Trending Topic
Aksi Sosial Itu ‘Cool’

25 Jan 2014

Interaksi dengan internet, televisi, maupun radio yang banyak menampilkan kisah-kisah sukses dan inspiratif juga membuat orang terusik ingin menjadi seperti mereka. Menjadi sosok inspiratif saat ini memang seperti menjadi cita-cita baru.

Billy Boen, enterpreneur dan penulis buku Young on Top melihat, satu hal yang menarik dari gerakan yang digawangi anak-anak muda ini adalah ide mereka yang kreatif. Dan hal  ini berkat teknologi informasi. Gampangnya, dulu sebelum internet merajalela, ketika anak-anak ditanya, “Siapa, sih, idola kamu?” bisa dibilang sebagian besar akan menjawab: orang tua. Sekarang? Jarang ada yang menjawab orang tua. Sekarang muncullah nama-nama seperti Steve Jobs, Mark Zukerberg, dan sebagainya.

“Zaman dulu, kita tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Sekarang, tinggal buka Google. Artinya, saat ini referensi kita  sudah global, mendunia sehingga akan banyak ide yang bisa diserap dari berbagai belahan dunia untuk diterapkan di sini,” ujar Billy.
   
Ya, harus diakui, di zaman media sosial seperti sekarang, menjadi sosok yang menjulang dengan pemikiran maupun apa yang mereka lakukan sehingga bisa menarik ribuan follower di Twitter misalnya, bukan hal mustahil dilakukan.
Bila sudah menjadi sosok yang dianggap inspiratif, tentu banyak benefit yang didapat, salah satunya bisa seperti selebritas saja bagi para penggemar atau pengikutnya. Ujung-ujungnya, bisa menguntungkan secara ekonomi.
   
Karena itulah, menurut Billy, saat ini cita-cita yang sedang tren bukan lagi menjadi CEO, melainkan menjadi founder. Alangkah bangga bila berhasil membuat gerakan atau komunitas dengan begitu banyak follower.
   
Selain ide mereka memang kreatif, Ricardi S. Adnan (Ricky) menegaskan, ada hal-hal ‘istimewa’ yang membuat ‘kehadiran’ anak-anak muda ini lebih bisa diterima dan disambut oleh masyarakat. Memang, bila dibandingkan dengan gerakan yang sama yang dilakukan oleh LSM, ormas, atau lebih-lebih oleh organisasi politik, gerakan anak-anak muda yang non-partisan ini jelas lebih mudah diterima.
    
“Masyarakat menganggap mereka itu murni. Jadi, apa yang mereka perjuangkan itu tidak ada agenda tersembunyi,” terang Ricky. Tentu Anda masih ingat, semasa SMU, ketika hendak membuat acara pentas seni di sekolah misalnya,  Anda akan lebih mudah memasukkan proposal untuk donatur.
   
Namun Billy mengingatkan, para penggerak komunitas itu sebetulnya memiliki jiwa kewirausahaan. Ya, penggerak komunitas itu adalah penggerak usaha. Hanya sayangnya, Billy melihat, banyak  komunitas yang masih mengandalkan biaya operasional mereka dengan bantuan donatur atau sponsor.

“Ketergantungan ini sudah zaman dulu banget. Kalau zaman sekarang, jangan lagi menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain. Intinya, kita harus bisa menghidupi diri sendiri untuk kemudian menghidupi orang lain,” ujarnya. Karena itu, Billy menyebut, gerakan-gerakan ini harus bisa menjadi social entrepreneurship.

Tetapi, yang harus pertama kali dilihat adalah apakah benar gerakan atau usaha yang dilakukan itu memang ada tujuan mulianya? “Karena, terus terang, banyak orang yang memulai sesuatu hanya demi uang,” ujarnya.

Sekadar sharing, dulu ketika menulis buku Young on Top, Billy mengaku ingin berbagi atas apa yang ia punya. Supaya sharing bisa didengarkan orang, itu berarti seseorang harus punya pencapaian secara riil, karena kalau tidak mereka hanya terjebak pada teori. Dalam konteks dirinya, Billy menunjukkan pencapaiannya menjadi GM PT Oakley pada usia 26 tahun, sebuah posisi yang tak mudah untuk diraih.

“Ketika saya mendapatkan e-mail dari orang-orang yang mendapat manfaat dari buku saya, saya mendapatkan kebahagiaan yang tak ternilai,” tuturnya. Setelah itu, Billy meyakini bahwa apa pun gerakan kita, bila memang tujuannya  mulia, maka bisa jalan terus.
   
Namun, meski memiliki tujuan mulia, tidak tabu bila gerakan itu menghasilkan uang. Mengapa? Yaitu agar tidak tergantung pada donatur atau sponsor. “Jangan takut untuk menjadi kaya, karena bila kita sudah cukup secara finansial, maka kita bisa membantu orang lain,” pungkasnya.  
 
Bila dilihat dari cara yang dilakukan Liam, Dwi, maupun Putri Sentanu dan kawan-kawan, memang berbeda dengan gerakan yang dilakukan Yovita dan Dewi Tanjung. Pada golongan pertama tidak mengambil profit bisnis, sementara golongan yang kedua mendapatkan profit. Mana yang lebih baik? Masing-masing mempunyai segi positif.
   
Bahkan, bila ditanya apakah gerakan-gerakan anak muda seperti ini bisa bertahan lama, Ricky menyebut akan ada seleksi alam dan rejuvenasi. Maksudnya, seiring dengan perubahan zaman, maka dengan sendirinya bentuknya akan beradaptasi atau sisi ekstremnya gerakan tersebut akan mati di tengah jalan.

“Misalnya saja, ketika founder-nya mengalami fase perubahan dalam hidup. Atau kemudian dia disibukkan oleh urusan keluarga, bisa jadi komunitasnya akan terabaikan bila dia tidak memiliki orang lain untuk meneruskannya,” tutur Ricky.
Bisa juga disebabkan karena masyarakat kelak memang sudah tak lagi membutuhkan gerakan tersebut. Misalnya untuk Nebengers, bisa jadi nanti transportasi massal sudah diperbaiki sehingga macet bisa terurai karena orang-orang sudah menggunakan kendaraan umum. Dengan demikian, gerakan tersebut sudah tak lagi diperlukan.