
“Aku tahu, cinta selalu baru, tak ada yang bekas. Mana ada bekas cinta?” mereka tertawa. Untuk pertama kali sejak vonis dijatuhkan, mereka bisa tertawa seolah dunia ini baru.
Daun-daun dan ranting menggigil kedinginan. Juga bangunan rumah mungil di ujung jalan itu. Seluruh atapnya putih tertutup bebutiran salju yang meluncur dari langit. Agak menyamping, menyembul cerobong asap seperti stick wafer tertancap di dalam mangkuk es krim vanilla.
Dari luar bangunan itu tampak gelap, hitam terpantul dari kaca-kaca jendela. Lebih mirip rumah tanpa penghuni, meski sebenarnya di dalam sana tengah berlangsung upacara kecil namun syahdu dan sendu. Menguar wangi Desember yang basah, menyusup di celah-celah pintu dan jendela.
Lilin berbentuk angka 37 itu menyala diiring suara serak seorang lelaki yang menyenandungkan lagu Happy Birthday. Tiga puluh tujuh tangkai mawar maroon terangkai indah di dalam vas kristal berhias pita dan tulle merah pula. Sangat anggun, mencipta maharomansa. Tiga puluh tujuh buku tertumpuk di sebelah rangkaian mawar. Buku-buku terpilih, mulai dari novel, antropologi, psikologi, filsafat, sastra, dan kumpulan puisi. Benda-benda kesayangan, pemersatu bagi keduanya. Diletakkan untuk menjadi saksi perayaan kelahiran bagi wanita ramping dan langsat itu.
Lalu mereka duduk berseberangan menatap nyala lilin yang berkelebat-kelebat kecil. Memendarkan cahaya keemasan seakan memberi semangat pada seseorang yang telah menyalakannya. Tubuh lilin itu mulai terbakar pada ujungnya di dekat sumbu, ada lelehan kecil, seolah lilin itu tahu nyalanya berguna untuk menerangi kegelapan ruang segelap hati wanita yang telah membakar sumbunya.
Suara serak senandung limbung dari lelaki itu sudah terhenti. Di seberang duduknya tampak dua galur air mengalir dari dua danau bening di balik kacamata wanita yang dicintainya. Serta-merta lelaki itu berdiri, mengambil saputangan dari saku celana dan menyeka air matanya.
“Aku tahu perasaanmu, Cunda.”
Mendengar suara itu, air matanya makin menderas. “Mari berharap yang terbaik. Malam ini kau memulai langkahmu memasuki tahun ke-37 di dunia. Nikmatilah!” lelaki itu terus membujuk. “Jangan pikirkan macam-macam. Ich liebe dich, schönstes licht.” (bahasa Jerman, artinya: aku mencintaimu, cahaya terindah)
Lalu dia bangkit, menyalakan lampu dan perapian sehingga ruangan menjadi hangat. Isak tangis tertahan masih dia dengar saat duduk menyebelahi sang terkasih.
Kembali disekanya air mata itu, dan dia bisikkan syair-syair Angelus Silesius, salah satu pujangga Jerman kesayangan istrinya, selain Klopstock, Rückert dan Hölderlin yang kerap mereka bincangkan di meja makan atau di ranjang sebelum tidur. Lelaki itu berharap, syair yang ia bisikkan sedikit mengangkat beban dukanya.
Aku ingin mencintaimu, kekuatanku
Aku ingin mencintaimu, perhiasanku
Aku ingin mencintaimu dengan perbuatan
Dan hasrat yang terus menerus tak putus
Kuingin mencintaimu, cahaya terindah
Sampai hatiku patah
Lalu dikecupnya kening Cundamanik, si perempuan tercinta.
“Tiga puluh tujuh tahun aku di dunia ini. Ada tahun-tahun di antaranya aku lalui bersamamu. Mmm… lima tahun usia perkawinan kita, Prajna, apakah kau bahagia? Apakah kau suka dengan pendampinganku?” tanya Cunda pelan, sambil menyambut genggaman tangan Prajna.
“Bagaimana aku harus mengatakan? Tidakkah kau melihat kita telah melaluinya selama eemm… memang baru lima tahun, tetapi….”
“Sekalipun aku belum memberimu anak? Bahkan selamanya tak akan memberimu anak seorang pun?”
Mata Prajna memandangi api kecil dan tubuh lilin yang mulai kehilangan separuh, dan lelehannya telah mengaliri tart yang penuh serutan cokelat. Ia mendesah.
“Tiup lilinnya, Sayangku,” dialihkannya pembicaraan.
“Tidak, aku ingin mengajakmu melihat nyala itu mati perlahan-lahan, seperti diriku yang akan mati.”
“Kalau kau ingin mengajakku melihat lilin itu mati perlahan-lahan, tak apa. Tetapi, ketika kau berkata tentang yang terakhir, aku tak suka.”
“Kenyataannya demikian kan, Prajna?”
“Bukan hal menyenangkan ketika kita merayakan hari kelahiran tetapi yang kita bicarakan adalah kematian. Keputusan dokter itu bukan akhir dari segala-galanya, Cunda.” Ada desah napas dari keduanya. Salju makin menebal di pekarangan. Dari balik jendela butiran-butiran itu seolah berlomba adu cepat turun ke bumi serupa penerjun yang selekasnya ingin mendarat.
Cunda memaku tatap pada lilin yang nyaris mencapai batas nyala. Di matanya terbayang kesepian yang dalam. Rahimnya telah mengkhianati kewanitaannya yang berimbas pada kebahagiaannya. Rahimnya tidak bisa dihuni makhluk kecil buah cinta hingga matang. Tiga kali harus mengalami kegagalan menghidupi benih yang tertanam di tubuhnya. Ketiganya hanya sanggup hidup tak lebih dari lima bulan di dalam rahimnya. Bahkan, dua hari sebelum perayaan ulang tahunnya malam itu, dokter telah menjatuhkan vonis ‘angkat rahim atau nyawamu yang akan terangkat’. Ketika mendengar vonis itu, dunia terasa kiamat bagi Cundamanik.
Kini nyala lilin itu tinggal setitik kecil. Tangan Prajna meraih tubuh Cunda. Tepat nyala itu hilang, ia berucap: “Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga panjang umur.”
Cunda merebahkan kepalanya pada suami yang mulai ia ragukan cinta dan kesetiaannya. Bukan tak mungkin Prajna akan mencari pelengkap kebahagiaan lain, ia terus membatin. Ia tak percaya ada lelaki sebaik Prajna, yang tetap mencintainya tatkala ia tak sanggup berikan apa yang seharusnya diterima Prajna sebagai suami.
“Jika ada seorang lelaki yang demikian baik, bahkan terlalu baik, ia pantas dicurigai.” Demikian kesimpulan yang dulu sekali pernah ia buat bersama gank-nya semasa kuliah. Dan kini, yang mendekapnya mesra malam ini adalah lelaki mahabaik. Adakah kesimpulan itu berlaku untuknya? Untuk suaminya? Cunda gelisah luar biasa.
Prajna mengusap-usap punggung Cunda, lalu ia lepaskan peluk itu, dan diambilnya sebentuk jepit rambut perak berhias permata kecil-kecil berkelip meniru bintang-bintang di langit.
“Kuharap kau suka, Cunda.”
“Danke, Prajna. Terima kasih.” Didekapnya sekali lagi tubuh rapuh Cunda dan ia berbisik di telinganya:
“Engkau bayangan di waktu siang
dan sinar di waktu malam
kau hidup dalam ratapku
dan tak meninggal dalam sukma"
Mendengar syair yang dikidungkan suaminya, Cunda menggigil dalam tangis. Ia tahu, itu syair Friedrich Rückert dalam kumpulan Dendang Kematian Anak. Tangannya meraba perutnya. Lusa, rahim yang ada di dalamnya akan diangkat dan selamanya rahim itu akan mendendangkan kematian anak.
“Kuharap kau tak salah sangka ketika kusyairkan Rückert, sebab aku hanya ingin mengatakan bahwa tiga kali anak kita gagal hidup, sesungguhnya ia tak pernah mati. Tak sekali pun mati dalam sukmaku. Dalam hidup perkawinan kita.” Dikecupnya kening Cunda, lalu berkata:
“Potong kuenya, Cunda!” Prajna terus berusaha memperbaiki malam yang rusak. Malam yang seharusnya dipakai berpesta itu, nyatanya terlewat dengan kemurungan Cunda. Melihat Cunda bergeming, Prajna mengambil inisiatif meraih tangan Cunda dan membawanya memotong-motong bangunan indah tart cokelat.
“Rasanya hatiku turut terpotong-potong, Prajna.”
“Bukan, bukan itu maksudnya. Anggaplah tart itu adalah simbol untuk mengumpamakan hidup. Sehingga, setiap merayakan tahun kehidupan di dunia, tart, atau tumpeng menjadi penanda. Dan pasti ada prosesi pemotongan, itu gambaran bahwa hidup harus kita nikmati sepotong demi sepotong, semenit demi semenit, sejam demi sejam hingga setahun demi setahun. Anugerah, Cunda. Itu semua adalah anugerah.” Berkata begitu, Prajna mengarahkan sepotong kecil tart di ujung garpu mungil. “Nikmatilah!”
Cunda menatap mata suaminya, membuka mulut dan merasai tart cokelat itu lumat di lidahnya.
“Terima kasih, Prajna. Kau selalu pintar menenangkan aku, membujuk aku.”
“Bagaimana mungkin tak kulakukan itu, Cunda. Pada masa-masa susah, pada tahun-tahun sulit, kau telah tunjukkan pendampinganmu padaku. Kau temani ketika aku tengah berjuang.”
“Itu sudah keharusanku sebagai istri, Prajna. Aku harus mendukung suami.”
“Menghiburmu, dan membujuk serta menenangkanmu pun keharusanku sebagai suami. Belajar di negeri orang sangat berat, Cunda. Kita jauh dari tanah air, dari kampung halaman, dan jauh dari orang-orang yang telah mengasuh dan membesarkan kita. Jauh dari sahabat-sahabat kita. Itu berat, Cunda. Dan hanya kau yang aku punya. Hanya kau yang selalu di dekatku. Kau ingat pertama-tama saat kita tinggal di sini, di Jerman ini? Yang kau katakan negeri yang banyak melahirkan filsuf? Tidak mudah, ‘kan? Tetapi, semua tertanggungkan hingga sekarang, karena apa? Karena cinta, ‘kan?”
Cunda mengangguk, sambil memotong tart-nya dengan garpu dan memberikannya pada suaminya. Dan tart itu langsung amblas dalam gua hidup di bawah hidung Prajna. Dan mereka terus bergantian menyuapkan potongan-potongan tart sambil terus mengenang dan merancang hari, merenda harapan.
*****
Satu tahun pertama pernikahan mereka terlewat di Yogya, di sebuah kampung sibuk, di dekat Stasiun Lempuyangan. Lalu tahun berikutnya mereka pindah ke Muenchen karena Prajna mendapatkan beasiswa.
Cunda menemani suaminya melanjutkan studi S-3 sastra dan budaya di sebuah universitas di Muenchen. Hidup dengan sangat-sangat sederhana. Penghasilannya ketika mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak usia sekolah dasar di kompleksnya relatif kecil dibanding harga-harga barang di swalayan dan plaza. Sekerat roti pertama yang ia beli dari penghasilannya, ia doakan, ia syukuri semoga ia masih merasai dan menjadikan semangat untuk melalui hari-hari di lain negeri
mendampingi sang suami.
Rumah yang mereka tempati adalah bangunan kecil milik warga Jerman kenalan Prajna di Yogya. Ia menawarkan rumah itu ketika tahu Prajna mendapat beasiswa di negerinya. Bahkan rumah itu masih boleh ditempati ketika Prajna diminta untuk mengajar di almamaternya setahun lalu.
Mulanya tak ada apa-apa di rumah itu selain ranjang dan lemari kecil. Sebuah kompor dan panci serta penggorengan. Ada pan untuk membakar roti, tetapi rupanya sudah karatan dan sulit digunakan lagi. Sehingga mereka harus mencari barang-barang kebutuhan untuk penunjang hidup. Untuk belanja di supermarket jelas tak mungkin, sehingga mereka pergi ke flohmarkt-troedelmarkt, pasar loak yang ada di koenigsstrasse (jalan Raja) di Kota Stuttgart, dan mencari barang-barang bekas tetapi kondisinya masih layak digunakan.
Jika akhir pekan tiba, ketika banyak pasangan melewatkan waktu di tempat-tempat hiburan atau menonton opera di malam hari, mereka cukup melewatkan waktu mengunjungi museum dan duduk-duduk di taman kota menyaksikan orang-orang bermain catur raksasa. Karena, di kantong mereka tak ada uang untuk bersenang-senang dan merayakan liburan.
Di kota sedemikian besar itu, mereka harus berjuang dan bertahan. Menghadapi berbagai tantangan ketika berada jauh dari keluarga dan tanah airnya. Hanya langit, bintang, dan bulan yang menjadi penyambung kerinduannya pada kampung halaman. Sebab, langit, bintang, dan bulan itu adalah benda-benda yang sama, yang dulu sering mereka pandangi kala berpacaran di beranda.
“Kau melamun, Cunda?” Prajna menyentuh pipinya.
“Tidak, aku sedang mengenang saat-saat pertama kita.”
“Terbukti cinta telah menyanggupkan, Cunda. Memungkinkan segala yang tak mungkin. Membuat bertahan setiap apa yang rasanya tak tertahankan. Kurasa kesulitan-kesulitan ketika kita hidup di negeri orang, akan makin menguatkan kita,” kata Prajna, sambil menuntaskan tart-nya yang terakhir.
“Mari kita lihat, apakah cinta kita akan sanggup membuat kita bertahan ketika rahimku harus diangkat lusa ini, ketika selamanya aku tak akan bisa mempersembahkan seorang anak pun kepadamu selain daripada hati dan hidupku.”
Prajna bungkam. Napasnya jelas-jelas menjadi sedikit berat.
Tidak munafik bahwa ia menginginkan kehadiran buah cinta mereka, belum lagi ia harus berhadapan dengan keluarganya, ayah dan ibunya di Yogya, yang menghendaki cucu darinya. Tetapi, apakah ketidaksanggupan rahim Cunda untuk menampung pertumbuhan makhluk kecil darah dagingnya bisa menjadi alasan untuk meninggalkannya, sekalipun hatinya masih cinta? Itu tak mungkin! Prajna bukan laki-laki egois. Prajna adalah laki-laki yang terus belajar mengerti bahwa kebahagiaan sangat tergantung pada kemauan. Termasuk kemauan untuk mengangkat dan menopang rasa percaya diri istrinya yang ambruk gara-gara rahimnya berkhianat, agar ia tetap berbahagia.
“Sudah kukatakan pendapatku melalui syair Rückert tentang anak-anak kita. Atau jika kau takut kesepian di hari tua, dan jika kau mau, kita adopsi anak,” ucap Prajna akhirnya.
“Anak? Bukan dari benihmu dan benihku?”
“Apa maksudmu, Cunda? Jelas-jelas kau akan kehilangan rahim! Jadi jelas kita ke panti asuhan dan mengambil salah satu atau dua anak dari sana! Dan itu akan kita lakukan jika kita sudah ada di tanah air nanti, bukan sekarang. Kita masih belum sanggup untuk hidup di negeri persinggahan! Tahun depan aku tidak lagi mengajar di sini. Kita pulang, Cunda. Dan kita bisa mengadopsi anak.”
Cunda bungkam, hatinya belum siap untuk itu dan terbayang pun tidak. Prajna menunggu. Tetapi, pembicaraan tentang anak dan adopsi tak terangkat lagi hingga jam dinding berdentang sebelas kali. Dan mereka menikmati makan malam perayaan ulang tahun Cundamanik. Sebuah awalan tahun yang menggigilkan hatinya. Rahim yang ada di dalam tubuhnya, akan diangkat secepatnya karena ternyata di dalamnya menyimpan benih kanker yang tidak memungkinkan untuk pertumbuhan janin, bahkan tidak memungkinkan untuk dipertahankan tetap berada dalam tubuhnya. Sebab, jika tetap di sana, maka rahim itu akan membawa Cunda pada kematian.
***
Rembulan di Atas Pekarangan
Cunda terus mengamati lukisan itu. Purnama, serupa piringan merah jingga menyala di antara kegelapan langit. Di atas pekarangan sebuah rumah mungil, di antara pepohonan pinus dengan bunga-bunga cokelatnya berserak di tanah. Seperti rumah-rumah di pedesaan lereng Gunung Lawu sebelah timur Kota Solo, Cunda membatin.
“Untuk menyambutmu usai operasi sengaja kubeli lukisan ini, Cunda. Sehingga ketika kau siuman, pertama kali yang kaulihat adalah aku dan lukisan ini. Dan itu terjadi.” Prajna membungkuk, mencium kening Cunda. “Lekas pulih, Sayang!”
Sekilas Cunda membaca yang tertulis di pojok kanan bawah, sebuah nama tak begitu jelas tertera di bawahnya.
“Seandainya kau menjadi pelukisnya, akan kau namai apa lukisan ini?”
“Mmm… mungkin Kidung Rembulan? Atau… Roh Malam?”
“Ah… Roh Malam lebih misterius,” kata Prajna, sambil tersenyum simpul. “Tetapi, apa pendapatmu jika aku menamainya Rembulan di Atas Pekarangan?”
“Oww.. nama yang bagus!” komentar Cunda spontan, menyetujui judul lukisan. Maka, sejak hari itu, mereka mendandani lukisan itu dengan judul yang sudah mereka sepakati bersama. Begitu kebiasaan mereka berdua, ketika membeli lukisan tetapi tidak mengetahui judulnya, mereka akan mencari dan menamai seperti mereka memberi nama anak-anaknya.
Ketika Cunda dalam pemulihan pascaoperasi, mereka lebih banyak tinggal di rumah. Seperti pada suatu sore bersalju itu, mereka menikmati kopi panas di ruang tengah, di dekat perapian kecil namun cukup memberi kehangatan.
Tiba-tiba Prajna bertanya, “Apa pendapatmu tentang lukisan itu, Cunda?” Telunjuk Prajna mengarah pada dinding sisi utara.
“Lukisan yang jauh dari bagus.” Prajna tidak kecewa mendengar komentar istrinya. Sejenak mereka bersipandang.
“Tetapi, aku menghargainya, dan berterima kasih karena kau membelinya, khusus untuk menyambut hidupku yang baru, hidup seorang perempuan tanpa rahim.”
“Tanpa rahim pun, kau tetap Cunda yang kucinta,” kata Prajna, sambil menatap Cunda, lalu beralih pada lukisan rembulan itu.
Cunda tak mengada-ada. Memang lukisan itu terlalu biasa penggarapannya. Jelas itu sangat jauh dari selera Prajna, si pencinta lukisan yang tahu kualitas sapuan kuas. Didukung dengan perasaannya yang halus, yang terasah dari disiplin ilmunya.
“Pelukisnya dari negeri kita?”
Prajna mengangguk. “Yah! Sengaja kupilih itu. Produk sebangsa, Memang tak begitu bagus, Cunda, tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa kau tetap seperti rembulan di atas pekarangan hatiku, sekalipun padamu tak lagi ada rahim.”
Perempuan mana yang tak akan memberi sepenuh cinta kepada lelaki seperti Prajna yang telah membuatnya jatuh hati setiap hari, yang memberinya kejutan setiap saat.
“Di mana kau mendapatkannya?”
“Di pasar loak, sehari sebelum kamu keluar dari kamar operasi. Sekalipun sekarang kita sudah ada uang untuk membeli di galeri, rasanya membeli di pasar loak lebih berseni. Bukan berarti aku selalu memberimu yang bekas-bekas…,” kata Prajna, tertawa. Seolah tahu dan sanggup membaca pikiran Cunda yang makin sensitif sejak vonis pengangkatan rahimnya.
“Aku tahu, cinta selalu baru, tak ada yang bekas. Mana ada bekas cinta?” Mereka tertawa. Untuk pertama kali sejak vonis dijatuhkan, mereka bisa tertawa seolah dunia ini baru. Bukan dunia yang kemarin mereka tinggali.
Baik Cunda maupun Prajna sama-sama menyukai lukisan yang kini koleksinya sudah nyaris memenuhi ruang tengah sekaligus ruang baca. Di antara rak yang menampung ribuan buku. Tempat itu rasanya makin sempit saja karena makin hari makin tergusur oleh eksemplar-eksemplar yang keluar dari tas mereka berdua sepulang dari jalan-jalan. Tentu saja, dari tumpukan-tumpukan itu, lebih banyak buku-buku yang dibeli di pasar loak.
Dan, pada hari-hari yang akan datang, buku-buku dan berbagai lukisan itu yang akan membuat Cunda dan Prajna sanggup mengatasi sepi dan melangut. Sesekali mengundang rekan untuk makan malam lalu berdiskusi tentang berbagai hal. Atau memutar film bersama atau minum teh pada jelang senja. Dan hari-hari mereka berlangsung sehingga mereka mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa tak akan ada anak yang lahir dari Cunda.
Penulis: Indah Darmastuti
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2010