Foto: Dok. Pribadi
Membangun Legacy
Ketika baru dipindahtugaskan ke Mahkamah Pelayaran, Peni baru menyadari bahwa institusi yang telah berdiri sejak tahun 1934 ini belum banyak dikenal orang. Jangankan khalayak umum, para nakhoda maupun anak buah kapal yang akan menjalani proses peradilan pun terkadang tak tahu di mana mahkamah ini berlokasi.
Karena itu, wanita berlatar belakang ilmu hukum ini mulai menggencarkan sosialisasi terhadap institusinya. Ia pun tengah berjuang membangun legacy, agar Mahkamah Pelayaran tak lagi dipandang sebagai badan kecil yang tak banyak memberi dampak.
“Sudah saatnya Indonesia memiliki pengadilan maritim. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kita tertinggal oleh negara-negara lain. Padahal, Indonesia tengah memperkuat jati diri sebagai negara maritim, bahkan bercita-cita menjadi poros maritim dunia,” papar Peni.
Ia mencontohkan, di Belanda dan Jepang, pengadilan maritim merupakan lembaga independen yang memiliki tim penyidik tersendiri. Sementara itu, proses peradilan pelayaran di Indonesia masih bergantung pada hasil berita acara pemeriksaan pendahuluan (BAPP) dari otoritas pelabuhan.
Bertugas melaksanakan sidang pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal, seperti tabrakan kapal, kapal tenggelam, terbakar, maupun kandas, Mahkamah Pelayaran berperan penting dalam penanganan kasus kecelakaan transportasi laut. Dengan demikian, dampak-dampak kecelakaan, seperti klaim asuransi dan barang muatan, kerugian barang dan nyawa, hingga pencemaran lingkungan, dapat lekas diselesaikan.
Didukung kemauan politik pemerintah terkait isu-isu kemaritiman, kewenangan Mahkamah Pelayaran yang bersifat administratif dan berada di ranah eksekutif pun mulai diperkuat. Tujuan akhirnya adalah menjadi pengadilan maritim, sebagai lembaga yudikatif yang bertugas menegakkan hukum.
Menurut Peni, pemerintahan saat ini, melalui Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mendukung terbentuknya pengadilan maritim dengan memperkuat kewenangan Mahkamah Pelayaran. Di lain pihak, penegakan hukum harus dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Namun, upaya ini tidak mudah. Proses revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998, yang menjadi acuan Mahkamah Pelayaran untuk menangani kecelakaan kapal, berjalan berlarut-larut sejak tahun 2008. Belum lagi adanya pandangan bahwa dipindahtugaskan ke Mahkamah Pelayaran berarti dibuang, termasuk hakim-hakimnya, yang masa baktinya hingga 65 tahun.
Namun, Peni tak kehilangan optimisme. Baginya, ini justru sebuah kesempatan untuk mewariskan sesuatu bagi institusi tempatnya mengabdi. “Sekecil apa pun, legacy itu penting,” tegasnya.
Peni tak pernah merasa atau mendengar bahwa kompetensinya diragukan karena ia seorang wanita. Baca pengalamannya di laman berikutnya.
Topic
#wanitahebat