Fiction
Bunga Desa [4]

6 Sep 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Bagian IV (Tamat)
Kisah Sebelumnya:
Ranti adalah seorang aktivis LSM yang membela petani untuk tidak tergantung pada pestisida. Pada suatu hari, ayah Ranti ditemukan tewas di sawah dan Ranti meminta jenazah ayahnya diautopsi. Dan terbukti, ada racun sianida dalam tubuh ayahnya.  Ranti juga melihat ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan supplier pupuk terhadap kesepakatan untuk pemulihan tanah petani. Jarwadi, rekan LSM Ranti menyarankan melawan dengan menggandeng wartawan.

    Penampilannya terkesan sederhana. Hanya memakai T-shirt dan jins belel. Tampangnya pun biasa, tidak tampan, tapi juga tidak jelek. Rambut pendek, kening   datar, dan sorot mata tajam, mencerminkan sosok cerdas. Ciri khas pada orang-orang seperti dirinya adalah membawa tas ransel berisi berbagai keperluan pendukung tugasnya, terutama sebuah kamera. Dialah Arya Winata, seorang wartawan yang sudah cukup berpengalaman. Hampir semua kota di Indonesia pernah dikunjunginya.
    Pertama kali berkenalan dengannya, Ranti tak menaruh perasaan apa-apa. Dia menganggapnya teman biasa. Sudah cukup banyak pria yang telah dikenalnya, namun tak satu pun membangkitkan perasaan tertentu dalam hatinya. Mungkin karena hatinya sudah telanjur hancur dan kecewa oleh pengkhianatan Arifin.
    Awalnya Ranti menduga Arya orang yang serius, tapi ternyata tidak. Dia terkesan santai dan tidak fokus. Ketika mereka bertiga bercakap-cakap di ruang kantor LSM Gema Pertiwi, sama sekali tak muncul obrolan tentang permasalahan yang menyangkut lingkungan. Arya dan Jarwadi malah asyik bernostalgia, mengenang kembali masa-masa kuliah dulu. Ranti jadi keki. Ranti mencoba menggiring percakapan ke topik yang lebih serius, tapi Arya menanggapinya dengan tidak antusias.
    “Maaf, Jar. Aku harus pergi dulu. Ada urusan yang harus kuselesaikan,” kata Ranti tiba-tiba, lalu beranjak dari kursi seraya berpamitan kepada rekannya.
    “Kamu tidak bilang kalau ada acara hari ini?” cetus Jarwadi, heran.
    “Aku baru dapat SMS. Acaranya mendadak!” dalih Ranti, sambil tersenyum penuh arti. Dia lalu melambaikan tangan sebelum bergegas keluar dari ruangan.
    Dua laki-laki itu hanya menatapnya tak mengerti. Mereka lalu saling berpandangan. Jarwadi bisa membaca gelagat Ranti yang sepertinya sedang ngambek. Dia malah tersenyum kecil.

    Sementara itu Ranti sudah melesat dengan motornya, pulang ke rumah. Sampai di rumah, dia langsung masuk kamar. Mengempaskan tubuhnya di atas pembaringan. Menerawang langit-langit. Perasaannya masih dibuat dongkol oleh Jarwadi dan teman masa lalunya itu. Dia paling tidak suka diremehkan. Mentang-mentang dirinya wanita, dianggap tidak kompeten dan tidak becus!  “Ufh…!” desah Ranti, kesal.
    Tok, tok, tok….
    Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ranti.
    “Ranti, ada tamu di luar,” kata ibunya, di depan pintu.
    “Siapa?” sahut Ranti.
    “Keluarlah, nanti kamu tahu sendiri….”
    Ranti jadi penasaran. Dia segera beranjak keluar. Dia menduga, pasti yang datang Arifin.
    Sampai di ruang tamu, Ranti tertegun. Dilihatnya Arya Winata duduk di sofa, sendirian. Laki-laki itu segera berdiri begitu melihat Ranti muncul. Senyumnya mengembang.
    “Maaf kalau sikapku tadi tidak berkenan,” ucapnya, penuh sesal.
    “Silakan duduk,” ucap Ranti, dengan sikap dingin.
    Arya kembali duduk. Sejenak dia menata sikapnya. “Aku tahu, kamu tadi marah karena dicuekin. Sungguh, aku tak bermaksud mengabaikanmu. Bukan aku tak mau serius, tapi aku lagi bernostalgia dengan Jarwadi. Maklum, sudah lama kami tidak berjumpa,” tuturnya.
    “Aku bisa mengerti. Sekarang, ada apa kamu ke sini?” tukas Ranti, masih dengan nada agak ketus.
    “Sebenarnya, sebelum ke sini aku sudah mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan PT Multikarya Utama. Jarwadi sudah memberiku informasi tentang perusahaan itu. Aku punya beberapa data penting, mungkin kamu ingin membacanya,” kata Arya, seraya mengeluarkan  berkas-berkas dari tasnya, lalu menyerahkan pada Ranti.
    Sejenak gadis itu membacanya. Keningnya berkerut. Lalu kembali memandang  Arya.
    “Bagaimana kamu bisa mendapatkan data yang tergolong rahasia ini?” cetus Ranti, kaget.
    “Kebetulan aku memiliki akses ke departemen pertanian. Ketika Jarwadi mengajakku untuk mem-blow up permasalahan yang berhubungan dengan PT Multikarya Utama, aku tidak langsung datang ke sini. Aku lebih dulu mencari informasi tentang perusahaan tersebut. Dan, seperti yang kamu baca dalam berkas itu, ternyata perusahaan itu memiliki track record buruk. Perusahaan itu pernah masuk dalam black list. Mereka kerap bermasalah di daerah lain!” tutur Arya.
    “Kalau perusahaan ini bermasalah, kenapa bisa beroperasi di daerah ini?”
    “Itulah yang aku heran. Tapi, mungkin juga bukan hal aneh lagi bila budaya KKN masih berlaku di daerah ini. Dengan berlakunya otonomi daerah, segala kewenangan dan kebijakan menyangkut pembangunan daerah berada di tangan pejabat setempat. Terkadang wewenang dan kebijakan itu berlawanan dengan kebijakan pemerintah pusat. Karena didasari oleh kepentingan masing-masing. Kondisi ini memberikan kesempatan pada perusahaan macam Multikarya Utama untuk bermain. Mereka biasanya memanfaatkan mental korup pejabat daerah agar bisa menjalankan bisnisnya!”
    “Tapi, kalau kegiatan perusahaan itu sangat merugikan masyarakat luas seharusnya tidak mendapatkan izin. Pejabat di daerah semestinya memperhatikan rekomendasi dari pusat.”
    “Para pejabat daerah biasanya tak peduli dengan hal ini, karena ini bukan merupakan kebijakan strategis….”
    “Apa? Pertanian bukan kebijakan strategis?” tukas Ranti, sewot.
    “Kebijakan strategis pada bidang pertanian hanya menyangkut soal ketersediaan pupuk, pengadaan benih, dan ketersediaan produk pangan secara nasional. Sementara, soal dampak kerusakan lingkungan akibat penggunaan bahan kimiawi dalam proses pengolahan lahan pertanian tidak terlalu diperhatikan. Justru karena dikejar target untuk meningkatkan produksi pertanian, maka penggunaan pupuk pestisida sangat berlebih-lebihan. Mereka tidak memikirkan risikonya. Padahal, penggunaan pupuk kimiawi secara terus-menerus akan memiskinkan unsur hara pada tanah pertanian. Selain itu, produk pertanian yang tercemar pestisida tidak bisa diterima di pasar internasional!” tandas Arya.
    Ranti manggut-manggut. Dalam hati muncul kekaguman pada sosok Arya. Dia tak menyangka pengetahuan Arya dalam soal pertanian begitu mendalam. Laki-laki itu sangat concern pada masalah lingkungan. Tak salah Jarwadi meminta teman lamanya itu untuk membantu mereka. Selanjutnya Ranti dan Arya banyak berdiskusi soal-soal yang menyangkut dunia pertanian dan lingkungan. Mereka merencanakan langkah-langkah yang akan ditempuh.
    Arya nanti akan mewawancarai beberapa pejabat yang ikut menandatangani nota kesepakatan. Dia juga akan menyelidiki perusahaan penyalur pupuk pestisida itu. Dia ingin mencari tahu, bagaimana perusahaan, yang telah masuk daftar hitam Deptan dan ditolak di berbagai daerah, itu bisa tetap menjalankan kegiatannya di daerah ini. Seperti kerja seorang detektif, Arya mesti mencari bukti-bukti dan fakta yang bisa mengungkap semua itu.
    Mungkin, karena sudah banyak yang dibicarakan, percakapan mereka kemudian beralih pada hal-hal ringan. Ranti sempat menyinggung  soal pribadi Arya.
    “Omong-omong, kalau kamu sering meliput berita ke luar daerah, bagaimana dengan keluargamu?” cetusnya.
    “Aku ini orang bebas. Tidak ada yang merindukanku…,” jawabnya, sambil tersenyum tipis.
    “Kamu belum berkeluarga?”
    “Sudah, tapi cuma bertahan lima tahun. Mantan istriku tak bisa mengikuti irama kerjaku yang sering ke luar kota meliput berita. Apalagi wartawan sepertiku kerap berhadapan dengan teror dan bahaya. Dia tak sanggup menanggung rasa khawatir terus-menerus….”
    “Kalian sudah punya anak?”
    “Kami punya satu anak perempuan. Dia ikut ibuku, karena mantan istriku mendapat pekerjaan di luar negeri!”
    “Tidak berniat rujuk atau menikah lagi?”
    “Kalau rujuk, sepertinya tidak mungkin. Dua bulan lagi mantan istriku akan menikah dengan laki-laki lain. Kalau aku… nggak tahu. Belum ada pikiran untuk menikah lagi. Lagi pula, mana ada wanita yang mau kawin sama duda yang susah diatur kayak aku ini?” ucapnya, sengau.
    Ranti tertegun. Ternyata, di balik kesuksesannya sebagai wartawan hebat, Arya menyimpan kegagalan dalam rumah tangga. Memang bukan hal mudah menyatukan dua hati yang memiliki perbedaan, terlebih bila masing-masing kukuh dengan prinsipnya!


    Hari-hari selanjutnya Ranti kerap terlihat pergi bersama dengan Arya. Mereka sibuk menjalankan misi yang telah mereka rencanakan. Arya melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang berhubungan langsung dengan PT Multikarya Utama. Dia juga melakukan investigasi langsung pada perusahaan tersebut. Dia mencari informasi tentang aktivitas perusahaan yang bergerak dalam bisnis pupuk pestisida itu. Semua bahan informasi itu lalu diolah menjadi sebuah laporan jurnalistik. 
    Sementara itu, Ranti tak tinggal diam membantu Arya mengumpulkan data-data yang diperlukan. Dia meminta bantuan mantan dosennya di kota yang peduli pada lingkungan dan suka melakukan penelitian dengan mengirimkan sampel tanaman dan tanah yang tercemar pestisida. Dari hasil uji laboratorium nanti akan ketahuan seberapa parah penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimiawi berbahaya yang digunakan petani di daerahnya. Semua itu bisa menjadi data penunjang laporan jurnalistik Arya sekaligus meng-counter PT Multikarya Utama. 
    Selama bekerja sama membongkar kebusukan perusahaan penyalur pestisida itu, terjalin keakraban antara Arya dan Ranti. Muncul bibit harapan dalam hati Ranti. Dia mulai jatuh cinta pada laki-laki itu. Dia tidak memandang status Arya yang duda, karena baginya yang penting adalah kepribadian. Dia sangat terkesan pada pribadi Arya yang gentleman, pemberani, dan bertanggung jawab. Tapi, sejauh ini dia tak berani mengungkapkan perasaannya. Dia takut Arya tidak menyukainya!
    Hari itu Arya datang menyampaikan sebuah kabar penting. Dia mendatangi kantor Gema Pertiwi sambil melambaikan sebuah koran pada Ranti dan Jarwadi.
    “Ini berita gembira! Izin perusahaan PT Multikarya Utama telah dicabut oleh Menteri Pertanian melalui Deptan dan Deperindag, karena menyalahi peraturan!” serunya.
    “Yang benar?” cetus Ranti, seakan tak percaya.
    “Kalau tak percaya, baca sendiri!” Arya menyodorkan koran itu pada Ranti. Sejenak gadis itu membacanya, wajahnya berubah berbinar-binar. Saking gembiranya tanpa sadar dia memeluk Arya.
    Laki-laki itu jadi salah tingkah, tapi dia biarkan saja gadis itu memeluknya. Jarwadi yang melihatnya tersenyum-senyum. Dia lalu berdehem, membuat Ranti tersadar. Dengan muka merah padam Ranti segera melepaskan tangannya dari tubuh Arya.
    “Eee, maaf…,” ucap Ranti,  kikuk dan malu.
    “Lebih lama juga nggak apa-apa, biar mesra,” kata Arya, tersenyum.
    “Iya, nih! Kalian kelihatannya sudah serasi. Tinggal ditentukan saja harinya,” goda Jarwadi.
    “Ah, kamu ini omong apa?” tukas Ranti, pura-pura sewot. Tapi, dalam hatinya ada yang berbunga-bunga bahagia, apalagi saat melihat senyum Arya yang menyejukkan.
    “Kalian tahu tidak, dengan ditutupnya izin operasi PT Multikarya Utama, maka secara otomatis kesepakatan yang pernah ditandatangani pihak perusahaan dengan kaum petani menjadi gugur,” kata Arya, kembali pada topik pembicaraan.
    “Tapi, apakah ini tidak membawa risiko, Ar?” cetus Jarwadi.
    “Maksudmu?”
    “Mereka tahu kalau ini merupakan hasil kerja kita. Bisa-bisa mereka menaruh dendam dan membuat perhitungan dengan kita….”
    Mendengar nada kecemasan dalam ucapan Jarwadi,  Ranti jadi ikut ngeri. Dia tadinya tak berpikir hasil dari kerja mereka akan sejauh ini. Dia hanya berharap perusahaan itu mengurangi perannya dalam mencemari lingkungan, bukan ‘mematikan’. Bukan tidak mungkin atas kejadian ini mereka yang merasa telah dirugikan akan membalas dendam. Ranti tak sanggup membayangkan hal buruk menimpa mereka.
    “Tenanglah, kalian tidak usah khawatir!” tegas Arya, seperti biasa, penuh  optimistis. “Mereka tidak akan macam-macam. Kita sudah dapat jaminan dari Bupati dan Kapolres atas keselamatan kita. Malah Bupati berterima kasih karena kita berhasil membongkar kebusukan PT Multikarya Utama. Kalaupun mereka akan membalas dendam, tentu aku yang dijadikan sasaran. Karena, laporan jurnalistik itu aku yang buat. Tapi, aku tak takut. Aku sudah biasa menghadapi hal semacam ini!”
    Ranti tercenung. Ucapan Arya seakan menggampangkan persoalan. Mungkin kondisi semacam ini yang membuat istrinya dulu akhirnya meminta cerai. Tapi, ucapan Arya yang penuh rasa percaya diri dan tegas itu juga cukup mengesankan hati Ranti. Laki-laki kuat, tegar, dan pemberani macam Arya inilah yang diidamkan. Karena, dia bisa menjadi sosok pengayom sekaligus pelindung, seperti almarhum ayahnya!
    “Tapi, mereka tahu kita jadi narasumber?” Jarwadi masih resah.
    “Bukan cuma kalian yang jadi narasumber, tapi ada Pak Camat, Kadinas, Bupati, dan beberapa pejabat lain. Tentu mereka juga ikut kena sasaran balas dendam, dong?” ujar Arya, setengah tertawa.
    Jarwadi dan Ranti manggut-manggut.
    “Sudahlah, tak usah risau! Ini negara hukum. Semua perbuatan ada konsekuensi hukumnya!” tandas Arya, meyakinkan.
    Kalimat Arya cukup menenangkan hati mereka.

    Sore itu Ranti pulang dari acara pertemuan di kecamatan. Tadinya Arya berniat mengantarnya, tapi Ranti menolak halus. Dia tak mau merepotkan laki-laki itu. Sejak kasus PT Multikarya Utama berhasil dibongkar, Arya kini jadi sibuk sekali. Dia kerap diundang dalam acara seminar atau workshop tentang kegiatan jurnalistik oleh berbagai lembaga masyarakat.   
Langit  telah rembang petang. Jalanan desa pun telah sepi dari lalu-lalang manusia. Ranti melaju dengan sepeda motornya menebas udara sore. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh bayangan seseorang yang meloncat menghadang jalan, untung Ranti segera mengerem.
    “Arifin!” cetusnya bergetar, saat tahu siapa yang muncul.
    Laki-laki itu menghampirinya dengan wajah bengis. “Siapa laki-laki yang sering pergi bersamamu itu?” tanyanya, dengan nada gusar.
    “Apa urusanmu?” tukas Ranti, sengit. Dia tahu, siapa yang dimaksud Arifin. Rupanya, dia cemburu melihat Ranti kerap bersama Arya.
    Tiba-tiba Arifin mencekal tangan Ranti dan menyeretnya menuju ke dalam ladang singkong yang lebat. Gadis itu merintih kesakitan dan mencoba meronta.
    “Apa-apaan kamu, Fin! Lepaskan tanganku! Jangan macam-macam! Aku akan teriak!” ujar Ranti, mengancam.
    “Silakan teriak! Tidak ada yang mendengar suaramu! Ladang ini jauh dari permukiman. Aku sudah cukup sabar menghadapi sikapmu yang sombong dan angkuh! Kini aku tak bisa bersikap lunak lagi. Aku akan buat kamu mau menerima menjadi istriku!” desis Arifin, dengan suara beringas.
    “Aku tak suka kamu memaksa, Fin! Cepat, lepaskan tanganku!”
    Tiba-tiba Arifin mendorong tubuh Ranti hingga jatuh ke tanah. Laki-laki itu lalu menindihnya. Kedua tangan Ranti ditekan dengan kedua lututnya. Sambil menahan tubuh gadis itu, dia kemudian mulai membuka bajunya. Wajah Ranti tercekat, hatinya dicekam ketegangan. Dia tahu, apa yang hendak dilakukan laki-laki itu.
    “Jangan, Fin! Kamu jangan perkosa aku! Aku mohon…?” ucap Ranti, dengan suara bergetar bercampur tangis.
    “Kalau tidak begini, aku tidak akan pernah bisa memilikimu!” kata Arifin geram, seraya menyumpal hidung Ranti dengan sapu tangan.
    Gadis itu mencium bau tajam menyengat dari sapu tangan itu, membuat napasnya sesak dan pandangan berkunang-kunang. Sejurus kemudian ia sudah tak sadarkan diri.
    Ketika beberapa saat kemudian siuman, dia sudah mendapati dirinya berbaring di kamarnya sendiri. Di sebelahnya sudah duduk ibunya dengan wajah cemas, sementara Arya berdiri di sudut sana.
    “Di mana aku? Apa yang terjadi?” ujar Ranti, gugup.
    “Syukurlah, kamu sudah sadar, Nak. Tadi kamu dibawa ke sini oleh Mas Arya. Dia telah menolongmu dari niat busuk Arifin. Sungguh, Ibu tak mengira kalau Arifin bisa berbuat seperti itu,” terang sang ibu.
    Ranti baru teringat kejadian di ladang singkong itu. Dia pun tak kuasa menahan tangis. Dia lalu memeluk ibunya,  bahunya terguncang-guncang. Suasananya mengharukan.  Arya tak sanggup melihat ibu anak itu bertangis-tangisan. Dia kemudian beranjak keluar. Arya berdiri di ruang depan sambil memandang langit hitam di luar sana. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara Ranti yang sudah berdiri di belakangnya.
    “Terima kasih atas pertolonganmu, Mas. Entah, apa jadinya kalau kamu tak datang menolongku,” ucap Ranti, terbata.
    “Lupakan saja. Kebetulan tadi aku menyusulmu untuk mengembalikan kameramu yang ketinggalan. Di tengah jalan aku melihat motormu tergeletak di pinggir jalan. Aku berhenti dan segera mencarimu. Aku menemukanmu di tengah ladang singkong hendak diperkosa oleh seorang laki-laki muda. Aku menendang laki-laki itu. Dia ketakutan dan langsung melarikan diri. Aku lalu membawamu pulang. Apakah kamu mengenal siapa laki-laki itu?” tanya Arya kemudian.
    Ranti mengangguk. Dia lalu menceritakan tentang siapa Arifin sebenarnya. Saat bercerita, Ranti tak kuasa menahan derai air mata. Dia benar-benar sangat sedih, kecewa, sekaligus benci pada Arifin!
    “Sudahlah, tak usah diingat-ingat lagi. Yang penting kamu selamat. Aku yakin dia belum sempat menodaimu. Kehormatanmu masih terjaga. Biarlah Tuhan nanti yang membalas perbuatan jahat mantan kekasihmu itu!” ujar Arya, menghibur hati Ranti.
    Gadis itu merasa terharu oleh perhatian Arya. Dengan spontan dia  memeluk laki-laki itu erat, sebagai ungkapan rasa terima kasih. Arya membiarkan tubuhnya didekap Ranti. Dia memberanikan diri mengelus rambut gadis itu lembut. Ada getaran menyatu dari hati keduanya!
    Esok harinya sebuah kabar heboh menggemparkan Desa Winangun. Arifin ditangkap polisi di rumahnya dengan tuduhan telah membunuh Sutomo, ayah Ranti. Polisi yang datang ke rumah Ranti menjelaskan alasan penangkapan Arifin dan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dialah pembunuh Sutomo.
    “Kami telah menemukan botol sianida yang dibeli Arifin dari sebuah apotek di kota. Sidik jari yang menempel pada botol sesuai dengan sidik jari pelaku. Kami juga mendapatkan kesaksian dari karyawan apotek dan orang yang mengantar saudara Arifin ke sana,” terang polisi.
    “Lalu, bagaimana kronologis kejadiannya sehingga dia bisa memberikan racun itu kepada bapak saya?” tanya Ranti, penasaran.
    “Soal itu nanti akan terungkap dari BAP dan gelar perkara di pengadilan. Yang jelas, dia tidak akan bisa mungkir, karena semua bukti dan saksi telah memberatkannya!”
    Ranti mengangguk-angguk. Meski masih menyimpan teka teki apa alasan Arifin membunuh ayahnya,  hal itu sudah cukup membuat hati Ranti dan keluarganya lega. Mereka tak dibebani lagi pikiran tentang misteri kematian ayah mereka. Terbukti sudah bahwa Sutomo telah dibunuh dan pelakunya adalah Arifin. Tuhan telah mengabulkan doa mereka untuk membuka semua ini!
    Tak berapa lama setelah polisi yang menyampaikan kabar gembira itu pergi, Arya datang ke rumah Ranti. Namun, kedatangan laki-laki itu bukan untuk mengucapkan selamat atas terbongkarnya kasus kematian ayah Ranti, melainkan untuk berpamitan. Dia akan kembali ke kota melanjutkan tugas jurnalistiknya.
    “Jadi kamu akan pergi?” ucap Ranti, seakan begitu berat.
    “Yaah… Tugasku sudah selesai di sini, jadi…,” jawab Arya, tak meneruskan kalimatnya.
    “Apakah tak ada yang bisa menahanmu tetap di sini?”
    “Maksudmu?”
    “Ya, mungkin masih ada hal-hal menarik di daerah ini yang bisa kamu ekspos dan jadi bahan liputan…?”
    Arya tersenyum. Membuat Ranti berdebar-debar.
    “Sebenarnya aku suka sekali daerah ini. Tempatnya enak, udaranya sejuk, orang-orangnya ramah, dan… satu lagi, ada sosok yang membuatku sangat kagum. Dia seorang pejuang sosial dan lingkungan yang sangat ulet. Dia tangguh, bersahaja, lembut, dan baik hati. Dia juga cantik. Dia ibarat sekuntum bunga di tengah padang gersang. Memberi keharuman dan kesegaran pada sekelilingnya. Andai aku bisa memiliki bunga itu…,” ucap Arya dengan hati-hati.
    “Siapa dia kalau boleh aku tahu?”
    “Kamu tidak marah mendengarnya?”
    Ranti menggeleng.
    “Dia adalah… kamu!”
    Ranti sudah tahu jawabannya, tapi tak urung hatinya berdenyar-denyar bahagia. Dia tersanjung oleh pujian Arya yang romantis.
    “Kalau begitu, aku juga tak mau bungaku layu karena tak ada lagi yang menyirami,” balas Ranti, sambil tersenyum penuh arti.
    Arya tersenyum. Dia lalu mengambil handphone dari sakunya dan men-dial sebuah nomor. Begitu tersambung, laki-laki itu berkata pada seseorang di seberang sana. “Aku tak jadi pulang… mungkin untuk waktu yang lebih lama!” 
    Ranti menatap Arya dengan mata berbinar-binar, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling mengirim sinyal cinta! (Tamat)


Penulis: Eko Hartono