Celebrity
Bella, Bersahaja Di Bawah Lindungan Kabah

9 Aug 2011

Cahaya obor dan di tengah keramaian malam, seorang gadis berkerudung putih bernama Zainab bertemu seorang lelaki muda bernama Hamid. Berpandangan sekilas dan malu-malu, mereka pun saling menyapa dan berjalan beriringan dengan puluhan warga desa menuju ke tempat pengajian. Ini adalah salah satu scene film Di Bawah Lindungan Kabah (DBLK) yang diangkat dari novel karya Buya Hamka berjudul sama. Berperan sebagai Zainab adalah Laudya Chintya Bella (23). Dalam kisah kasih tak sampai berlatar belakang kebudayaan Minangkabau ini, Bella membuktikan bakat aktingnya tidak main-main.

Belajar Toleransi
Berakting dalam film religi adalah hal baru bagi Bella. Selama ini peran-peran dalam film atau sinetron yang ia lakukan cenderung lebih ringan. Bella mengaku, DBLK menjadi tantangan besar untuk dirinya sebagai seorang aktris. Namun, dengan bakat akting dan kemauan untuk belajar tentang latar belakang cerita, Bella berhasil menampilkan sosok wanita bersahaja yang penuh kesabaran dan keteguhan iman.

Sulitkah memerankan Zainab?
Ya, apalagi di sela total 4 bulan syuting ada break satu bulan untuk para kru mempersiapkan setting baru. Setelah libur panjang,  saya harus berusaha mengembalikan mood. Saya berusaha menghayati peran Zainab. Caranya, dengan membaca ceritanya, memosisikan diri saya seperti dia, dan membayangkan perasaannya. Dengan begitu, akting saya jadi mudah mengalir.

Kabarnya, Anda harus diet demi peran?
Ya. Sebab, zaman dulu jarang ada gadis yang tubuhnya berisi. Apalagi saya juga harus memerankan Zainab saat sakit. Waktu casting berat badan saya 52 kg. Lalu saya diet dengan cara mengurangi porsi makan siang, mengonsumsi beras merah, daging rebus, dan minum susu khusus penurun berat badan. Saya juga tidak makan malam. Hasilnya, saat syuting berat saya 46 kg.

Anda syuting di beberapa kota, ya?
Ya. Kami syuting di beberapa lokasi, antara lain Padang, Ambarawa, dan Yogyakarta. Sebetulnya, cerita ini bertempat di Padang dan Arab Saudi saja. Tapi, untuk mendapatkan setting tahun 1920-an, perlu mencari lokasi di berbagai tempat. Selama di lokasi, saya merasa benar-benar sedang berada di zaman dulu. Sebab, properti-properti yang khusus untuk film ini dibuat dengan mendetail sehingga terlihat dan terasa autentik.

Selain membaca novelnya, bagaimana Anda mempersiapkan diri?
Saya juga membaca buku-buku tentang adat istiadat Minangkabau. Saya browsing internet untuk mencari tahu, seperti apa, sih, kehidupan di tahun 1920. Selama 2 bulan kami reading. Makin sering dibaca, saya makin bisa mendalami karakter Zainab. Berada di lokasi syuting dengan setting yang sesuai, saya makin tenggelam dalam peran itu.

Apa yang Anda pelajari?
Banyak sekali. Toleransi masyarakat desa zaman dulu lebih tinggi. Hal-hal sederhana membuat mereka bahagia. Lucunya, dulu orang kalau difoto ekspresinya selalu tegang. Tidak ada yang senyum sumringah seperti orang zaman sekarang (tertawa).

Yang paling berkesan?
Saya harus belajar naik sepeda ontel. Susah banget, karena sepedanya tinggi dan berat. Tapi, yang paling penting, saya belajar banyak tentang proses adaptasi film dari novel. Ternyata, tidak semudah yang dibayangkan. Dari novel DBLK yang tipis itu, penulis skripnya, Titien Wattimena dan Armantono, bisa mengembangkannya menjadi cerita yang lebih luas. Cerita DBLK dalam film memang berbeda dari cerita novelnya.

Primarita S. Smita
Foto: dok. Femina Group, dok. MD Entertainment.