Foto: Shutterstock
Tiap malam, selama berbulan-bulan, Febri menangis. Melihat buah hatinya membuat kesedihannya makin dalam. ”Saat kebanyakan orang yang berusia 25 tahun masih senangsenang, masih bisa bertualang, saya sudah jadi single parent.”
Perasaan iba dan kasihan melihat putrid semata wayangnya akan hidup tanpa orang tua yang lengkap membuatnya merasa bersalah. Kembali tinggal dengan kedua orang tuanya setelah bercerai membuatnya makin terbebani.
“Ketika seharusnya saya bisa memberi sesuatu kepada mereka, kok, yah kenapa saya jadi merepotkan lagi. Jadi beban,” ujar Febri, yang sudah lebih dari dua tahun menjadi ibu tunggal.
Di sisi lain, ia tak mau terlihat lemah di depan putrinya. Ia ingin, putrinya yang kini berusia 3 tahun akan melihat ibunya sebagai wanita yang kuat menghadapi berbagai macam cobaan berat. “Pada akhirnya, anaklah yang menjadi penguat,” tuturnya.
Ia mengaku, caranya mengasuh anak berubah semenjak jadi ibu tunggal. Jika sebelumnya lebih mudah memanjakan anak dan cenderung tidak tega, kini ia lebih tahu kapan bertindak tegas dan kapan bersikap lebih lembut.
Kini Febri sedang mempersiapkan diri jika sang putri bertanya tentang kondisi keluarganya yang berpisah. Maklum, saat proses perceraian terjadi, putrinya masih berusia 15 bulan, belum mengerti apa yang terjadi.
“Sekarang ia sudah mulai mengerti bahwa ayah ibunya tidak tinggal serumah. Karenanya, saya mulai antisipasi seandainya ia bertanya lebih jauh,” cerita Febri. Diakuinya, kendatipun hubungannya dengan mantan pasangan tak terlalu baik, Febri tidak mau memberikan kesan yang jelek tentang ayahnya kepada sang anak.
Topic
#family, #perceraian