Trending Topic
Budaya Ngobrol di Sosmed

13 Feb 2014


Kekacauan yang terjadi di forum online ini terjadi karena di dunia maya  kepribadian, usia, dan reputasi seseorang relatif tersembunyi di balik profil virtualnya. Tampaknya, di dunia maya juga terjadi semacam ilusi bahwa semua user itu sama rata, tidak peduli apa posisi atau statusnya di dunia nyata. Usia, status, dan hubungan pun menjadi kabur, digantikan oleh secuil username dan profile pic. Coba bayangkan, bila saat ini juga kita bertemu langsung dengan ibu negara, apakah kita berani menanyakan soal merek produk rambutnya?

Sementara di dunia nyata, begitu banyak pertimbangan yang terjadi sebelum kita mengomentari sesuatu kepada seseorang. Pertimbangan-pertimbangan ini sering kali tidak sempat terjadi saat kita sedang aktif di media sosial, saking cepatnya jari-jari kita mengetik comment atau reply di gadget. Akibatnya, lahirlah komentar-komentar yang tidak disaring oleh aturan-aturan tata krama atau sopan santun, seperti yang terjadi saat kita bertemu langsung dengan seseorang.

Menurut D. Chandra Kirana, dosen Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, media sosial menawarkan sebuah bentuk demokrasi di mana semua orang bebas berbicara apa pun, tanpa peduli konsekuensinya. Pasalnya, sampai sekarang belum ada orang yang dituntut pidana karena menghina presiden di media sosial.

“Banyak orang seakan lupa bahwa akun-akun pribadi di Facebook, Twitter, dan Instagram  itu seperti ‘rumah’ bagi pemiliknya. Apa pun yang dikirimkan ke sana, wajar kalau dianggap personal oleh pemiliknya,” tutur wanita yang akrab dipanggil Kicky ini. Layaknya di rumah sendiri, wajar jika sang pemilik ingin berbuat sesuka hati. Tapi, seperti datang ke sebuah open house, bukankah kita yang ‘bertamu’ sudah sepantasnya untuk bersikap sopan santun?

Ia juga mengamati bahwa budaya senang ngobrol menjadi penyebab ‘kicauan’ orang Indonesia begitu keras di media sosial. Hal ini ia amati sejak internet dan chatting mulai booming. Dahulu, orang menikmati obrolan panjang lebar, baik secara lisan ataupun tulisan. Dengan berkembangnya teknologi, sesi ngobrol jadi lebih singkat dan efektif, berkat bahasa emoticon yang penggunaannya menghilangkan banyak kata-kata.
Di saat yang sama,  makin pendek kata-kata yang digunakan,  makin tidak jelas pula ekspresi emosi atau perasaan yang ada di baliknya. Di sinilah   rawan terjadi kesalahpahaman. Yang maksudnya hanya bercanda, dianggap serius. Yang serius, bisa jadi dianggap hanya angin lalu.

Budaya ngobrol orang Indonesia, lanjut Kicky, juga membuat media sosial menjadi tempat yang begitu hiruk pikuk. Tadinya, Twitter diciptakan untuk update situasi atau lalu lintas, misalnya. “Tapi, kita lihat sendiri, orang Indonesia banyak yang memakai Twitter untuk chatting, bercanda dengan teman, atau janjian pergi ke suatu tempat,” ujarnya.
   
Meski begitu, Kicky mengakui bahwa tidak ada cara berkomunikasi yang 100% benar di media sosial. Budaya orang Indonesia pada level tertentu menurutnya memang senang mengkritik dengan halus tapi nyelekit, atau langsung tanpa tedeng aling-aling. Biar bagaimanapun, kembali menyinggung demokrasi, ia melihat bahwa media sosial adalah kesempatan atau tempat bagi mereka yang selama ini diam untuk menyuarakan isi hatinya. Sekarang pertanyaannya, kita ingin menjadi komentator yang seperti apa? (PRIMARITA S. SMITA)