Karya Anda
Ibu Pangku

5 Nov 2015

Penulis: Happy Rose, Malang

Seorang teman lama yang kini tinggal di lain kota, pernah mengunggah sebuah foto di akun media sosialnya. Nama saya termasuk salah satu dari beberapa penerima tag gambarnya. Sekilas tak ada yang istimewa dari gambar itu. Hanya foto hasil jepretannya sendiri, memakai kamera ponsel. Tapi, saya salah.
Foto itu adalah potret seorang gadis berseragam SMU, duduk di dalam sebuah angkutan umum. Penampilannya bersih dan rapi. Dia memangku seorang anak kecil berpakaian lusuh, juga kumal. Di sampingnya duduk seorang wanita yang tengah hamil besar, memangku beberapa kantong plastik belanja. Penampilan wanita hamil itu tak jauh beda dengan anak kecil dalam pangkuan gadis berseragam sekolah. Bahkan ia tampak lebih kumal karena letih yang melekat di wajahnya.
Di bawah foto itu teman saya menambahkan caption.
“Gadis berseragam itu mengingatkanku pada seseorang. Py, dia mirip kamu! Kebayang gak sih kalau gadis itu ternyata anak kecil yang dulu pernah kamu pangku?”
Hati saya melompat saat membacanya. Wajah Mama sontak terbayang di benak.
Karena jadi satu-satunya anak perempuan, sayalah yang paling sering bepergian bersama Mama. Kami pergi belanja ke pasar, menjenguk tetangga yang dirawat di rumah sakit, atau jalan-jalan ke Mall yang saat itu hanya ada segelintir. Tentu saja, kalau kemana-mana hanya berdua, kami selalu naik angkot.
Meski memiliki mobil pribadi, sebuah minibus warna putih yang di mata saya tampak mirip ambulans atau seperti bongkahan roti tawar raksasa, orangtua saya hanya akan menggunakannya saat bepergian sekeluarga. Untuk sehari-hari yang seringnya pergi sendiri-sendiri, kami tetap menggunakan angkutan umum.
Satu hari kami pergi berdua ke pasar tradisional. Hujan yang deras turun di malam sebelumnya. Di saat-saat seperti itu biasanya saya malas diajak ke pasar. Bayangan tanah becek, berbaur dengan bau amis ikan, air kelapa basi, juga air rendaman tahu yang menggenang membuat aktivitas ke pasar tidak lagi menggairahkan. Tapi toh saya tetap menerima ajakan Mama.
Selesai belanja kami pulang naik angkot seperti biasa. Kami naik ke mikrolet yang sudah nyaris sesak. Tak lama setelah kami naik, seorang ibu bersama dua anak balitanya juga naik ke mikrolet yang sama. Wanita itu tampak kerepotan mengatur duduknya, ditambah harus memangku dua anak balita. Saat itulah Mama berinisiatif memangku salah satu dari anak balita itu. Mama memilih memangku anak yang terkecil, yang ingusnya meleleh hebat.
Mama tidak terusik pada ingus anak itu, pada bau tubuhnya yang sedikit amis, juga pada sandalnya yang penuh lumpur. Mama memangkunya tanpa risih, hingga balita itu tertidur di pangkuan Mama.
Saat mikrolet melintasi daerah di mana seharusnya kami turun, Mama melirik saya dan memberi isyarat untuk diam. Kami baru turun kemudian di tempat wanita dengan dua bocah itu turun. Saya tercenung mendapati ibu si balita yang tak henti-hentinya berterima kasih. Dada saya menghangat melihatnya. Hari itu, kata ‘Terima kasih’ menjadi kata paling menggetarkan yang saya dengar.
 “Mama tadi sengaja turun di sana?” tanya saya setelah kami naik mikrolet lain untuk menuju rumah.
“Anaknya tidur. Kasihan. Nanti kalau kamu sudah jadi ibu pasti tahu rasanya.”
Saat itu saya masih SMU. Masih bertahun-tahun lagi untuk jadi ibu. Tapi saya meniru tindakannya itu, yang sederhana tapi mengena, tanpa menunggu menjadi ibu lebih dulu. Saya meniru Mama setiap kali ada kesempatan. Terlalu seringnya saya meniru, teman-teman menjuluki saya sebagai ‘Ibu Pangku’. Julukan yang dulunya sering jadi bahan ledekan.
Sekarang, setelah saya benar-benar menjadi ibu, julukan itu enggan saya lepaskan. Menjadi ibu bukanlah pekerjaan mudah. Satu tindakan kecil yang dapat meringankan seorang ibu, maknanya bisa sangat besar. Kadang kita sering lupa kalau hal-hal kecil bisa menuntun kita pada sesuatu yang besar. Membantu ibu lain bukanlah tentang motherhood, atau womanhood. Melainkan tentang menjadi manusia sebagai kepanjangan tangan Tuhan.
Lalu, bagaimana bila gadis SMU dalam foto yang diunggah teman saya itu memang salah satu dari anak-anak kecil yang dulu pernah saya pangku? Sepertinya tidak mungkin. Tapi kalau memang benar, saya akan sangat bahagia. Sekecil dan sesederhana apapun sebuah kebaikan, ia mudah sekali menular. Dan Mama berhasil. Ia telah menularkannya, bahkan pada seseorang yang mungkin tak akan pernah ditemuinya.

*****
Writing Competition BTPN-Femina

Komentar: Kita takkan pernah tahu efek dari kebaikan kecil yang pernah kita buat.