juga mencari sosok pemimpin yang seperti itu, memikirkan rakyat. Selain Ibu Mega, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan dukungan.
Bila ada tokoh yang melindungi Ibu, apakah kompetensi dan kinerja saja tidak cukup buat seorang pemimpin?
Ya, ternyata memang tidak cukup, ya. Itu mungkin kekurangan saya, saya tidak siap di kondisi yang berbeda dengan yang selama ini saya anut. Mungkin kalau yang lain siap, tapi kalau saya ternyata tidak siap.
Dalam pandangan Ibu, pemimpin itu seperti apa?
Untuk pemimpin --di mana nasib banyak orang bergantung padanya-- saya selalu ngomong, (jabatan) itu harus dari Tuhan. Kita tidak boleh memintanya. Karena itu, saya tidak pernah mau untuk minta (jabatan). Bukannya sombong, tapi ini prinsip yang saya pegang. Saya ini orangnya kaku, keras. Kalau memang melihat satu hal enggak bener, ya, saya bilang enggak bener. Dan itu sudah prinsip.
Apa pelajaran dari peristiwa itu?
Saya melihat, apa yang saya yakini selama ini bahwa (jabatan) sebagai pemimpin itu tidak boleh diminta, itu sangat benar. Karena saat itu semua orang ngomong kalau saya akan diberhentikan… diberhentikan untuk kedua kali, ha… ha... ha… (dulu Risma memang pernah hendak diturunkan oleh DPRD lewat hak angket), ternyata kan tidak.
Sepanjang karier, kompromi terbesar Ibu?
Kompromi buat saya adalah menghormati satu sama lain. Misalnya dengan DPR, saya menghormati. Artinya, kalau program itu memang untuk masayarakat, saya tidak keberatan. Tapi, kalau enggak, tidak bisa. Saya tidak boleh sewenang-wenang, memaksakan kehendak. Kita harus saling menghormati dengan dasar peraturan, karena aturan dibuat supaya tidak ada pihak lain yang dirugikan.
Tantangan paling sulit menjadi pemimpin?
Seorang pemimpin itu harus adil, tidak boleh membeda-bedakan antara si hitam dengan si putih, si kaya dengan si miskin, si pendek dengan si tinggi. Dan itu membutuhkan pemikiran yang clear. Inilah yang paling susah dilakukan. Kadang-kadang, saya sampai minta tolong ke kepala dinas untuk memutuskan. Misalkan, ada tetangga atau saudara saya yang membutuhkan rumah susun. Kalau disurvei kondisinya, mereka memang layak menerima fasilitas itu. Tapi, saya tidak enak ngomong-nya. Saya takut dituduh KKN. Untuk hal-hal seperti ini, saya sampai minta tolong kepada kepala dinas.
Ibu percaya tangan Tuhan bisa bekerja lewat tokoh-tokoh. Kalau suatu saat Ibu diminta untuk memerintah di lingkup yang lebih luas?
Tidak. Saya tetap percaya bahwa pimpinan itu dari Tuhan. Dulu, ketika diminta untuk maju jadi wali kota, saya tolak. Betul. Tapi, teman-teman meyakinkan saya untuk maju. Ya, sudah, saya jalan. Kemudian, waduh ribut, karena saya tidak mau difoto, tidak mau kampanye karena saya memang tidak mau mengambil jam kerja saya waktu itu. Ribet pokoknya. Makanya saya bilang, kalau Tuhan memang menjadikan saya, ya, jadilah saya. Jadi, seperti itu prinsip saya.
Kalau tawarannya memimpin Jakarta?
Enggak, saya enggak mau. Surabaya saja susah, apalagi Jakarta. Jakarta ini ribut terus, orang di sini tenang-tenang, kok. (Yoseptin Pratiwi)