Karya Anda
Beras Jimpitan

22 Dec 2015

Penulis: Siti Hairul Dayah, Yogyakarta


Di kampung kami di sebuah desa di Bantul Yogyakarta ada kebiasaan memberi jimpitan. Jimpitan adalah tradisi luhur dimana setiap warga memberi sejimpit beras di wadah yang disediakan di depan rumah dan akan di ambil oleh petugas ronda di kampung setiap malam. Biasanya petugas ronda adalah penghuni kampung yang di jadwal bergiliran. Nah, hasil jimpitan berupa beras ini biasanya sebagian diberi ke warga lain yang kurang mampu dan sebagian lagi ditukar uang dan digunakan untuk keperluan kampung.
Banyak proyek kampung yang didanai oleh warga sendiri dengan hasil jimpitan ini. Mulai dari pengerasan jalan kampung, renovasi masjid, pembuatan gapura kampung, pembuatan saluran got dan masih berderet jasa beras jimpitan ini bagi penduduk kampung.

Betapa besar jasa sejimpit beras ini bagi banyak warga kampung.
Tetangga saya sebut saja mbah Tiyem sudah menjalani tradisi jimpitan ini sejak lama, puluhan tahun mungkin. Nah, seiring berjalannya waktu tradisi jimpitan beras, untuk kemudahan proses, diganti dengan uang receh yang biasanya berkisar 300 rupiah sampai 500 rupiah permalam. Tetapi tradisi jimpitan beras ini oleh mbah Tiyem tidak bisa dihilangkan. Maklum sudah tradisi begitu kira-kira.

 Jadi setiap pagi ketika beliau menanak nasi maka beliau mengambil sejimpit beras sebagaimana kebiasaan beliau setiap hari sejak puluhan tahun lalu. Sejimpit beras yang diambil dari beras yang akan di masak ini di taruh di wadah kaleng susu. Sejimpit demi sejimpit beras ini akan dikumpulkan per-dua minggu. Yang kemudian setiap hari Jum’at pekan kedua dan keempat saat beliau pergi pengajian rutin beras hasil jimpitan selama  dua minggu ini akan diberi kepada tetangganya yang tidak mampu. Tidak hanya tetangga tetapi juga teman pengajian beda kampung juga mendapat bagian. Ohya, satu hal yang perlu di catat. Mbah Tiyem bukan orang kaya. Beliau hanyalah seorang penjual bubur dan sayur gurih yang membuka dagangannya di depan rumah setiap pagi. Dapurnya masih berlantai kayu. Beliaupun memasak masih menggunakan tungku dan kayu bakar hasil berburu di kebun-kebun sekitar rumah.

Banyak orang yang tahu dengan kebiasaan mbah Tiyem ini. Termasuk saya salah satunya. Dan sejak beberapa waktu lalu saya memutuskan jejak mbah Tiyem. Mengambil sejimpit beras yang siap saya masak dan memasukkannya kedalam kaleng bekas susu. Rasanya ada energi positif yang mengalir setiap mendengar suara beras yang jatuh ke dalam kaleng susu bekas ini. Rasa yang berbeda dengan mendengarkan suara musik misalnya. Dan ketika melihat kaleng susu penuh saya menitipkannya pada mbah Tiyem untuk diberikan pada orang yang menurut mbah Tiyem layak menerimanya. Dan jujur selalu ada rasa ingin menambah tak hanya sejimpit beras setiap harinya. Rasanya sayang jika energi positif itu hanya sejimpit beras. Karena saya melihat sendiri dari sejimpit beras setiap hari ini ada beberapa keluarga yang menjadi bahagia. Dia memang hanya sejimpit setiap hari tetapi buahnya menjadi berbukit-bukit. Kebaikan kecil yang bernilai besar. Dan tahu tidak? Sekarang ada banyak keluarga yang meniru mbah Tiyem. Menyimpan sejimpit beras setiap hari. Kebaikan itu ternyata menular.

Entah mengapa saya merasa sejimpit beras yang saya sisihkan itu menjadi semacam “energi positif” agar tidak ada makanan sisa yang terbuang sia-sia. Sejak saya rutin menyimpan sejimpit beras itu saya jadi jarang membuang makanan sisa. Selalu saja makanan saya habis. Padahal kadang saya sebal dengan makanan sisa. Dibuang sayang mau di makan kok ya tidak ada yang doyan. Tetapi saya saya pernah sebal luar biasa dengan suami berkaitan dengan beras jimpitan ini. Dengan wajah polos ia mengaku tidak sengaja memasak nasi dari kaleng susu simpanan saya. Ergghhh  

*****

Writing Competition BTPN-Femina

Komentar: Kadang sesuatu yang kita anggap sepele atau tidak bernilai bisa menjadi harta karun untuk orang lain.